(9) *MARBOT ITU TERNYATA CEO*
Penulis: uge
Makin Suka
"Oh, ehm... Nggak apa-apa," sahutku akhirnya.
Dia hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Masuk ke dalam bersama anak-anak muridnya yang baru tiba.
Haduh, ternyata dia memang ramah dan sederhana. Hampir aku yang salah menilainya.
Aku meneruskan menyapu. Sambil mencuri pandang ke dalam lewat jendela kaca, ke arahnya yang sedang mengajar anak-anak mengaji satu-satu.
Adinda.
---
Setelah hari itu, hari-hari menjadi marbot masih melelahkan tapi sekaligus jadi menyenangkan.
Di masjid ini, pagi-pagi dia selalu datang walau cuma sebentar. Rapi-rapi di tempat sholat perempuan atau menukar mukena kotor dengan yang sudah dicuci dan menyusun di lemari khusus wanita. Rajin banget rupanya.
Sore dia datang lagi, buat ngajar ngaji, tiap habis jualan kue. Herannya, di malam tarawih waktu banyak jama'ah berdatangan, dia malah nggak ada.
Sebelum maghrib dia sudah meninggalkan masjid, pulang. Setelah membantuku menata bukaan puasa untuk jamaah yang berbuka di masjid. Kayaknya dia sudah terbiasa melakukan itu. Malah aku yang jadi diajarinnya. Maksudku, aku otodidak saja, ngikutin apa yang dia lakukan. Walau inginnya diajarkan, kalau perlu privat. Tapi habis ngajar ngaji, dia selalu nampak buru-buru. Aku juga pasti sudah sibuk mengerjakan dan disuruh ini itu di jam-jam segitu. Jam sibuk marbot. Huft.
Tapi siang-siang, di jam-jam dia jualan kue, aku selalu punya alasan untuk keluar. Ke toko di simpang jalan. Cuma sekedar buat lihat, seorang gadis lagi panas-panasan ngabisin dagangan kue dari beberapa nampan yang ia susun di keranjang sepedanya.
Pemandangan yang bikin hati bergetar. Antara senang lihat ketulusan dan kerja kerasnya, tetap berusaha di tengah lelahnya puasa, sama nggak tega juga menyaksikan usaha dia sampai segitunya.
Diam-diam, aku bayar orang untuk borong dagangan kue-kuenya tiap hari. Supaya dia nggak perlu lama-lama jualan kepanasan kayak gitu. Kasihan.
Lalu saat ia berkemas dengan senyum terkembang, bersemi juga perasaanku dari seberang jalan yang nggak nampak olehnya dari seberang.
Jujur, aku kasihan dan kefikiran. Kok tega Ustadz Yahya begitu ke anaknya? Apa dia dipaksa cari uang? Padahal Ustadz Yahya nggak kelihatan orang yang susah-susah amat kok. Setidaknya, selalu naik kendaraan motor mengkilat tiap ke masjid. Kenapa anaknya sampai jualan begitu?
Lalu saat malam, selepas memeriksa laporan perusahaan yang dikirimkan Handi via email, sebelum tidur aku selalu kembali kefikiran, dia. Lalu membayangkan besok bakal gimana.
Beberapa kali aku ngintip, sebagian uang hasil jualan, dia masukin ke kotak amal masjid waktu nggak ada orang yang lihat. Dan itu dalam nominal cukup besar. Padahal aku tahu hasil jualannya nggak gede-gede banget. Dermawan banget ternyata.
Makin hari, makin kagum aja. Sama gadis rajin, pekerja keras, sholeha dan santun kayak dia. Apalagi, justru cuma dia gadis di sini yang memandangku nggak beda. Meski aku tompelan dan lagi nyamar jadi marbot masjid aja. Sikapnya nggak beda ke siapa aja. Sama-sama hormat.
Ehm, dia... sudah punya pacar belum ya? Untuk pertanyaan ini, aku penasaran luar biasa. Tapi gimana cari tahunya?
---
Aku juga masih belajar ngaji dan malah tambah giat sekarang. Meski tiap hari harus memperbaharui niat dengan mengingat kata-kata guru ngajiku ini. "Karena apapun niatnya, capeknya sama. Yang beda hanya tujuannya, rasanya, dan pahalanya."
Kalau difikir, benar juga. Kalau capeknya sama kenapa harus salah niatnya?
Dan lagi, aku teringat terus, soal niat dan tujuan. Harus bisa membedakan dan menempatkan. Mana tujuan, mana kendaraan, dan mana teman di perjalanan. Tujuan adalah Allah. Kendaraan adalah dunia dan harta serta kemampuan yang dipunya, sedangkan teman seperjalanan adalah Adinda. Eh, maksudku, kelak seorang pendamping hidupku nantinya.
Kemajuan dalam pembelajaran iqro' menuju Al Qur'an ku cukup lancar. Tentu saja aku belajar dengan cepat. Atau memang Allah yang memudahkan. Seperti kata Ustadz Yahya juga, jika seorang hamba menuju pada Allah dengan cara berjalan, maka Allah menyambutnya dengan berlari. Apa iya? Tapi kok terasa makin benar semua yang diucapnya.
Pekerjaan ini, perlahan menjadi tak seberat di awal. Sebab aku makin beradaptasi dan kayak ringan sendiri, ngajalanin semua ini. Nggak sekedar menjalani terapi, aku bahkan merasa kayak nemuin hidupku yang baru di sini. Bebas banget. Aku bisa ketiduran siang sambil telentang gitu aja di lantai. Tanpa harus jaga imej dan kehormatan keluarga.
Aku bebas makan nasi bungkusan yang dibagiin dari orang-orang tiap sahur dan berbuka. Tanpa aturan ketat harus makan dengan siapa dengan dan untuk kepentingan bisnis apa-apa. Semuanya suka-suka.
Sejujurnya, aku baru nemuin kehidupan sebebas ini. Tenang bahkan walau tanpa uang.
Oh ya, uang. Siang tadi aku diberi amplopan, oleh Ustadz Yahya. Katanya gaji mingguan. Iya, marbot di masjid ini ternyata digaji mingguan. Langsung oleh pendiri masjid ini. Baik banget, siapa sih? Aku jadi penasaran. Jarang-jarang kan nemuin pendiri masjid juga sangat perhatian sama marbot masjidnya. Walau belum pernah jumpa. Aku kan cuma menggantikan marbot masjid asli untuk sementara.
----
"Awas!" Aku menangkap sepeda besi yang oleng ke kanan. Menahan dengan lenganku.
Nyaris saja, sepeda itu terjatuh bersama seluruh kue yang bersusunan di sepenuh keranjang dan sebagian terikat di boncengan belakang. Banyak banget bawa kue-kuenya.
"Astaghfirullah!" Ia berseru kaget. Melepaskan pegangan pada sebelah pelipisnya.
Adinda.
Gadis itu nampak pucat.
"Sakit?" Tanyaku setelah membenarkan posisi berdirinya sepeda.
Dia meraih kembali sepeda yang memang tak dinaikinya sejak tadi, digeret dari samping gitu aja. Ya, sangat beresiko menaiki sepeda dengan bawaan sebanyak ini memang.
Dia menggeleng.
"Makasih banyak, Kang." Tersenyum tipis. Lalu berusaha mengambil alih sepeda sepenuhnya.
"Nggak puasa?" Pertanyaan keduaku. Masih menahan sepeda.
Dia mengernyit.
"Puasa," jawabnya heran. Atau mungkin tersinggung.
"Bukannya kalau puasa nggak boleh bohong?"
"Hah?"
Aku menarik sepedanya ke depan. Membuat dia harus mengikuti. Diiringi ia yang berusaha mengambil alih sepedanya yang kubawa.
"Bohong apa?" Dia masih bertanya heran.
Aku menoleh. Merasakan desir hangat yang lebih dari sekedar kasihan. Bukan iba. Aku nggak tega dan... makin suka. Suka? Iya, beneran suka. Nggak tahu kenapa. Banyak banget alasannya. Aku justru nggak punya alasan untuk nggak menyukainya.
"Lagi sakit kan?"
"Oh...." Dia kayak baru nyadar, maksud ucapanku.
Mau menggeleng lagi atau kembali menjawab 'enggak' tapi urung saat aku menoleh dan menatap lekat ke arahnya. Gadis ini, benar-benar berkharisma.
Dia menunduk. Antara malu atau entah. Nampak gugup. Sepertinya dia nggak biasa ngobrol sama cowok. Kelihatan lucu.
"Cuma sedikit pusing," jawabnya sambil berhenti dan menahan sepedanya. "Makasih, Kang. Maaf, sepedanya."
"Saya aja yang bawakan," ucapku tetap terus berjalan. Tak mengindahkan tangannya yang ingin mengambil alih.
"Nggak usah, Kang. Nggak enak--"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. Dan belum sempat aku bertanya, nggak enak sama siapa?
Yang terjadi selanjutnya, seperti menjawab semuanya.
"Dinda!" Aku dan dia menoleh bersamaan ke sumber suara dan klakson yang sesaat lalu dibunyikan dari belakang.
Sebuah mobil putih berhenti, diiringi dengan keluarnya sesosok pria yang langsung menghampiri lalu mengambil alih kue-kue ini, seluruhnya. Memasukkan ke dalam mobilnya. Mungkin sebentar lagi sepedanya juga dimasukkan ke dalam mobil dan Adinda pun akan masuk bersamanya.
Ustadz Khalid. Ustadz muda tampan, imam tarawih masjid itu.
Aku menelan saliva bersama dinding hati yang terluka. Melepaskan pegangan pada stang sepeda.
Ustadz muda itu sempat menyapaku dan kutanggapi sekedarnya. Lalu aku mundur dengan tahu diri. Membawa patah hati.
Jadi maksudnya, nggak enak sama Ustadz Khalid? Mereka punya hubungan? Ya, tentu saja.
Aku sudah melangkah menjauh, tak tahu apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Bukan urusanku. Dan lagi, Adinda bahkan tak menolak pertolongan Ustadz Khalid. Meski semua kue itu diangkat ke dalam mobilnya. Padahal tadi ia menolak kubantu. Jadi begitu?
Aku yakin, bukan karena 'mobilnya' tapi karena siapa yang membantunya. Sebab aku tahu, dia bukan gadis materialistis, entahlah. Ustadz Khalid yang jelas-jelas pandai mengaji dan sholeh itu, tampan dan banyak hafalan Al-Qur'an pula. Sedangkan aku, masih belajar iqro, lagi jadi marbot dan tompelan gini pula. Kok jadi jauh banget gini sih saingannya?
Gini ya rasanya, saat nyadar bahkan walau seluruh kekayaan tujuh turunan kuperlihatkan sama gadis model kayak dia, nggak akan berarti apa-apa kalau sholeh yang justru jadi patokannya. Beda levelnya.
Aku melangkah galau. Dengan pikiran kacau. Hingga kudengar mesin mobil menjauh di belakang. Dia sudah pergi. Nggak enak gini sih rasanya. Satu kalinya suka sama perempuan, keduluan sama yang banyak modal sholeh luar dalam.
"Kang, makasih tadi dibantu."
Suara itu, suaranya. Kufikir ia sudah naik di mobil Ustadz Khalid. Aku menghentikan langkah. Menoleh ke arah sepeda yang berhenti persis di belakangku.
Adinda. Menyodorkan sebungkus kue ke arahku.
"Nih buat buka puasa. Maaf ya, Kang, sisa ini kuenya. Lainnya pesenan semua."
Hatiku yang terluka, sembuh seketika. Dan merasakan getaran yang menyala saat menyambut plastik kue dari tangannya.
"Assalamualaikum." Dia kembali menaiki sepedanya, melewatiku.
"Wa'alaikumsalam...." Senyumku terkembang, mengamati punggungnya sampai menghilang di ujung jalan, lalu terdiam lama mengamati bungkusan kue yang ia berikan.
Jadi tadi kue pesanan? Pesanan Ustadz Khalid?
Ah, aku salah sangka. Maaf ya, Adinda.
Bersambung
0 comments:
Post a Comment