Just another free Blogger theme

Saturday, April 26, 2025

 

(10) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: uge


Jadikan Aku Anakmu, Ustadz



Gambar hanya pemanis saja guys



Sayangnya, setelah hari itu, Ustadz Khalid semakin sering datang ke masjid ini. Padahal di hari-hari sebelumnya, ia hanya datang di waktu tarawih. Sebab tugasnya hanya menjadi imam tarawih. Di waktu lain, entahlah, sepertinya ia memiliki jadwal padat menjadi imam dimana-mana. Dan lagi, sepertinya tempat tinggalnya cukup jauh, tidak di daerah sini. Sebab selalu datang menggunakan mobil.


Kenapa sayangnya? Sebab ia datang di jam-jam Adinda mengajar. Membesarkan lagi kecurigaan kalau mereka ada hubungan.


Aku bisa menangkap itu, bagaimana lelaki dengan wajah paduan timur tengah itu saat melihat ke arah Adinda. Beda aja. Pandangan seseorang yang menyimpan 'sesuatu', sepertiku. Walau tentu aja ia tidak memandang berlama-lama, dia pasti cukup tahu batasan sebagai seorang imam, dan seorang lelaki saat memandang perempuan.


Atau dari caranya memanggil Adinda. 


"Dinda, gimana perkembangan anak-anak ngajinya?" 


Pertanyaaan yang memanaskan hatiku.


Aku meremas gagang sapu di tangan sambil bergerak mendekat untuk melancarkan 'gangguan'.


Tidak suka. Jelas aku tidak suka ia mendekati Adinda. Maka seringkali, aku mengganggu. Berlalu-lalang dengan alasan mengepel atau menyapu di tengah ia yang sedang bicara atau memanggil Adinda. Biar terganggu! Tahu rasa, ini area kekuasaanku, sebagai marbot masjid ini. Huh.


Caraku norak sekali? Tidak. Tentu saja aku melakukannya dengan cara yang elegant. Dan sukses membuatnya tidak nyaman. Lalu memutuskan pergi tak lama kemudian.


Lagian, kenapa harus Adinda sih? Eh, kenapa aku setidak terima ini? Mungkin aku... cemburu. Aneh ya. 


Gadis itu mengangguk sopan saat aku menoleh seperginya lelaki itu. Entah faham 'maksudku' atau tidak. Lalu meneruskan mengajar ngaji anak-anak. 


Anak-anak selalu nampak ceria dan senang diajarkan mengaji lalu diceritakan kisah-kisah nabi olehnya. 


Aku memperhatikan itu, semua aktivitasnya. Duh, jadi pengen diajarin ngaji juga Kakanda, sama Adinda. Aku tersenyum lebar. Duh, bakal digeplak Ustadz Yahya kali, kan ustadz jenggotan itu guru ngajiku.


Heran, adem banget lihatnya. Nggak pernah-pernah nih ngerasa setertarik ini. Sesuka ini. Dan semendebarkan ini. 


Dia beda aja. Sangat sederhana, sopan, rajin, cekatan, dan nampak sholeha. Nggak caper kayak kebanyakan gadis yang pernah kukenal. Dan lagi, sekalipun aku nggak pernah lihat dia pegang handphone. Langka banget kan jaman sekarang.


Aku juga sedang istirahat dengan gawai buat ngejalanin therapi pribadiku, istirahat dari kemewahan yang bikin aku merasa pusing dan mual yang makin menyiksa itu. Baru terpaksa harus buka email dan chatting dengan Handi di malam hari, ngontrol perusahaan. Setelah selesai semua tugas dan pekerjaan seputar urusan masjid ini. Aku pakai handphone baru, nomor baru, yang tahu cuma Handi. Aku benar-benar sedang berpuasa dari semua orang di dunia nyataku. 


Ya, itu aku. Memang sedang puasa dari semua fasilitas bahkan handphone dengan segala aktivitas menjeratnya. Tapi dia? Bukannya handphone adalah perpanjangan alat indra yang dimiliki dan digantungi semua orang?


Atau mungkin dia sengaja nggak bawa handphone ke masjid? Biar fokus ngajar. Ya, bisa jadi. Sesederhana itu mungkin alasannya. Dan buat aku, itu ngagumin.


---


"Apa kabar, Ayah?"


Aku menoleh. Mendengar suara yang belakangan kerap kudengar saat sedang bicara, di luar suara dan bacaan saat sedang menjadi imam tarawih, Ustadz Khalid. 


Lagi-lagi, dia datang sore-sore. Alasannya sama kayak kemarin-kemarin, nemuin pengurus masjid entah untuk urusan apa. Bahkan sampai maghrib dan isya lebih sering di sini sekarang. Buka puasa juga di sini. Menyantap takjil yang kusiapkan. Jadi, sedikit kuusilin. Bagian dia, kuenya kukasih dikit banget aja. Supaya jera buka puasa di sini. Itu namanya strategi.


Katanya sedang ada urusan dengan DKM. Hem, jangan-jangan cuma alasan buat nemuin Adinda. Nantang banget. Eh, nantang siapa? Ya, aku tertantang maksudku.


Dan baru kali ini posisiku begitu dekat dengannya saat ia sedang menghampiri pengurus masjid, Ustadz Yahya. 


Ayah? Dia memanggil Ustadz Yahya dengan ayah juga?


Mereka jelas bukan saudara. Kata Ustadz Yahya, Ustadz Khalid itu anak dari sahabatnya. 


Oh, jadi dia ngambil langkah sejauh itu udah? Manggil-manggil 'ayah' ke ayahnya Adinda? Tuh kan, nggak salah aku curiga. Dia pasti nyimpan rasa dan niat tertentu ke Adinda.


Nggak cuma panas, terbakar rasanya hati aku sekarang. Lalu terbenam dalam arang yang berubah jadi puing mematikan. Waktu lihat Ustadz Yahya tersenyum lebar menyambutnya. 


"Baik. Alhamdulillah baik," jawab lelaki paruh baya yang mulai nampak banyak ubannya itu, menyalami dan memeluk 'sainganku'. "Gimana kabar Umi? Katanya kemarin opname ya? Maaf belum sempat besuk."


Lalu mereka mengobrol akrab. Bahas keluarga.


Kayak terhempas. Serasa dada teremas-remas. Selama ini, aku selalu mendapatkan semuanya. Apapun yang kuinginkan dalam artian materi dan kekayaan. Kecuali kebebasan dan perasaan. 


Kali ini, keterkurungan dan kegagalan ini kembali kurasakan. Aku memang tak pernah beruntung perihal perasaan. Kebebasanku amat dibatasi dalam pergaulan, oleh orangtuaku. Lalu perasaan pada wanita tak pernah juga bisa benar-benar kurasakan. 


Dan kemudian, saat ini, saat labuhan rasaku sedang mekar pada satu orang, satu nama yang bikin aku selalu mikirin dia, gadis yang tiba-tiba aja bikin aku suka, aku harus kembali berhadapan dengan keterkurungan. Dalam keadaan dan penyamaran ini.


Sainganku nggak imbang. Dia imam, terhormat dan kenal dekat dengan orangtuanya. Sedangkan aku sedang berperan jadi marbot, miskin, dan aku bohong sejak awal, bilang sudah nggak punya keluarga--cuma buat menyempurnakan penyamaran. Biar diterima jadi marbot di sini tanpa ditanya lebih jauh soal keluarha. Handi yang memulai alasan dan kebohongan itu waktu pertama kali memperkenalkanku. 


Aku juga nggak sesholeh Ustadz Khalid. Ngaji juga baru belajar. Udah gitu, tompelan. 


Logis. Aku mengajak hatiku berdamai dengan berfikir logis. Kalau aku di posisi seorang ayah, seperti Ustadz Yahya, jelas aku lebih memilih lelaki yang jelas seperti Ustadz Khalid. Ilmunya jelas. Pekerjaan dan latar belakangnya jelas. Dibanding seorang marbot yang bergantung hidup pun di masjid ini aja. 


Gimana ini? Remuk rasanya hati. 


---


Sampai malam, susah banget terpejam. Kefikiran perasaan. Kefikiran Adinda dan Ustadz Khalid yang sejujurnya, serasi sekali dari sudut pandang manapun dilihatnya. Sama-sama anak ustadz. Sama-sama sholeh dan sholeha. Justru nggak serasi kalau sama aku.


Tapi kenapa timbul perasaan setidakrela ini? Hati yang terluka dan logika lelakiku yang ingin memilikinya. 


Ah ya, ternyata aku sesuka itu dengan Adinda. Dan sakitnya sebesar ini. Kenapa aku ngerasain sakit hati sehebat gini? Sebab cemburu. Karena bukan ambisi ini namanya. Diam-diam aku pengen banget berjalan di belantara kehidupan masa depan sama dia. Diam-diam, tiap lihat dia, yang kubayangkan adalah hari-hariku yang ditemani sama dia meski selama ini belum pernah ngobrol lama. 


Sekilas-sekilas sapa, atau obrolan singkatku sama dia, itu sudah cukup menggunungkan perasaan ini untuk menuntut balasan perasaan darinya. 


Dia, gadis impianku yang ternyata ada di tempat ini. Semua yang kusuka, ada pada dirinya. Adinda.


Baru ketemu beberapa waktu belakangan padahal. Tapi segini besar aku merasa dia sebagai belahan jiwa yang menghidupkan nyala semangatku yang hampir hilang. Bahkan mematahkan ketidakinginanku soal pernikahan. Satu hal yang paling kuhindati seumur hidup. Menikah bagiku hanya menambah tumpukan masalah. Tapi demi melihatnya, kulihat menikah adalah satu mimpi yang indah. 


Semudah itu ternyata perasaan berubah. Hanya oleh setitik rasa yang hadir tanpa permisi dan tumbuh begitu aja. 


Kembali memejamkan mata dan yang terbayang tatapan mata sendunya yang bercahaya di antara lentik bulu mata dan sederhana penampilannya.


Aku menelan saliva sambil merasakan buncah hancur di dada. Bukan titik jenuh seperti awal mula kepergian dari duniaku yang sebenarnya. Sekarang aku sedang merasakan goresan tajam perasaan. 


Mungkin Tuhan sedang ngasih aku teguran. Ngasih tahu, kalau bukan kejenuhan yang paling menyakitkan, tapi patah hati. 


Aku bisa bertahan dan melarikan diri dari rasa bosan dan kejenuhan pada kekayaan dengan menyamar kayak gini. Jadi marbot. Hal yang gila demi sembuh dari mual dan sakit kepala.


Sakitku perlahan hilang. Jenuhku redam. Kebebasan bahkan tanpa gelimangan uang dan kekayaan bikin aku jauh lebih tenang.


Tapi Tuhan justru ngasih aku perasaan yang terlabuh gitu aja, ke gadis sederhana yang bahkan baru kujumpa. Kemudian terhempas semuanya, detik ini. 


Ini sakit. Ternyata patah hati itu sungguh sakit. Aku baru benar-benar tahu rasanya. Lebih sakit dari sekedar jenuh yang kualami sebelum-sebelumnya. Bukan hanya mual dan sakit kepala. Hati yang patah bikin aku merasa sakit seluruhnya. Jiwa raga. Nggak ada celah logikanya. 


Aku meremas rambut. Mengamati mataku yang memerah. Menyadari, mungkin Tuhan tengah menegurku. Atas ketidakbersyukuranku dengan kehidupan. 


Semua kekayaan yang kumiliki, aku malah bosan. Jadi dikasih patah hati kayak gini. Biar aku ngerti, betapa aku nggak tahu diri. Begitukah?


Malam ini, akhirnya aku memutuskan untuk berkemas. Esok, aku harus pergi. Pulang. Aku sudah membandingkan rasanya. Jenuh dan patah hati. Aku jauh lebih bisa menanggung kejenuhan. Dibanding patah hati. Jauh banget perbandingan rasanya ternyata. Sakitnya lebih nggak terperi, terlukanya.


Ya, untuk apa bertahan kalau ke depan yang akan kulihat Ustadz Khalid dan Adinda yang kian dekat? Di tengah restu orangtua mereka. Lalu apa kabar dengan hatiku yang mengagumi gadis itu diam-diam? Keinginan memperjuangkan tapi terhalang kenyataan. Belum lagi dengan kenyataan kalau ia bukan gadis bangsawan. Bukan gadis impian keluargaku yang gila dengan uang dan kehormatan. Rumit sekali. Saat alam pun rasanya tidak merestui. 


Gini yah ternyata, sakitnya jadi pemuda yang kehilangan separuh kesempatan memperjuangkan wanitanya. Kayak nggak ada harapan buat ngelanjutin kehidupan.


Kali ini, di fase kehidupan ini, aku ternyata harus tahu diri.


Aku memutuskan pergi. Esok aku akan mengakhiri semua ini. Daripada bertahan dalam patah hati. Lalu semakin besar rasanya saat melihat mereka bersama bahagia, nanti.


---


"Ananda, sini."


Aku menoleh saat mendengar suara Ustadz Yahya memanggil seseorang. Tepat saat aku ingin berpamitan, pergi dari sini. Mengakhiri semuanya.


Ananda katanya? Apa dia sedang memanggil Adinda? Tepat sekali. Mungkin aku akan melihatnya untuk terakhir kali.


Ada detak tak biasa yang menyapa. Walau sekedar mendengar namanya. Meski aku sudah tahu kenyataan harus menjauh darinya.


Jam 11 pagi. Ini jam belajar mengajiku. Masjid sedang sepi. Ada Adinda datang bersama Ustadz Yahya? Sungguh tepat sekali.


Aku menyipitkan mata, menatap ke sosok yang beranjak menemui pengurus masjid sekaligus guru mengajiku itu di ujung lorong. Muncul di sana seorang gadis berkulit eksotis dengan langkah ragu.


Bukan Adinda. 


"Ya, ayah? Emh...." Dia melangkah mendekat. Nampak gugup dengan bola mata bulat yang mengerjap-ngerjap.


Ayah? Anaknya juga? Terlihat sangat berbeda dengan Adinda. Tidak seperti saudara.


Lalu Ustadz Yahya masih memperhatikan ke ujung lorong, lebih tepatnya ke sebalik dinding di ujung lorong. Aku juga mengikuti arah pandangnya. Terlihat seseorang menyembunyikan diri di sana. Ya, kentara sedang 'bersembunyi'.


"Sama siapa?" 


"Sendiri."


Ustadz Yahya menggeleng-geleng. 


"Bohong."


"Itu...."


"Pacaran di masjid lagi?! Sedang bulan puasa pun. Panggil ke sini!"


Apa? Pacaran di masjid? Ya, beberapa kali aku memergoki sejoli ABG berdua-duaan di pojok-pojok masjid. Bahkan di jam sholat tarawih. Hebat sekali bukan? Itu menjadi tugas tambahan untukku juga dari Ustadz Yahya, menegur, membubarkan mereka. Bisa-bisanya, masjid dijadiin tempat janji ketemuan. 


"Kadang ada yang nakal, ngaku sudah nikah. Perhatikan aja tampangnya, Kang. Kalau masih tampang ABG labil, atau tampang pemuda-pemudi, mintain buku nikahnya. Udah sering begitu. Mereka ijin ke orangtua mau sholat jama'ah ke masjid, di masjid malah janji ketemuan, berduaan di pojokan. Apalagi Kang Fadi orang baru, mereka pasti tahu Akang belum hafal wajah-wajah mereka. Tugas kita buat membersihkan tempat ibadah dari hal-hal begini." Pesan Ustadz Yahya kemarin lusa. Dengan raut kesal yang membuncah usai memergoki sejoli berduaan di pojok pagar. Di jam jeda antara Maghrib ke Isya. 


Ustadz Yahya melangkah ke ujung lorong dan memergoki seorang ABG laki-laki yang sedang bersembunyi di sana. Bener tuh pacaran. Sementara gadis eksotis tadi kabur lewat pagar samping, melewatiku begitu saja. Sengaja tidak kutahan. Anaknya Ustadz Yahya kan? Biar sajalah nanti jadi urusan Ustadz di rumah mereka.


Selanjutnya, tahulah, kesangaran lelaki itu keluar. ABG lelaki itu diceramahi habis-habisan. 


Setelah itu, Ustadz Yahya kembali ke arahku. Dan bertanya padaku, keberadaan gadis eksotis yang tadi.


Kujawab seadanya. Dan aku yang diceramahi sekarang.


"Kenapa dibiarkan pergi gitu aja, Kang? Aduh, Kang Fadi mestinya lebih tegas. Itu Rahel, anaknya Pak Sumitra. Bandel sekali. Sudah sering ketangkap basah pacaran di masjid. Kalau sholat tarawih bukannya sholat malah janji ketemuan. Tiap diadukan ke orangtuanya, orangtuanya malah nggak percaya. Tadi saya niat langsung telpon orangtuanya biar mergokin di sini. Malah dibiarin kabur." Ustadz Yahya mengusap wajah kesal. 


Sementara aku terdiam dalam kesadaran yang terlambat datang, aku baru saja membuat kesalahan. Membiarkan tersangka pergi begitu saja. Terbawa suasana, sejenak aku bahkan seperti lupa, niatan awal untuk berpamitan. Nggak tepat sikonnya.


"Yah gini lah, ngurusin masjid harus panjang sabarnya. Kadang kalau kita tegur anak yang nyata salah begitu, ngasih peringatan buat nggak boleh lagi datang ke masjid kalau tujuannya cuma buat janjian dan pacaran, malah orangtuanya ada yang nggak percaya. Nggak terima. Nuduh balik kita nggak ngebolehin anak mereka sholat ke masjid. Padahal kelakuannya begitu. Astaghfirullah." Ustadz Yahya mengusap dada.


"Begitulah ya, Kang. Anak-anak itu selain anugerah, mereka juga sebenarnya adalah ujian buat orangtuanya. Amanah." Suara Ustadz Yahya melemah. Sudah lebih normal. Ya, aku tahu, sosok ini tak pernah lama marah dan kesalnya. 


Ia menghirup udara, sambil membantuku menggelar sajadah yang tadi kujemur di teras.


"Kadang, di tengah hampir putus asa saya berdoa untuk diberi keturunan, teringat-ingat kelakuan anak-anak jaman sekarang. Di masjid aja berani pacaran, apalagi di luar. Di depan banyak orang aja berani pegang-pegangan tangan, gimana kalau di tempat yang nggak kelihatan? Ujian jaman. Zina makin terang-terangan." Ia menggeleng-geleng.


Dan saat ini, aku baru mengerti. 'Ayah' itu panggilan khas Ustadz Yahya, dari hampir semua remaja di sini. Juga Ustadz Khalid dan Adinda.


Dia bukan ayah dari Adinda. Dan Ustadz Khalid tidak sedang memanggilnya ayah sebagai panggilan sebagai calon mertua. 


Ah, kenapa ini, ada yang membuat hatiku lega luar biasa. 


"Nah, kalau ananda yang itu, beda sekali. Dari dulu. Nggak pernah buat ulah. Jangankan bohong soal pacaran, bahkan dia selalu menjaga hubungan untuk nggak pernah pacaran ngikutin teman-teman seusianya. Anaknya baik, sholehah, sederhana, dan berbakti sekali dengan orangtuanya. Walau keadaan sulit terus nguji hidupnya." Ustadz Yahya berucap sambil menoleh ke gerbang depan. Dengan wajah bersinar. Membicarakan seseorang yang datang dari sana.


Aku menoleh ke arah yang dilihatnya. Nampak jelas di sana, Adinda. Masuk ke halaman masjid dengan menggunakan sepedanya. 


Hatiku berbunga. Tak berkedip melihatnya.


"Ananda Dinda. Sholehah sekali anak itu. Kalau saja saya punya anak laki-laki, akan saya jodohkan dengan gadis itu." Ustadz Yahya tersenyum.


"Jadikan aku anakmu, Ustadz," ucapku dengan mantap. 

Bersambung


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Post a Comment