Just another free Blogger theme

Friday, May 2, 2025

 (11)  *MARBOT ITU TERNYATA CEO*


Penulis: leaaa 


Tuan Alfa atau Kang Padi




Mungkin karena sangat terniat, atau sebab namanya tersemat kuat dalam dadaku yang sempat tersekat, kalimat itu meluncur refleks saja dari mulutku. 


Aku sungguh-sungguh untuk urusan itu. Aku, mengingkan Adinda. Tapi kan, nekat sekali ini kesannya, caraku menyampaikannya.


Ustadz Yahya berpaling ke arahku, menatap lekat. Oh Tuhan, apa yang ia pikirkan atasku sekarang? 


Tak lama, ia tersenyum. Entah apa maknanya. Aku masih menebak-nebak. Apa ia faham maksudku barusan? Atau malah menertawakan?


"Ya. Masya Allah. Benar, sudah lama saya ingin mengangkat seorang anak. Hanya selalu ada kendala. Anak-anak orang." Ia tersenyum. Menatapku dalam.


Aku masih diam, mendengarkan. Dan menebak jalan fikirannya sebagai respon atas ucapku barusan. 


"Berapa usiamu, Kang? Ehm, maaf, Ananda Fadi." Ia meralat panggilan, atasku. Ananda maksudnya, Nak Fadi. Ya, ia memanggilku dengan sebutan itu sekarang.


Aku tergagap sejenak. Faham sikapnya. Cepat membaca situasi.


"Dua puluh lima."


Senyumnya kian lebar.


"Dua puluh lima? Ya, ya. Dua puluh enam tahun saya dan istri berumah tangga. Menunggu-nunggu kabar baik akan diberikan keturunan setiap hari. Belum Allah berikan rezeki itu." Ustadz Yahya meremas sebelah pundakku. Bisa kurasakan itu, harapan dan penantian yang sangat besar, akan hadirnya buah hati.


"Dulu pernah kami mengangkat anak. Masih bayi sekali, diberikan oleh orangtuanya. Kami rawat sepenuh hati, sebagaimana anak sendiri. Tapi saat menginjak usia remaja, ia mempertanyakan orangtua kandungnya. Tepat saat orangtua aslinya datang, menyesali telah memberikan anak itu." Ada embun yang akan menetes di sepasang mata yang kini menatapku ini. 


Aku membalas tatapannya. Dengan perasaan yang menyelam. Aku mengerti, isi hati lelaki baik hati ini.


Ia menggeleng kemudian.


"Lalu anak itu kembali diambil oleh orangtua kandungnya. Dibawa pergi jauh." Ia menyapu mata yang berair di hadapanku. Membuatku merasakan dengan jelas, sesaknya. Luka meski ia tersenyum sedetik kemudian. 


"Ah, maaf. Sudahlah. Memang tak akan bisa anak dan orangtua kandung dipisahkan." Ia semakin lebar tersenyum. Meski embun mata itu tak bisa menutupi kesedihan dan harapan yang masih menggantung sampai detik ini.


Aku tahu rasanya menanti. Melihatnya, seperti melihat Mami dan Papi. Walau mereka jauh lebih beruntung, aku telah lahir sebagai buah hati mereka saat Mami harus menjalani operasi pengangkatan rahim. Makanya Papi dan Mami selalu bilang, aku anak tunggal, putra mahkota kesayangan. Hanya aku penerus keturunan dan kekayaan dari Papi yang juga putra tunggal dari Opa dan Oma.


Meski sudah ada aku, masih kerap dulu kulihat Papi dan Mami teramat senang melihat bayi-bayi perempuan. Mereka ingin memiliki banyak anak. Tapi takdir tak mengijinkan. 


Aku tahu rasanya. Itu sebab aku selalu menurut saja apapun larangan dan kekangan Mami Papi, atasku. Hingga mengalami titik jenuh kehidupan seperti ini.


Ustadz Yahya bahkan lebih malang dari itu. Tak sempat memiliki seorang anakpun sampai usia tuanya sekarang.


"Kalau istri saya langsung hamil setelah menikah, pasti usia anak kami sekarang seusia Ananda Fadi. Ya, tepat sekali, anakku. Terimakasih." Menatapku dalam sekali.


Aku masih mencerna, terimakasih untuk apa?


"Ya. Kamu anakku. Panggil aku Abi mulai sekarang, Nak." Memelukku. 


Aku terdiam kemudian. Lalu membalas pelukannya setelah faham. 


Ia menanggapi serius sekali ucapanku tadi. Abi. Ia ayah angkatku sekarang. 


---


Bagaimana proses takdir berjalan? Misteri. 


Seperti yang kualami sekarang. Aku membatalkan niat pulang karena patah hati yang terjadi sebelumnya, salah sangka pada harapan yang nyaris sirna, terhadap seorang wanita sebab hadirnya Ustadz Khalid yang kusangka sudah begitu akrab dengan Ustadz Yahya, yang ternyata bukan ayahanda dari Adinda. 


Sekarang, aku justru memiliki ayah angkat baru. Seorang ustadz. Yang benar menganggapku sebagai anak. Anak ketemu besar. Ah, tak apa. Aku turut bahagia melihat semburat bahagia di wajahnya dan Umi--istri Ustadz Yahya. Apalagi, akulah penyebab bahagia mereka.


"Umi, anak kita sudah datang." Ustadz Yahya menyambutku di rumahnya. 


Aku terdiam di pintu sebentar. Menerima sambutan dari seorang wanita berjilbab panjang yang segera menyambutku dengan senyum lebar. Aku mencium tangannya.


Anak kita? 


Ya, aku. Anak angkat mereka.


Lalu aku merasa begitu disayang. Diperlakukan layaknya anak yang telah lama hilang. Jadi keingat Mami dan Papi. Sebelum penyamaran ini, aku sudah menyampaikan niatan untuk menyendiri, makanya tidak dicari-cari, refreshing selama satu bulan kataku hari itu sebelum pergi. Selama ini, nyaris tak pernah aku berlibur lama. Jadi mereka mengijinkan. Tentu saja. Walau mereka kira aku berlibur panjang ke luar negeri, mana tahu aku malah ada di sini. Menjadi marbot. Huft.


Setelah aku makin dewasa, Mami Papi memang tidak semengekang dulu. Apalagi jika alasannya untuk refreshing dan menenangkan diri. Mereka lebih percaya, tapi tetap dengan wanti-wanti agar aku menjaga hubungan dan pergaulan, dengan siapapun. 


Ya, refreshing, alias mencari makna hidup dengan penyamaran ini. Mengatasi titik jenuhku. 


Umi dan Abi memperlakukanku dengan baik. Apalagi mereka kira, aku memang hidup sebatang kara--seperti cerita Handi di awal penyamaranku ini. Tak kusangka, kebohongan pertama itu membawa pada kehidupan seperti ini. Menjadi marbot masjid, lalu menjadi anak angkat seorang ustadz. 


Aku menikmati ini. Detik-detik yang melelahkan dengan perjuangan siang dan malam. Kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat dari takdir hidupku sebenarnya. 


Meski menjadi anak angkat dan kerap datang ke rumah Ustadz Yahya, sebagai anak, menyantap menu sahur yang dibuatkan Umi misalnya tapi aku tetap tinggal di kamar khusus marbot pada sisi masjid. Tentu saja, tugas utamaku sejak awal di sana. Bahkan aku yang memegang semua kunci bangunan itu, seluruh ruangan. 


Pembelajaran iqro-ku berjalan lancar. Aku sudah bisa sedikit-sedikit mengeja Al Qur'an. Abi mengajarkanku lebih giat dari sebelumnya. Entah karena perkembanganku yang menyemangatkan atau sebab kini aku adalah anak angkatnya. 


Ya, ini semakin menyenangkan. Saat menyadari bahwa aku seperti memiliki benar-benar keluarga di tempat ini. Dianggap layaknya anak sungguhan. Entah jika aku akhirnya harus kembali ke kehidupanku yang dulu, mungkin aku membutuhkan waktu khusus untuk menjelaskan. Atau bahkan aku akan terus menyamar dan sesekali datang, ke tempat ini nanti. Belum terlalu kufikirkan, sebab aku masih sangat menikmati semua ini. 


Apalagi, dengan statusku sekarang, aku makin banyak memiliki waktu bertemu Adinda. 


Ya, gadis yang membantu bersih-bersih Masjid Almira Tiga, mengurusi kebutuhan di tempat ibadah wanita ternyata memang Adinda. Dia yang dimaksud Ustadz Yahya sejak awal. 


Adinda putri seorang mantan marbot masjid juga. Jadi dia sudah sangat terbiasa mengurusi rumah ibadah seperti ini. Bahkan telihat sangat menikmati. Aku juga, menikmati waktu-waktu bisa ketemu dia. 


Benar kata Abi, gadis itu memang beda. Auranya tenang dan dewasa. Dalam sederhana dan tegar sikapnya. Ya, tegar. Dia hanya hidup berdua dengan ayahnya. Ibunya sudah lama meninggal. Bahkan ayahnya sakit-sakitan. Ia yang menopang sendiri hidupnya juga merawat dan menghidupi ayahnya. Menjadi tukang punggung di usia semuda itu.


Bagiku, itu mengagumkan. Dia berjualan kue dan nasi bungkus yang dibuatnya sendiri. Ya, dia pandai memasak dan olahannya sungguh aku suka. 


Tentu saja aku tahu, aku sudah cukup sering memakan kue yang ia buat dan disumbangkan sebagai takjil berbuka puasa jama'ah masjid ini. Bahkan ternyata, sejak pertama aku tiba, nasi bungkus pertama yang diberikan padaku hari itu adalah olahan Adinda. Dia memberikannya secara gratis setiap hari kepada beberapa marbot masjid di kota ini. Menyisihkan keuntungan dari dia berjualan. Demi membantu kesejahteraan para perawat rumah ibadah, sepertiku. Kontribusi rumah dakwah lewat marbotnya. 


Ya Tuhan, aku baru nyadar, betapa variatif cara tiap orang menjemput pahala kebaikan. Ada yang dengan cara membangun masjid. Ada yang menyediakan sarana prasarana ibadah. Ada yang berkontribusi pemikiran dan waktu sebagai pengurus masjid. Bahkan ada yang dengan cara memberikan nasi bungkus untuk marbot sepertiku, seperti yang dilakukan Adinada.


Padahal menurut Abi, hidup gadis itu juga serba kekurangan, tapi berbaginya malah nggak pernah kurang. Bikin sayang. Eh.


Aku, semakin suka. Ya, mana mungkin aku tidak mengaguminya.


"Kak Dinda ada salam... dari Abangnya Gina...!" Teriak seorang bocah dari halaman masjid. 


Membuatku berhenti dari kegiatan membersihkan sajadah. Langsung panas aja ini hati dengarnya. Salam? Ngapain nitip-nitip salam? Keganjenan banget. 


Aku mengintip dari jendela. Memperhatikan anak yang tadi bilang demikian. Ngafalin wajahnya. Buat nanti kuperingatkan. Kalau perlu abangnya itu sekalian. Berani-beraninya nitip salam ke Adinda.


Hm, posesif gini aku jadinya. Padahal kan, aku juga belum menyatakan perasaan. Perasaan? Ya, apa aku harus 'nembak' Adinda?


---


"Pacaran itu buat apa?"


Aku sedang menguping pembicaraan gadis itu dengan seorang ABG yang masih sangat belia. Murid mengajinya.


"Em, buat senang-senang aja, kak. Jangan aduin Ayah Yahya ya? Nanti dimarahin!" ABG belia itu menyebut nama Abi angkatku. Ya, Abi memang cukup keras urusan melarang pacaran. Apalagi kalau janjian keemuannya di masjid. 


Kali ini, bukan Abi, tapi Adinda yang sedang mendengarkan curhat murid ngaji ABG nya. Kelihatan masih anak-anak sih lebih tepatnya. Mungkin sekitar kelas satu SMP. Anak cewek. Yang kayaknya curhat madakh cowok ke Adinda. 


"Senang-senang? Buat apa senang-senang kalau mendekatkan ke dosa?" Dia tersenyum ke arah remaja belia itu. 


"Dosa? Emang pacaran tuh dosa, kak? Tapi kan tahu batasan," protesnya seketika. 


Dosa? Aku juga mengernyit dari tempat yang tak dilihatnya ini. Ya, apa pacaran itu dosa? Aku baru tahu. Aku selama ini tidak berpacaran karena orangtuaku melarang. Atas alasan kebangsawanan bukan sebab dosa apalagi larangan agama.


Adinda mengangguk. 


"Ya. Dosa mendekati zina. Bahkan bisa mudah terjerumus dalam zina. Dosanya kulit saling bersentuhan yang harusnya haram dipegang. Dosanya memandang sesuatu yang juga nggak halal dipandang. Sisanya pemikiran dengan membayang-bayangkan. Belum ditambah dosa bohong sama orangtua dan seterusnya. Apa itu menyenangkan?" Dia berucap dengan penjelasan ringan yang membuat remaja itu segera terdiam. Meski tak lama kemudian begitu cepat lagi mengajukan pembelaan. 


"Terus kalau suka sama orang gimana dong, kak? Masa dipendam? Kan nggak baik malah kalau perasaan dipendam." 


Pembelaan macam apa ini? Khas remaja labil korban televisi sekali.


Tapi aku juga jadi makin tertarik menyimak, penjelasan dan sudut pandang Ananda. 


Dia tersenyum. 


"Kayak kita yang sekarang lagi puasa. Dari subuh nahan lapar sampai senja dan waktunya buat berbuka. Sepanjang hari ngerasain lapar, haus kan? Gimana sih rasanya harus menahan ketika lagi lapar-laparnya dan haus-hausnya? Memendam keinginan. Nggak enak?" Dia bertanya. 


Remaja itu mengangguk. "Iyalah, kak, apalagi nggak sahur. Hawanya pas panas pula." Ngeluh beneran.


"Tapi demi taat dengan kewajiban puasa, kita tetap menahan kan? Memendam keinginan sementara untuk makan dan minum di siang harinya. Terus baru berbuka di waktu senja. Pas buka, lega nggak?"


"Banget! Apalagi bukanya langsung minum es seger. Makan yang enak-enak." Malah jadi berimajinasi kayaknya remaja belia itu.


Sementara aku makin tertarik menyimak dari sini. 


"Iya, nikmat. Nikmat banget berbuka. Beda kalau kita lagi nggak puasa. Atau pecah puasa di siang harinya. Pas waktu berbuka di senja harinya, makanan dan minuman nggak senikmat terlihat kayak kalau kita tunai puasa. Belum lagi kita jadi nggak ngejalanin kewajiban, dosa." Adinda meluruskan kakinya. Mereka sedang duduk berdua di teras masjid. 


"Menahan diri dari pacaran juga sama kayak gitu. Kita menahan diri dari pacaran sama artinya lagi puasa sampai tiba waktunya berbuka. Waktu jodoh kita datang menghalalkan dalam janji setia dengan orangtua dan wali kita. Berpuasa selama itu. Baru ngerasain semuanya, perasaan suka yang bebas, perasaan sayang yang nggak bikin dosa, dan seterusnya." Ia kembali melanjutkan. 


Hatiku basah. Adem banget dengernya.


"Kalau kita puasa, meskipun nggak berbuka, nggak minum yang ngebatalin puasa, apa dibenarkan kalau kita pegang gelas berisi es teh segar kemana-mana? Sama sepiring nasi dengan lauk yang menggugah selera di tangan kita? Terus kita bawa dan hadapin kemana-mana. Sambil kita bilang, ini cuma pegang-pegang kok. Cuma mandangin aja, nggak akan dimakan. Masih tahu batasan. Hanya jika dimakan dan tertelan maka baru batal puasanya. Apa masuk akal begitu? Apa kita nggak akan tergoda buat nyicipin yang nantinya pasti akan membatalkan puasa? Dan apa orang-orang yang lihat akan percaya sama pengakuan kita yang bilang bisa menahan diri sama tahu batasan nggak akan makan minum itu semua?"


Remaja itu benar-benar terdiam sekarang. 


Sama sepertiku. Yang seperti diajak berpetualang oleh penyampaiannya. 


"Saat puasa kita dilarang menghadapi dan membawa-bawa makanan minuman kayak gitu. Dipandangin apalagi sambil berangan-angan gimana rasanya dan seterusnya. Meskipun nggak dimakan nggak diminum. Cuma dipandang, dipegang, dan dicium-cium aja aromanya. Kenapa? Karena mendekati hal yang membatalkan puasa. Sama kayak perbandingan pacaran dan menikah. Menikah itu adalah saat berbuka puasa. Dan pacaran jadi hidangan yang mendekatkan kita ke zina. Mendekati zina akan besar godaan untuk berzina. Apalagi godaan setan dimana-mana. Sedikit orang mungkin bisa bertahan dari godaan. Tapi kecil sekali. Apalagi sering ketemuan, janjian. Faham ya? Kita sama-sama puasa sambil percaya, ada jodoh masa depan yang sudah disiapin buat kita. Walau kita nggak tahu siapa," ucapnya pada remaja belia itu, masih dengan senyuman. 


"Kalau nggak pacaran terus nanti nikahnya gimana? Tapi kan, kak, pacar aku bilang cinta banget sama aku." Sumpah. Alay banget ngucapnya itu remaja belia. Ckck.


"Laki-laki yang baik nggak akan ngajak perempuan yang dia suka buat sama-sama bikin dosa. Kalau dia serius, dia bakal bersabar sampai waktunya berbuka puasa. Ngajak nikah. Lalu pacaran setelah halal. Semuanya jadi ibadah. Jadi nikah dulu, baru pacaran, itu yang benar. Bukan sebaliknya."


Ah, ada yang terasa hangat di dalam sini. Mendengar kalimat itu keluar darinya. Untung aku belum jadi 'nembak' dia. 


Kukira, akulah manusia paling malang di dunia sebab tak pernah berpacaran akibat larangan orangtua. Ternyata, dia juga. Tapi lebih jelas alasannya, sebab faham dosa dan menjaga dirinya dari zina. Sedangkan aku, sebab kasta dan kehormatan keluarga.


Aku makin suka. Dan terpesona dengan cara menyampaikannya. Gadis seperti ini yang kucari. Selalu bermakna yang dikatakannya. Sederhana, pintar, dan sholehah banget sih dia. Jadi nggak tahan lama-lama, pengen ngehalalin aja. 


Aduh. Sabar, Alfa, masih puasa.


---


Kesungguhanku, mungkin ternampak nyata dari sorot mata. Atau dari sikapku setiap kali bertemu Adinda. 


Aku menjaga jarak dengannya. Benar. Sebab seperti yang kudengar darinya, ia menjaga diri dari zina. Kecuali saat berpapasan tak sengaja dan ini seringkali memang kuatur agar terkesan alami terjadinya. Padahal aku memang ngatur langkah supaya papasan sama dia. Sekedar lalu dan melihat sekilas aja, udah cukup bikin hati ini berbunga-bunga dengan desiran rasa yang makin menjulang ke ubun-ubun kepala. Ternyata, gini rasanya jatuh cinta. Desirannya terasa gaduh sekali di dada. Lalu aku tak bisa menahan senyuman setelah cepat berpaling darinya. Berseri-seri pasti ini muka. 


Atau diam-diam, aku mengintip dia dari kejauhan. Saat dia ngajar, aku membuka sedikit gorden di balik ruangan itu. Sambil pegang sapu, buat jaga-jaga kalau ketahuan. Atau menatapi punggungnya yang menjauh pergi dengan sepeda. Lenyap di ujung pagar masjid.


Tersenyum di sini. Mengamatinya yang tiap hari bikin aku makin suka. 


"Apa kamu sungguh-sungguh, Nak?" 


Aku terkejut. Segera berpaling. Mendapati Abi--Ustadz Yahya meremas pundakku dari belakang yang sedang menatapnya dari kejauhan. 


"Halalkan atau lupakan."


Aku menelan saliva. Lalu membaca situasi segera.


Dia Abi-ku sekarang. Dan kini sedang bertanya soal kesungguhan. 


Aku suka dia tapi bagaimana dengan kehidupanku yang sebenarnya? Apa harus jujur sekarang? Atau bertahan dengan penyamaran sampai waktuku di sini selesai?


Aku adalah Tuan Alfa, sang CEO ternama dari keluarga bangsawan, pewaris tunggal keluarga Edibagaskara.


Tapi di sini, aku adalah Kang Padi, marbot masjid yang hanya memiliki orangtua angkat, Ustadz Yahya dan istrinya. 


Dan aku menyukai seorang gadis shalihah, Adinda. Sebagai siapa aku harus datang padanya? Tuan Alfa atau Kang Padi?


Ada rasa takut yang menyerangku tiba-tiba. Entah sebab apa.


---


Bersambung ..12


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Post a Comment