Just another free Blogger theme

Thursday, May 8, 2025

 (13)  MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea



Akad Mendadak


Bukan tanpa alasan Adinda menerimaku. Tapi sebab melihat kesungguhanku belajar mengaji dan agama. Meski ia tahu, aku baru memulainya.


Kata Abi, memang sosok yang mau terus belajar lebih menenangkan dipilih sebagai pasangan, dibanding yang pintar tapi berhenti belajar lalu merasa cukup dan bersombong dengan ilmu yang sudah ada. Sebab hidup ini sejatinya, adalah proses belajar selamanya. 


Itu salah satu alasannya. Alasan lainnya, tentu saja sebab aku menunjukkan kesungguhan dalam kesederhanaan ini. Atau sebab aku sama seperti ayahnya dulu, seorang marbot masjid. Atau karena dia juga menyukaiku. Em, benarkah?


Entahlah alasan mana yang lebih menguatkan keputusannya. Tapi yang kutahu, dia sudah menerimaku. Dan aku belum jujur sepenuhnya padanya, soal muasal dan kehidupan asliku.


Aku berfikir serius di dalam kamar saat sendirian. Cara dan waktu untuk menyampaikan yang sebenarnya. Pada Adinda, juga pada Mami dan Papi. Kebohongan ternyata tak pernah membuatku merasa tenang.


Aku duduk di tepi kasur tipis pada kamar sederhana ini. Mencopot tompel di wajahku dengan cairan khusus. Ya, tidak bisa asal dibuka dan dipasang sembarangan. Sebab bahan tompel ini memang dirancang untuk terlihat benar-benar seperti sungguhan. Maka memakainya menggunakan cairan khusus, begitu pun saat membukanya. Ribet sih, tapi terlihat sangat nyata. 


Aku baru tahu belakangan, ternyata kulit yang tidak terkena air wudhu, maka tidak sah wudhunya. Jadi aku selalu berwudhu dulu, baru memasang tompel dan menjaga wudhu sampai aku bisa berwudhu lagi, sembunyi-sembunyi. Huh, ternyata tompel-tompel ini menyusahkan. 


Tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak dipakai, bisa-bisa aku dikenali oleh jama'ah yang mungkin pernah melihatku, di majalah-majalah bisnis misalnya. Belum lagi jika ada karyawanku yang shomat di sini. Ya, beberapa memang kutemukan, sholat ddan berbuka puasa di masjid ini. Untung mereka tak mengenaliku. Huh.


Baru satu tompel di pipi kananku yang kulepas, masih ada dua tompel lagi--satu di pipi kiri, dan satu di bawah dagu--ketika pintu kamarku terdengar diketuk keras dari luar. 


Siapa sih? 


Aduh. Buru-buru aku kembali mengoleskan cairan penempel, lalu memasang tompel yang baru saja kulepas ke pipi kanan.


Lalu membuka pintu. Ternyata Abi. Kenapa mencariku malam-malam begini? Ini sudah pukul setengah dua belas malam. Tarawih sudah selesai. Semua jama'ah sudah pulang. Masjid kosong. Aku yang terakhir mengunci pintu.


"Ya, Abi?" Aku melebarkan pintu kamar agar Abi bisa masuk.


"Tolong bantu Abi cari sopir ya!"


Sopir? 


Aku belum mengerti. Tapi dengan cepat mengunci pintu kamar, mengikuti Abi yang sudah berbalik dengan tergesa. 


Setengah berlari Abi menyusuri lorong. Aku mengikuti. Sambil mendengarkannya bicara, memberikan instruksi.


"Ada ambulans, fasilitas masjid ini, Nak. Tapi sopirnya sedang tidak ada di tempat. Kita 

butuh orang untuk membawa ambulans itu. Tidak ada yang bisa mengendarai mobil di sini." Abi memberi penjelasan singkat. 


Oh, akan membawa orang sakit. Ya, aku mengerti. 


Siapa yang sedang sakit dan butuh dibawa ke rumah sakit segera? Sepertinya cukup parah sebab wajah Abi Yahya terlihat sangat panik begini.


Aku masih mengikuti langkah cepat Abi. Sampai tiba di teras masjid dimana sudah ada yang menunggu kami ternyata. Adinda bersama seorang lelaki tua yang nampak menahan kesakitan hebat di dadanya.


Nafas lelaki itu terdengar berat, terengah-engah. Ayahnya, itu ayah Adinda. Pak Adi. 


Gadis itu nampak sembab, walau tetap tegar memangku ayahnya, aku tahu ia sangat khawatir sekali. Begitu nampak dari ekspresi wajahnya.


"Cepat, Nak Fadi. Cari orang yang bisa menyetir mobil. Kita butuh membawa Adi ke rumah sakit segera!" Abi Yahya menyadarkanku.


Ini mendesak. Tidak bisa menunggu.


Aku segera mengambil kunci mobil dari Abi Yahya kemudian melompat menyalakan mesin ambulans. Lalu kembali dan membopong tubuh tua Pak Adi, masuk ke dalam.


"Nak...." Abi Yahya memanggilku. Mempertanyakan siapa yang akan membawa ambulans, aku tahu. 


"Aku yang bawa, Bi!" Ucapku cepat. Lalu segera masuk ke balik kemudi. Abi Yahya segera membaca situasi. Mengikuti masuk bersama Adinda. 


Kulajukan mobil ambulans dengan cepat, tentu saja dalam kendali terbaikku, menuju rumah sakit. 


Tiba dan aku segera turun, membuka pintu belakang lalu bersama Abi Yahya membawa Pak Adi masuk ke dalam untuk segera mendapat tindakan. 


Tubuh tua yang sudah nampak sangat lemah. Dalam nafas yang kian terengah-engah. Dan bisa kulihat bekas muntahan darah, di bibirnya. 


Adinda ikut berlari, mengikuti di belakang kami. Dalam derai air mata yang berjatuhan di pipinya. Aku tahu, dia sangat sedih sekali. 


Aku juga sedih, melihatnya begitu. Semoga ayahnya bisa mendapatkan pertolongan segera.


---


Pak Adi sedang ditindak di dalam sebuah ruangan. Kami bertiga, aku, Abi Yahya, dan Adinda menunggu di luar. 


Berkali-kali aku menoleh pada gadis itu. Dia yang sejak tadi hanya diam. Mengatupkan bibirnya dengan rapat. Aku tahu, dia sedang berusaha terlihat sangat tegar dengan diam seperti itu. Sebab jika bicara, mungkin pecahan tangis dan isakan keras yang akan terdengar. Maka ia memilih untuk mengunci mulutnya rapat-rapat, sejak di masjid tadi. 


Berdiri di depan pintu ruang tindakan sambil meremasi tangan dan sesekali menghapusi air mata yang jatuh dari mata sendunya. Bisa jelas kubaca, besar kekhawatiran yang meliputinya.


Sedih banget lihatnya. Walau justru, dalam ekspresi seperti itu, dia malah terlihat semakin mempesonaku. Aku menyukai gadis berhati lembut seperti itu. Ah, kenapa perasaanku ini, makin tidak bisa dikendalikan. Bahkan dalam kondisi seperti ini.


Aku kembali menunduk. Menunggu. 


Aku berdiri di depan tiang dalam jarak sekitar dua meter dari sana, bersama Abi Yahya. Ditemani hening yang menegangkan kami semua. 


Ini malam Jumat di bulan Ramadhan. Gerimis turun perlahan dari langit. Membasahi ke ujung teras, di batas tiang tempat aku bersandar. 


Aku mundur sedikit, menggeser tubuh agar tidak terkena tempias hujan. 


Abi Yahya melakukan hal yang sama. Sejenak memecah keheningan dan ketegangan, Abi mulai membuka pembicaraan. Padaku dan pada Adinda. Mungkin juga untuk menenangkan gadis itu. 


"Insya Allah semua akan baik-baik saja. Pelayanan rumah sakit ini terkenal cepat dan lengkap," ucap Abi, menatap Adinda yang tidak mau melepaskan pandangan dari pintu ruang tindakan.


Gadis itu berbalik sejenak, sadar sedang diajak bicara oleh Abi. Lalu samar mengangguk. Masih tidak bicara apa-apa.


Sekilas tatapan kami bertemu. Bisa kulihat kaca-kaca di matanya. Kemudian ia cepat menunduk sambil menggigit bibirnya sendiri.


Aku hanya diam. Meski sudah menyatakan niatan untuk menghalalkannya dan ia pun sudah menerima, tapi kata Abi, interaksi tetap harus dijaga sampai tiba saat halal sebenarnya. 


Aku mengerti. Justru terasa semakin kaku dibanding sebelum pernyataan soal niat mempersuntingnya itu. Rasanya ada buncah malu dan debar yang semakin kencang setelah jawaban darinya kuterima. 


Dia sudah tahu kalau aku memiliki rasa, untuknya. Dan kurasa, dia juga sama, makanya dia mau menerima. Jika kuperistri dalam waktu yang harusnya tak lama lagi. Ya, tidak boleh terlalu lama kata Abi. Aku harus memberikan kejelasan waktu, kapan akan meminang dia secara resmi.


Sesungguhnya, aku ingin secepatnya. Karena sulit sekali mengendalikan rasa di dada. Sudah begitu rindu. Bahkan malam ini pun, demi melihatnya sekhawatir dan sesedih itu, jiwa lelakiku rasanya begitu meronta. Ingin mengusap air mata bahkan memeluknya, menenangkannya. Tapi mana boleh kan. Belum halal. Jangankan menyentuh, sengaja bertatapan lama saja belum boleh. Huft.


Secepatnya aku harus mengatakan semua ini pada Mami dan Papi. Apapun resikonya dan bagaimanapun caranya. 


Sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi rasanya, aku beneran jatuh cinta sama dia. Adinda. Terlebih malam ini. 


Aku beralih menatap langit. Terlihat diam padahal sedang meredam gejolak rasa yang berkejaran. Rasa bahagia bisa dekat sama dia, walau masih berjarak beberapa meter kayak sekarang. 


Nggak kelihatan bicara apa-apa, padahal dalam hati aku sedang berdoa. Memohon pada Sang Maha Pencipta agar aku segera dipersatukan dengan Adinda.


"Oh ya, Nak Fadi bisa menyetir mobil ternyata?" Abi Yahya kembali memecah keheningan. Kali ini aku yang diajaknya bicara. 


"Oh ya, Abi." Aku menyahut. Berpaling.


Lalu kulihat Abi mengernyit. 


"Sudah lama bisanya? Bahkan lihai sekali," sambung Abi. "Sudah biasa mengendarai mobil? Belajar dimana?"


Aku baru tersadar, maksud pertanyaan Abi. Dari mana aku bisa menyetir mobil padahal di awal, aku mengaku datang dari desa?


Tentu saja aku bisa. Aku terbiasa menyetir mobilku sendiri, bahkan sejak SMA. 


"Itu...." Aku menggantung jawaban. Bimbang. Aku harus menjawab apa? 


Adinda juga menoleh ke arahku kali ini. Menatap curiga, kurasa.


Dan seketika, menciut keberanianku untuk jujur mengakui yang sebenarnya. 


"Aku pernah menjadi supir, Bi." Jawaban itu meluncur begitu saja.


Aku kembali berbohong. Demi melihat sorot mata Adinda. Menciutkan nyaliku untuk jujur dan mengakui sekarang. Kepura-puraan ini. Aku lemah saat ditatapnya. Takut ditolak olehnya.


---


Ada saat dimana doa akan dikabulkan dengan segera setelah dipanjatkan.


Seperti doaku barusan. Meminta agar dipersatukan dengan Adinda. Dalam ikatan pernikahan.


"Nyawa Adi sudah di ujung batas. Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya. Tapi ia pun sepertinya sudah menunggu 'kepulangan' selamanya." Abi menatapku lekat. 


Kulihat di sisi ranjang, Adinda menciumi tangan dan pipi ayahnya sambil membisikkan kalimat-kalimat tauhid.


"Adi ingin, Adinda menikah sebelum ia menutup mata selamanya. Agar ia bisa pergi dengan tenang setelah memastikan ada seseorang yang menggantikannya, menjaga putrinya." Abi meremas pundakku, menatapku serius. "Kamu bisa menikahi Adinda malam ini, sekarang juga. Abi akan menyiapkan saksi dari perawat atau dokter di sini."


Aku terkesiap. Dalam keterkejutan paling tak kusangka. Menikahi Adinda sekarang juga. 


"Ayo, Nak Fadi. Tidak banyak waktu. Adi sudah menunggu." Abi menyadarkan ekspresi diam dan keterkejutanku.


Ada kuncup yang merekah terlalu hebat dalam rasa gamang yang bertubrukan di sepenuh pikiranku sekarang.


Aku akan menikahi Adinda. Sekarang juga. Semudah ini. Tapi aku belum jujur. Bahkan Mami Papi belum tahu. 


Meski tak ada syarat seorang lelaki didampingi orangtua atau walinya saat akan menikahi seorang wanita. Lagipula, tidak ada yang tahu soal Mami dan Papi, hanya Abi dan Umi, orangtua angkatku di sini. 


Tapi aku harus bagaimana? Bagaimana? 


"Kenapa? Ada yang meragukanmu?" Abi kembali mendesakku.


Apa aku harus bilang?


Tapi aku justru menggeleng. "Tidak, Abi. Aku... akan menikahi Adinda. Sekarang." Kujawab dengan mantap. 


Lalu semuanya terjadi dengan begitu singkat. Saat wali dan saksi begitu cepat siap. Menikahkanku secara agama, dengan Adinda. Dalam pandangan mata lelah Pak Adi yang berada di ujung ajalnya. 


Aku menyambut genggaman tangan di hadapanku. Mendengarkan dengan hati bergetar saat namaku dan nama Adinda disebut, untuk dinikahkan, detik ini juga. 


Dalam denyar dada yang entah bagaimana kugambarkan rasanya. Bahagia, cemas, dan gamang jadi satu. Namun, lantang dan jantan kulafalkan kalimat penerimaan atas pernikahan ini. Dengan mahar sebuah sajadah lipatku yang kubawa. Sesederhana itu.


Berdetak kuat dadaku, saat kusebut namanya menjadi istriku. 


"Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Putri binti Adi dengan maskawin sebuah sajadah dibayar tunai!"


"Sah!"


Maka resmilah dia menjadi pendamping hidupku. Adinda. 


Mata tua Pak Adi mengerjap dan berkaca-kaca. Lalu kalimat tauhid terucap dari bibirnya. Kemudian ia menutup mata untuk terakhir kalinya. 


Bisa kudengar jelas isak yang ditahan wanita itu sejak tadi, pecah detik ini. Memeluk ayahnya yang kutahu baru saja melepaskan nyawa. 


"Ayah...." Suaranya bergetar, kehilangan yang begitu besar. Adinda. Istriku....


Aku menelan saliva. Menatapnya juga dengan mata berkaca-kaca. Antara turut merasakan kesedihannya dan buncah bahagia yang belum pernah kurasa sebelumnya. Dia yang kini halal menjadi belahan jiwaku sesungguhnya. 


Secepat ini Sang Maha Segalanya mengabulkan doaku rupanya. Dalam skenario paling tak terduga dan perkiraan waktu paling tak kusangka.


Di malam hujan pada Bulan Ramadhan, doaku dikabulkan. Aku bukan lagi seorang pria lajang.


Bersambung. . 14

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Post a Comment