(4) MARBOT ITU TERNYATA CEO
Penulis: hamba Alloh
Ananda
Gambar hanya pelengkap
Seseorang yang baru masuk dari arah pintu dengan setelan OKU (Orang Kaya Udik). Wanita menor dengan rentetan emas di sepenuh leher, tangan, dan jari-jarinya.
Lalu nampak membuka dompet amat tebal berisi uang, kumudian menyerahkan nominal terkecil pada seorang peminta-minta yang menengadahkan tangan di sana.
Demi melihat pemandangan uang dan perhiasan itu, seketika aku merasakan pening luar biasa menyerang kepala.
Juga serangan rasa mual yang mendorongku untuk muntah detik ini juga.
Membuatku urung untuk menyerah dalam penyamaran menjadi marbot masjid ini. Aku masih terlalu stress sekali ternyata jika harus kembali berhadapan dengan uang dan kekayaan seperti itu, bahkan ratusan kali lebih besar. Tidak, aku muak.
Aku segera mengalihkan pandangan dan berpegangan pada sandaran tangga sambil memijit kepala. Sial, ini benar-benar menjadi penyakit anehku rupanya. Aku seperti sudah muak sekali melihat uang dan kekayaan.
Untunglah tak jadi muntah sebab aku cepat mengalihkan pandangan. Dan sosok yang kudengar disebut-sebut orang-orang di luar sana sebagai Hj. Melani itu tak jadi memasuki masjid.
"Oh, Ustadz Yahya, untung ketemu di sini. Ini saya cuma mau sedekah. Ya sedekah lumayan banyak lah buat bantu-bantu buka puasa ramadhan jama'ah di sini nanti. 100 kotak nasi. Jangan lupa nanti di kotak makannya dituliskan dengan jelas ya, Pak Ustadz... takjil ini sedekah dari Hj. Melani, begitu," ucap wanita bertutup kepala yang hanya menutup rambutnya saja itu sambil sumringah sekali.
Dan entah apa lagi yang ia bicarakan dengan Ustadz Yahya. Aku segera menjauh sampai tak terdengar suaranya.
Sial, orang-orang di belahan dunia manapun ternyata sama saja. Sombong dan pencitraannya. Semua harus selalu menyertakan identitas sebagai pemberi. Di kalangan konglomerat sepertiku, itu hal umum dilakukan. Membantu demi mengukuhkan nama besar dan marga keluarga. Apalagi jika ada tujuan politiknya.
Ternyata di kalangan OKU (Orang Kaya Udik) seperti wanita itu justru lebih norak caranya. Mungkin Handi benar, cara terbaik untuk melepaskan kejenuhan dan stress ku adalah dengan menyelam sepenuhnya dengan hidup dalam penyamaran di kasta ini.
Meski sungguh harus berhadapan dengan tantangan kelelahan yang meremukkan tulang-tulang. Jelas berbeda rasanya, lelah duduk di balik meja kebesaran seorang CEO dengan lelah mengepel lantai masjid seluas ini. Dan harus kulakukan setiap hari. Tapi mungkin ini sungguh lebih baik untukku sekarang.
Aku urung menggagalkan rencana penyamaran ini.
Mengambil alat pel kering dan membersihkan lantai banjir tadi kembali. Melanjutkan pekerjaan dengan mengelapi kaca-kaca jendela. Juga menggelar sajadah panjang baru sebagaimana arahan Ustadz Yahya.
Hingga jelang maghrib, aku baru bisa mandi. Mandi pada WC masjid yang uh... mengapa begitu tidak terawat?
Aku mengibaskan tangan di depan hidung. Siapa yang harus membersihkan WC-WC masjid ini?
Aku.
Ya, aku. Ini sungguh gila bukan, bagaimana mungkin seorang tuan besar sepertiku melakukan semua ini? Hanya demi keluar dari titik jenuh yang sungguh menggila sekali.
---
Aku selesai mandi dengan cepat. Mana betah berlama-lama mandi pada kamar mandi yang menyatu dengan WC seperti itu. Meski sudah kusiram pewangi banyak sekali. Mungkin karena belum terlalu bersih, jadi terkesan jorok. Ya, hanya karena alasan itu.
Padahal di rumah mewahku, aku bisa betah berlama-lama di kamar mandi. Berendam di bath up dengan air hangat. Dulu. Tapi itu dulu. Sebelum penyakit aneh ini menyerang. Setelah aku makin merasa mual dengan kemewahan, aku juga tak begitu nyaman dengan kemewahan kamar mandi dengan fasilitas lengkapnya.
Entah tempat mandi seperti apa yang bisa membuatku nyaman sekarang.
Aku keluar setelah kembali menggunakan tompel-tompel yang memenuhi wajahku. Juga sisiran rambut yang begitu culun, lengkap dengan pakaian tak bermerk ini.
Suasana masjid ramai. Sebab menurut kalender, besok mulai memasuki bulan Ramadhan. Pun masih menunggu hasil keputusan pemerintah ba'da isya nanti.
Murottal Al Qur'an sudah kunyalakan sejak setengah jam yang lalu, sesuai arahan Ustadz Yahya.
Sebenarnya aku tak faham juga apa murottal yang kunyalakan tadi. Bahkan bacaan sholat pun aku tak faham. Hanya menuruti gerakkan orang-orang, toh aku hanya menjadi makmum. Dan, sholat? Sejak kapan aku pernah sholat? Yah, ini juga hanya bagian dari penyamaran dan terapi mandiri yang sedang kulakukan.
Sekumpulan anak-anak dengan pakaian muslim berwarna-warni langsung tergelak begitu melihat aku lewat.
Menunjuk-nunjuk ke arahku yang baru keluar dari kamar mandi dengan membawa pakaian kotorku.
"Hahaha... jelek banget!"
"Hahaha... tompelan!"
"Hahaha... iya, tompelannya banyak banget!
"Hahaha... om-om tompel!"
What?
Oh yeah, penampilanku dalam penyamaran ini nampaknya sempurna. Dan sepertinya aku harus menikmati konsekwensi dari ini semua. Menjadi ejekan semua orang.
Ini lebih baik daripada aku menunjukkan wajah asliku dan orang-orang akan mengenali siapa aku sebenarnya.
Aku melangkah cuek melewati kumpulan anak-anak yang masih menertawakanku di sisi tangga. Untuk apa juga meladeni bocah-bocah seperti itu. Tidak ada gunanya. Aku harus fokus keluar dari titik jenuhku sendiri, itu saja.
"Astagfirullahaladzim. Adik-adik, siapa yang ngajarin menghina orang begitu? Kan kakak sudah sering bilang, jangan pernah menghina orang, siapapun. Walau cuma untuk bercanda. Minta maaf sana."
Aku menghentikan langkah. Seperti ada tarikan ghoib yang memaksaku untuk berpaling, melihat pada pemilik suara itu.
Aku menoleh, menajamkan pendengaran tanpa membalikkan badan. Dan mendapati seseorang yang masih bicara dengan bocah-bocah di sisi tangga. Membungkuk, masih menasehati mereka semua, untuk meminta maaf, padaku.
Dia... Ananda. Benar kan namanya Ananda? Gadis yang bersama Ustadz Yahya siang tadi.
Anak-anak itu berlarian ke arahku, usai dinasihati oleh dia. Lalu berebut mencium punggung tanganku. Meminta maaf.
Aku gelagapan untuk beberapa saat menerima 'serangan' tiba-tiba dari bocah-bocah ini.
Dan saat mengangkat kepala usai dengan semua keriuhan para bocah yang masih mengelilingiku, pandanganku terpaku ke arahnya, yang tersenyum ke arahku.
Seperti terhunus pedang tepat di pusat kesadaran tanpa persiapan, ada sesuatu yang terasa meletup dan berdegup tak biasa, di dalam sini. Senyumnya terasa... tulus sekali.
Cantik.
Bocah-bocah itu selesai menciumi tanganku, lalu kembali berlarian menuju gadis berjilbab panjang dengan gamis warna senada itu.
"Sudah minta maafnya!" Teriak mereka.
"Waktunya ngaji!" Sebagian bocah menimpali.
"Eh, sholat dulu," suara gadis itu lagi.
"Oh iya ya. Hahahaha." Suara para bocah.
Mereka berputar arah. Masuk ke dalam masjid lewat pintu utama. Sedangkan aku masih terpaku di sini. Menatap punggung-punggung mereka. Ah, bukan, maksudku, menatap punggung Ananda.
---
Bersambung
0 comments:
Post a Comment