Just another free Blogger theme

Wednesday, June 4, 2025

 (18) MARBOT ITU TERNYATA CEO

Penulis: Leaa













Pengakuan

Aku baru menikmati makan berat setelah tuntas tarawih dan membereskan masjid. Saat berbuka, hanya makan kue saja. Tentu saja kue olahan Adinda.


Istriku itu, pandai sekali memasaknya. Padahal otodidak dan ilmunya diperoleh dari membantu-bantu di tempat katering saat putus sekolah dulu. Kemudian dia modifikasi sendiri. Dia sebenernya memang pintar. Hanya takdir yang tak memihaknya.


Aku bahkan tidak memakan nasi kotak dari masjid, Aku memberikannya kepada jamaah lain. Aku tidak ingin mengisi perutku terlebih dahulu, karena aku ingin menyantap makan malam spesial yang dibuat oleh Adinda. Meski hanya disajikan dengan tempe atau tahu atau ikan asin, rasanya sangat istimewa bagi saya. Dan rasanya jelas berbeda.


Sekarang akulah yang selalu buru-buru. Setelah mengunci pintu masjid. Segera melangkah pulang. Ya, pulang. Di tempat ia sudah menunggu.


Lantas aku segera menyantap makanan berdua dengannya. Diselimuti aura hangat yang membuatku selalu betah duduk berhadapan dengannya.


Dulu aku sering berkhayal bagaimana kehidupan orang-orang dari kasta biasa. Sebab garis keturunanku sudah kaya raya sejak bergenerasi sebelum aku ada. Membayangkan bagaiaman rasanya menjadi orang miskin. Apakah sangat menyedihkan? Atau justru sebaliknya?


Sementara aku merasa jenuh dengan kehidupan kaya rayaku.


Ternyata indah sekali. Dalam sederhana, kutemukan bahagia sebenarnya. Bersama Adinda. Dalam artian cukup sebenarnya. Tidak berlebihan dan ini menenangkan.


Aku bahagia saat bisa menyantap makanan sederhana dengannya. Semua keterbatasan yang juga serba apa adanya. Jauh dari kata mewah. Benar, aku sangat betah dalam kehidupan seperti ini.


"Mau nambah, Kang?" Adinda melihat pada piringku yang sudah kosong.


Aku mengangguk. Lalu ia mengautkan nasi ke piringku. Menambah ketiga kalinya. Makan dengan tangan tanpa sendok garpu. Sama seperti dirinya. Meski kaku sekali di awal, tapi aku akhirnya bisa dengan cepat menguasai teknik makan langsung dengan tangan seperti ini. Ternyata lebih nikmat sekali.


Menu-menu sederhana yang diolahnya, terasa menarik semua di lidahku. Tempe penyet sambal terasi, ikan kering, sayur bening, lalapan, dan lain-lain. Nyaris tidak pernah kumakan menu-menu itu di kehidupan asliku sebelum ini. Biasanya, menu harianku selalu paduan makanan luar negeri. Menjemukan sekali.


Kuberikan pada Adinda uang yang cukup. Ya, dari bayaranku sebagai marbot masjid dan tambahan dari uang pribadiku. Tentu saja dalam jumlah sewajarnya agar ia tidak curiga, walau sebenarnya ingin sekali kuberi banyak agar dia bisa membeli apa saja.


Dia tak pernah terlihat memegang handphone. Ternyata, sebab ia memang tidak memilikinya. Sulit kubayangkan di jaman sekarang, seorang gadis muda tak memiliki handphone android. Ternyata ada. Dia, Adinda.


Tidak kelihatan memalukan. Justru begitu terlihat berbeda. Mengesankan sekali.


Aku juga tentu saja menyembunyikan kepemilikan handphoneku. Baru kuaktifkan saat ia sudah benar- benar tertidur. Masih mengontrol laporan perusahaan yang dikirimkan Handi setiap hari.


Di era semodern ini, menjadi pasangan yang sama- sama tidak disibukkan dengan hanphone pribadi, ternyata istimewa sekali. Setiap detik kebersamaan yang sangat berarti dan semakin bisa dinikmati.


Ya, sungguh aku bisa berfokus pada Adinda dan sebaliknya. Dia mengambil alih semua fokusku.


"Aw!" Ia meringis. Mengibaskan jarinya yang terluka, tertusuk jarum sepertinya. Dia sedang menjahit bagian sobek di mukenanya.


Aku menoleh dan segera menghampiri. Menarik tangannya lalu refleks menghisap telunjuknya yang terluka, agar darahnya berhenti keluar.


Meliriknya, dengan masih menahan tangannya. Dan ia melakukan hal yang sama. Lalu kembali kulihat semburat merona di pipi polosnya. Mungkin di wajahku juga, hanya saja tertutupi dengan dua tompel besar di pipiku ini.


Aku suka sekali melihatnya begitu. Menghangatkan pipi dan hati.


"Em... hati-hati," ucapku memperingatkan sesaat setelah ia menarik tangannya.


Dia mengangguk, lalu menunduk. Kembali menjahit mukenanya.


Mukena yang nampak lusuh. Sobek di beberapa bagian dan ia menjahitnya dengan rapi.


Bukan hanya mukena, pakaian-pakaiannya pun banyak yang sobek ternyata. Semua terlihat lama. Bahkan sepertinya, ia nyaris tak pernah memiliki pakaian baru.


Aku merasakan tenggorokan yang tercekat. Menyadari kesederhanaan di bawah rata-rata yang dijalaninya. Dengan tenang hati dan sikap cukup diiringi syukurnya. Selalu. Sementara aku, malah mengeluhkan kekayaan yang Allah berikan.


Adinda. Melihatnya aku selalu tidak tega. Dia terlalu tegar sekali.


Jangankan berlebihan, cukup pun baginya penuh perjuangan.


Tak satupun perhiasan ia kenakan. Anting-anting, kalung, cincin, gelang. Padahal selama ini kukira, wanita selalu identik dengan perhiasan.


Aku... aku akan memberikan semuanya, Adinda. Semua keinginanmu yang tertunda oleh keadaan. Asal kamu mau percaya, padaku. Mataku tiba-tiba panas lagi. Dan aku mengedip beberapa kali saat ia selesai menjahit sobek di mukena lusuhnya, lalu membaca Al Qur'an. Dengan lancar dan tenang. Damai banget lihatnya.


Aku mendengarkan sambil bersandar di kaki tempat tidur. Hingga aku tertidur beberapa saat.


"Kang, pindah ke ranjang. Nanti lehernya sakit kalau tidur di sini."


Aku mengerjap lalu mengikutinya tidur di atas ranjang. Menutup mata dengan lengan. Tidak meneruskan tidur. Aku hanya berpura-pura tidur sampai dia benar-benar terlelap. Kemudian bangun lagi. Ingin mengecek laporan perusahaan yang dikirim Handi via email seperti biasa.


Tapi belum saja aku bangkit, ia berbalik dan lenganku ditahan olehnya, dalam keadaan dia tidak sadar. Dikira guling ini lengan.


Aku refleks terbaring lagi. Langsung tepat menghadap pada wajahnya yang terlelap, matanya yang terpejam.


Bibirku tersenyum. Mengamatinya. Wajah polos ini.


"Ayah...." Dia terdiam.


Masih rindu ayahnya. Pasti. Dia sangat mencintai Pak Adi.


"Ibu mana?" Tanyanya. Berbisik.


Aku masih mengamati.


Lalu kudengar dia terisak. Dalam tidurnya. Menyebut kata 'Ibu'.


Aku tahu, ia tidak hanya merindukan Ayahnya, dia juga pasti merinduka Ibunya juga. Meski wanita itu telah 'membuangnya'.


Tiba-tiba terbit rasa penasaran di hatiku, siapa ibunya? Apa dia tahu? Atau sudah pernah bertemu?


Sepergi ayahnya, dia tidak lagi memiliki siapa-siapa. Tapi dia memilikiku sekarang. Aku mengusap pipinya, tanpa dia sadar. Istriku sayang, istriku yang malang.


"Mukena? Mukena siapa ini?" Dia menatap tas mukena yang kuberikan, pagi harinya.


Aku memesan mukena itu secara online semalam.


Aku mengangguk.


"Iya. Dikasih jamaah tadi." Aku menyahut, berbohong.


"Untuk?" Tanyanya lagi.


"Untuk siapa aja katanya." Maksudku, itu untuknya. Tapi nanti dia jadi bertanya lebih detail dari siapa dan kenapa diberikan untuknya?


Dia membuka tas mukena berwarna pastel di tangannya dengan wajah berbinar. Sepertinya dia sangat suka. Syukurlah, aku juga senang sekali kalau dia suka. Sebagai ganti mukena lusuhnya yang beberapa kali kulihat sobek dan dijahit ulang olehnya.


"Masya Allah. Ini bagus banget," pujinya. Tidak


melepaskan pandangan dari kain mukena itu.


Tentu saja bagus, aku memang meminta petugas butik yang kuhubungi memberikan mukena terbaik. Cukup mahal.


Wajahnya masih berbinar, menatapku.


"Kamu bisa melakukannya pada siapa saja kan, Kak?" Dia bertanya tiba-tiba.


Eh. Maksudnya itu apa?


Aku mengangguk. Karena sebelumnya kan aku bilang begitu tadi.


Dia tersenyum semakin lebar. Lalu melipat dan memasukkan lagi mukena itu ke dalam tasnya.


"Kita kasih ini ke Dik Lilis ya, Kang?" Ucapnya. Lebih mirip keputusan dibanding sebuah pertanyaan. Dik Lilis itu setahuku salah satu tetangga di sini. Anak SMA yatim dan hanya tinggal dengan ibunya. Sepertinya dari kalangan keluarga kurang mampu.


Diberikan kepada orang lain?


"Soalnya kasihan, Dii lihat mukena Dik Lilis itu sudah kekecilan. Dii udah lama pengen beliin. Tapi belum cukup rejeki. Yang ini aja kita kasih ya? Pasti Dik Lilis senang." Matanya mengerjap penuh binar.


Dan tahulah yang terjadi selanjutnya. Dia benar-benar memberikan mukena itu kepada Dik Lilis. Lalu kembali dengan wajah cerah. Melaksanakan sholat dhuha, dengan mukena lusuhnya.


"Kenapa nggak diambil aja mukena yang tadi?" Tanyaku sedikit kecewa. "Nggak suka?" Ya, aku kan sebenarnya membelikan mukena itu untuknya. Walau bisa saja kubelikan lagi yang lebih bagus.


"Mukena yang tadi? Suka banget," jawabnya cepat.


“Lalu kenapa kamu merasa kasihan pada orang lain?”


"Soalnya Dik Lilis kan lebih perlu. Mukena Dii juga masih bagus ini," jawabnya tulus sambil mengangkat mukenanya.


Tidak hanya itu, beberapa kali aku melihat ia memberikan pilihan dari apa yang menjadi haknya dengan orang lain.


"Rina, bagusan yang ini atau ini?" Tanyanya pada seorang gadis seusianya sambil menunjukkan dua buah bros yang dihadiahkan seorang ustadzah, oleh- oleh dari umroh.


Gadis bernama Rina yang dia minta sepertinya memilih dari dua bersaudara itu. Lalu jatuhkan seleksi pada bros agar terlihat lebih cantik dari sudut mana pun.


"Ya udah, ini yang buat kamu," ucapnya sambil menyerahkan bros yang lebih cantik itu. Lalu untuknya, ia menyimpan bros satunya.


Heran, padahal sebelumnya aku mendengar, saat diberikan, ustadzah itu mengatakan kalau yang dapat duluan boleh lebih dulu memilih. Logikanya, ia bisa memilih yang lebih bagus kan? Bukan malah sebaliknya.


Tak tahan, akhirnya aku bertanya juga.


"Oh, kalau mau ngasih ke orang kan memang harus gitu. Ngasih hal yang kita sukai," jawabnya dengan wajah teduh.


Kejadian seperti itu, tidak sekali dua terjadi. Sampai aku akhirnya benar-benar mengerti, seperti itu memang sifat Adinda. Baik hati dan lebih mengutamakan orang lain. Istriku yang baik.


Dan setiap waktu, semua yang dia lakukan membuatku semakin sayang. Mengaguminya lebih dari sebelumnya. Dia yang cantik hatinya.


Malam ini kami menatap bulan dari jendela yang terbuka, di dalam kamar. Duduk bersisian sambil mengobrol apa saja. Aku selalu suka saat ia bercerita. Apalagi dia tipe wanita yang tertutup sekali. Memendam apapun sendiri. Mungkin sebab hanya tinggal dengan Ayahnya saja selama ini, yang juga tak akan tega ia keluhkan apa saja karena tak ingin membebaninya. Atau karena memang tak memiliki siapapun lagi untuk berbagi.


Tapi sekarang, ada aku.


"Dii pernah diajak Ayah nemuin Ibu." Untuk pertama kali, akhirnya ia mau bercerita. Tentang hal yang memang ingin kutahu. Sesuatu yang dipendamnya sekian lama.


"Oh ya? Ketemu?" Aku berfokus padanya.


Dia mengangguk. Lalu menggeleng. Kemudian menunduk dengan mata berkaca-kaca.


Aku menarik tangannya dan menggeser tubuh, lebih mendekat. Nampak jelas beban tersimpan di mata sendunya.


"Mulai sekarang, kamu boleh memberitahuku apa saja, Kak. Kamu boleh menangis sepuasnya di sini." Aku menepuk bahu dan dadaku. Dengan tampilan yang meyakinkan. Saat aku mengangguk ke arahnya.


Air matanya tumpah sedetik kemudian.


"Dii pengen bisa peluk Ibu. Hks." Dia terisak. Seiring kutarik dia dalam rengkuhan.


"Dii pengen kayak anak-anak yang lain. Disayang sama Ibunya...." Ada sesak bergumul yang ia benamkan di dadaku.


"Kenapa Dii dibuang? Kenapa Ibu nggak sayang Dii?" Dia memuaskan isi hatinya yang terpendam selama ini.


Aku masih hanya diam. Mendengarkan. Memusut kepalanya.


Dia mulai memukul-mukul dadaku. Ekspresi dan emosinya yang selama ini terpendam lama. Dan aku membiarkannya.


Keluarkan semuanya, Kak. Lepaskan semua bebanmu di sini.


Aku memejamkan mata, menikmati dadaku yang basah oleh air matanya.


"Kenapa Ibu tega sekali? Dii selalu dihina orang-orang. Dii jadi ejekan teman-teman. Dii nggak bisa sekolah lagi. Ibu kenapa nggak ada? Kenapa nggak mau nemuin Dii?!" Kepalanya semakin membenam, di dadaku. Dengan terisak-isak ia menumpahkan semua, beban hatinya.


Dan aku menjadi pendengar serta tumpuan menumpahkan segalanya. Sampai dia puas dan terlelap dalam pelukan.


Aku mengangkatnya tidur di atas ranjang. Mengusap air matanya lalu menyelimutinya.


Ada senang yang bersemayam demi menyadari, ia akhirnya bisa terbuka denganku. Dia semakin menganggapku berarti. Seseorang yang ia percaya untuk berbagi cerita dan berbagi tawa serta sedihnya.


Aku semakin berarti baginya. Seperti dia sangat berarti bagiku.


Setelah malam itu, sikapnya jauh berubah. Tidak secanggung kemarin-kemarin. Dia sudah merasa nyaman denganku. Begitu percaya. Juga cinta. Dan aku menyukai ini semua. Rasanya sempurna.


“Kang, Dii sedih.”


"Kenapa? Beritahu aku di sini."


Lalu dia akan bercerita. Mendetail bahkan berulang- ulang. Bercerita sebab dan kekhawatiran hatinya.


"Dii takut," ucapnya di kesempatan lain.


"Takut apa?" Aku langsung berfokus padanya. Menatap dengan tatapan teduh. Siap mendengarkan.


Aku menjadi seorang yang semakin berarti baginya. Aku bisa merasakan itu.


Maka tak lagi sungkan dia akan meletakkan kepala di bahu dan dadaku. Bahkan memeluk saat apapun dia butuhkan. Lalu aku mendekapnya dengan hangat sambil menahan diri kuat sekali. Ya, aku sudah berjanji, untuk menahan diri. Sampai dia menerima dalam kejujuranku atas segalanya. Hanya satu harapanku, agar dia percaya dan mau berjuang bersama, menghadapi Papi dan Mami. Bukannya malah menyerah dan pergi. Atau merasa telah kubohongi.


Aku suka. Hanya masih ada khawatir menjelma jika ia tahu yang sebenarnya. Kuharap tidak merubah ini semua.


"Kanda?" Tanyanya. Sambil berkedip. Dan itu terlihat lucu.


"Ya." Aku memicingkan mata.


"Siapa Kanda?" Tanyanya sambil mengernyit.


"Aku."


"Akang?"


"Kakanda, Adinda."


"Kakanda?" Dia kembali mengulangi. Terdiam sebentar. Lalu tersenyum lebar. "Oh...." Mengangguk mengerti.


Dan sejak itu, dia memanggilku dengan nama sayang... Kakanda. Dia hanya memanggilku seperti itu.


Bukti kedekatan dan keterikatan hati, aku dan dia.


Kurasa kami memang sudah benar-benar dekat. Sudah sama-sama merasa nyaman.


Waktunya untuk aku jujur sekarang. Mengakui penyamaran yang kulakukan, selama ini. Bahwa aku adalah Tuan Alfadi Edibagaskara. CEO perusahaan yang menjadi tersangka penggusuran masjid At Taqwa, meski bukan aku di balik itu semua. Pria kaya raya yang sedang melarikan diri dari kemewahan harta benda dan kehormatan keluarga. Lantas menemukan belahan jiwa, dirinya.


Bukankah kalau sudah nyaman, dia akan percaya dan itu sekaligus mengobati traumanya, pada 'orang kaya'?


Ya. Aku harus mengakui, pada Adinda. Sudah saatnya.


Kuhampiri la dengan rasa mendesir di sepenuh dada. Dengan ekspresi serius penuh harap agar ia mengerti sepenuhnya.


" Adinda, aku ingin Bilang Sesuatu...."



Bersambung ...19

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Post a Comment