(7) MARBOT ITU TERNYATA CEO
Episode 7
Penulis: uge
Calon Imam
Aku batal dari niat buruk membatalkan puasa karena kehausan. Entahlah, berubah semangat gini jadinya, habis lihat keceriaan anak-anak yang mau ngaji ntar sore. Ah, habis lihat guru ngajinya maksudnya. Ananda.
Jadi sering kepikiran gadis itu. Bayangannya melintas-lintas tanpa permisi di kepala. Bikin senyum-senyum bayanginnya. Nggak terkontrol gini, heran juga. Padahal kalau dilihat, dia gadis yang biasa aja tapi seperti punya kharisma atau ehm inner beauty atau apalah namanya. Kayaknya beda aja sejak pertama lihat. Beda dari wanita lain. Sesuatu yang, ah! Pokoknya jadi kefikiran aja.
Sesuatu yang menarik perhatianku.
Apa mungkin ini hanya cara Tuhan nyelamatin aku dari niat ngebatalin puasa di hari pertama? Atau justru suatu pertanda soal rasa? Entah. Aku jadi senyum-senyum lagi kan. Ih, kalau ada yang lihat gini bisa-bisa aku dikira marbot gila.
Aku meneruskan . Ini benar-benar keluar dari zona nyaman dan menjemukan di kehidupan nyataku. Nyoba hidup baru di kasta terendah sebagai seorang suruhan. Menantang.
Hampir siang, Ustadz Yahya datang. Sesuai janji, bawain iqro' buat ngajarin aku ngaji. Suasananya pas banget, lagi sepi-sepinya. Jadi bisa konsentrasi belajar dan nggak malu-maluin kalau dilihat orang.
Lihat orang tua sholeh ini, jadi ingat putrinya yang kutemui pagi tadi, Ananda. Sambil belajar sambil cari info boleh kan? Eh. Atau pura-pura giat supaya dapat kesan positif, dari bapaknya dan dari anaknya.
Di awal, Ustadz Yahya mengingatkan agar aku senantiasa meluruskan niat.
"Innamal a'maalu binniyaat... Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju pada Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” Pria dewasa yang kutaksir berusia 60 tahunan itu menunjukkan satu hadist lagi padaku.
Aku menyipitkan kedua mata. Berfikir. Maksud dari hadist ini. Menarik, menurutku.
Hijrah karena dunia dan wanita yang ingin dinikahi?
"Begini. Niat itu ibarat peluru. Dia akan mengena persis dimana arah ia ditujukan. Kalaupun melesat, tak mungkin jauh dari arah mula sasaran. Kalau arah tujuan kita menembak adalah satu buah di pohon, maka kemungkinan yang kena satu buah di pohon itu saja. Lain kalau tujuan kita adalah menembak pohonnya. Kena pohonnya artinya kena semua. Otomatis dapat buahnya, batangnya, daunnya, semuanya. Itu kan namanya sudut pandang. Niat itu begitu. Makin besar niat kita, makin besar power yang akan kita keluarkan. Makin lurus tujuan kita, makin hati-hati kita akan menjaga diri pada perlintasan." Ustadz Yahya menutup kitab yang ia pegang. Sambil meletakkan petunjuk mengaji di hadapanku.
"Kembali ke hadist tadi. Jangan pernah niat berhijrah karena dunia atau sebab wanita. Karena mereka bukan tujuan. Tujuan kita adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka jangan salah menempatkan sejak dalam niat. Niat hijrah karena wanita misalnya, dapat wanitanya, terus selesai? Segitu saja? Jangan. Niatkan ingin hijrah lurus karena Allah. Maka tempatkan dunia di genggaman sebagai kendaraan, lalu letakkan wanita atau pendamping hidup kita sebagai teman berjalan mencapai tujuan. Sederhananya, kita harus menempatkan dengan benar, mana teman di perjalanan, mana kendaraan, mana tujuan. Jangan sampai teman jadi tujuan atau sarana yang hanya kendaraan jadi tujuan, malah tujuan sebenarnya hilang dari peta niatan. Faham?"
Aku terdiam. Menyimak dalam ketersindiran. Baru saja aku memang berfikir begitu. Ah, bukan baru saja, selama ini aku memang seperti itu. Jadiin dunia ini sebagai tujuan untuk hal apapun. Lalu lupa sama tujuan sebenarnya hidup ini sendiri. Ya, ini ternyata yang bikin aku ngerasa jenuh dan hampa, hidup kayak nggak punya tujuan sebenarnya. Begitukah?
Tiba-tiba merasa kayak seseorang yang baru disadarkan dari amnesia.
Kali kedua, ngerasa seperti ini hari ini. Padahal baru hari kedua jadi marbot di sini.
"Karena apapun niatnya, capeknya sama, yang beda cuma hasilnya dan rasanya, juga pahalanya. Maka jangan rugi-rugiin diri. Niat yang benar, supaya hasilnya juga benar."
Aku mengangguk. Walau belum faham sepenuhnya.
Lalu mulai mengaji mengikuti Ustadz Yahya. Baru belajar ngaji usia segini. Dulu pernah sih, waktu kecil, hanya sekilas lalu. Orangtuaku dari dulu lebih fokus nyariin aku guru les Bahasa Inggris dan pelajaran akademik yang bakal menunjang karir masa depanku dibanding mikirin pelajaran agama kayak gini.
Beberapa kali aku salah membaca, Ustadz Yahya menegur dan membenarkan.
Tapi di akhir, ia memuji sungguh-sungguh. Mengatakan aku cepat sekali menguasai pelajaran. Cepat mengingat. Untuk urusan kali ini, kurasa tidak perlu aku menutupi kepintaranku. Aku terbiasa menghafal rumus-rumus dan menghubungkan satu demi satu kemiripan kejadian dalam kasus-kasus bisnis.
Mungkin sebab itu, pembelajaran iqro' seperti ini pun lebih mudah kufahami. Dari menghafal huruf-huruf, menganalis kemiripan tanda baca dan seterusnya. Karena otakku memang sudah terpola untuk berfikir, menghafal, dan menganalisa dengan cepat. Aku, seseorang yang terpelajar. Tentu otakku cukup terasah untuk mempelajari segala ilmu baru.
Kesimpulanku, ternyata belajar huruf-huruf Al Qur'an ini menarik, unik, dan asik.
"Semangat belajar membaca Al Qur'an nya ya, Kang. Sebab Al Qur'an itu tuntunan utama kehidupan. Dan laki-laki itu calon imam keluarga. Calon imam bagi istri dan anak-anaknya. Tanggungjawabnya besar, nggak cuma tanggungjawab nafkah lahir bathin, tanggungjawab membimbing dalam ketaatan juga masuk dalam pengertian imam, kepala keluarga."
Deg!
Ketiga kali, tersindir banget gini.
Aku terdiam.
"Jadi calon imam, harus giat belajarnya. Terutama pasal agama. Nggak ada alasan enggaknya. Allah menjanjikan, laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik. Ini hukum alam." Ustadz Yahya tersenyum tipis.
Aku kembali menelan segala hal asing yang masuk serta merasuk ke dalam hati tanpa permisi sejak aku tiba di tempat ini.
Aku hanya menunduk, dengan sikap khas seorang marbot. Lalu berjama'ah sholat dzuhur.
Belajar hari ini, hari pertama, terlalui dengan sukses yang cukup membuat lega sekaligus menarik penasaranku lebih jauh jadinya.
Nggak kerasa, setengah hari sudah puasa.
---
Aku makin memahami semua tugasku di sini. Melayani segala kebutuhan di rumah ibadah. Dan ini akan semakin meningkat selama bulan Ramadhan seperti ini.
Sekitar pukul tiga sore, aku bergegas keluar, berinisiatif membeli air mineral gelasan yang sudah hampir habis stoknya. Kata Ustadz Yahya, di bulan ramadhan, setiap hari akan banyak jama'ah yang berbuka puasa di masjid. Jadi aku bertugas mempersiapkan.
Kubawa langkah menuju toko besar di ujung jalan. Berjalan kaki saja. Sekaligus refreshing, melihat-lihat daerah sini. Selain karena di sini aku juga tak memiliki kendaraan.
Beberapa kali berpapasan dengan orang-orang, pria dan wanita. Dan aku tahu mereka sedang memperhatikanku, pria bertompel ini. Bahkan bisik-bisik beberapa gadis kudengar di kejauhan.
"Dari belakang kirain cowok ganteng. Badannya kayak oke banget. Ternyata dari depan, tompelan. Hihi."
"Iya. Sama. Aku kira juga."
"Hus, puasa! Jangan ngomongin orang."
"Itu yang marbot baru Masjid Almira Tiga kan?"
"Oh iya, iya."
Aku pura-pura tak mendengar.
Baru akan menyeberang di persimpangan, pandangan mataku terpaku menatap ke seberang jalan sana. Di bawah pohon. Netraku menangkap seraut wajah yang beberapa kali melintas di kepala sejak awal jumpa.
Seorang gadis berdiri dengan raut lelah dan senyum yang menghias wajah, dengan peluh yang nampak nyata di keningnya. Di tengah terik, panas-panasan. Membawa nampan berisi kue-kue yang ditutupi koran. Menawarkan pada orang-orang.
Ananda.
Apa yang dia lakukan?
Aku menghentikan langkah, memperhatikan.
Beberapa orang memilih kue, lalu ia membungkus kue-kue yang dipilih. Sigap mengambil uang yang diserahkan lalu memberikan kembalian.
Dia berjualan kue?
Sampai beberapa saat, aku masih berdiri di seberang jalan. Memperhatikannya dari kejauhan. Sampai hampir ashar dan ia membereskan sisa kue-kuenya ke dalam keranjang sepeda lalu beranjak menuju ke arah masjid.
Aku tahu, dia akan mengajar mengaji sore ini.
Gadis itu, kenapa rasanya aku semakin tertarik ingin tahu?
Ananda. Apa kusapa saja?
Bersambung
0 comments:
Post a Comment