Just another free Blogger theme

Wednesday, May 7, 2025

 


(12) *MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea



Trauma Adinda


Aku terdiam untuk beberapa saat. Menyelami mata Abi yang menatapku sungguh-sungguh. 


Melihat pantulan wajahku sendiri di mata bersih itu. Terlebih sinar matahari waktu dhuha sedang tepat menerpa mata coklatnya. Bisa kulihat dengan jelas, wajahku, dalam balutan kesederhanaan, penyamaran ini. Dua tompel di pipi dan satu tompel di dagu. Serta tataan rambut yang bukan asliku sama sekali, berbelah tengah dan lurus ke bawah. Kufikir tampilan ini terlihat buruk, ternyata kata mereka semua yang melihatku, ini bukan buruk. Lebih tepatnya, terlihat 'lucu'. Culun sekali. Sebabnya, banyak yang menertawakanku. 


Lucu? Ya, aku menjadi lelucon, marbot yang terlihat lucu alias cupu. Bahkan setelah beberapa waktu di sini, panggilanku tak hanya Kang Padi, beberapa orang lebih senang memanggilku dengan gelar baru, 'Kang Tompel'. Ya, itu. 


Dan entah mengapa, bukannya menjawab pertanyaan Abi yang jelas sekali sudah mengetahui soal kekaguman, rasa suka, atau apalah ini namanya, pada Adinda, atau bertanya pendapat lelaki bijaksana itu tentang harusnya aku datang pada Adinda sebagai siapa? Tuan Alfa atau Kang Padi?


Tidak. Aku justru mempertanyakan hal lain yang mencuat di kepala. Yang semakin meneruskan kebohonganku. Tanpa kusadari benar.


"Apa gadis itu mau denganku, Abi? Aku yang cupu, bertompel dan hanya marbot masjid ini?" Aku memegang kedua pipi yang terpasang tompel sintetis, nampak sempurna aslinya. 


Tapi aku sungguh-sungguh dengan pertanyaan ini. Ya, apa Adinda akan mau dengan lelaki cupu seperti ini? Hanya marbot masjid pula. Sesederhana apapun dia, aku yakin, banyak lelaki lebih berada dan sempurna yang menyukainya. Termasuk, Ustadz Khalid. Ya, rupanya benar, aku mendengar sendiri ia bilang, menginginkan Adinda, menjadi istrinya. Hanya saja, Adinda belum menerimanya. 


Kalau yang seperti Ustadz Khalid saja tak diterimanya, apa aku bisa menaklukkan hatinya?


"Jadi itu alasannya?" Abi tersenyum. Memandang ke pagar depan, lalu beralih menatapku lagi. 


"Abi rasa, gadis sepertinya tidak menilai seseorang dari rupa dan penampilan apalagi pekerjaannya, Nak."


Aku mengernyit. Oh ya? Benarkah ada wanita yang seperti itu? Tidak menilai pria dari harta dan tahta? Lantas dari apa? Ilmu agama? Ah ya, tapi kan aku juga masih baru belajar agama. Mengaji pun baru bisa. Jelas jauh berbeda dengan Ustadz Khalid yang bahkan banyak menghafalkan surah-surah Al Qur'an. 


Abi menggeleng. Terkekeh pelan. Mungkin demi menatap ekspresiku. 


"Abi sangat mengenal Ananda Dinda, Nak. Sejak dia kecil. Bukan kelebihan seseorang yang membuatnya terkesan tapi ketulusan."


Aku mengernyit, maksudnya?


"Tidak ingin bertanya mengapa dia menolak Ustadz Khalid?" Abi tiba-tiba bertanya.


Aku terdiam. Ya, itu yang kufikirkan. Aku tahu, Abi juga sangat mengenal Adinda bahkan seperti orangtuanya sendiri. Orangtuanya bersahabat dengan Abi Yahya. Sepertinya sangat dekat bahkan. Hingga urusan pria yang melamar gadis itu pun, diperantarai AbinYahya juga. Sedangkan ayahnya sendiri justru belum pernah kulihat.


"Kenapa, Abi?" Akhirnya aku bertanya. Penasaran sekali rasanya.


Abi menatapku. Dalam artian yang harus kucerna dengan memposisikan diri dan keadaan. 


"Tidak mudah bagi seorang gadis sederhana yang terbiasa hidup dalam perjuangan hidup dengan ayahnya saja, tanpa keluarga lainnya, kehidupan apa adanya, pendidikan yang tidak bisa diselesaikan, dan semua kemalangan serta ketidakberuntungan, untuk menerima seseorang yang terlihat sangat sempurna. Seperti Ustadz Khalid."


Aku menyimak. Belum mengerti. Tidak sempurna? Apanya yang tidak sempurna? Bagiku gadis itu sangat sempurna. Ya, di mataku.


"Lelaki muda itu mungkin menyukainya. Ya, mungkin tertarik dengan semua yang ada pada Adinda. Tapi tidak akan mudah bagi Dinda beradaptasi dengannya dan dengan keluarga besar lelaki itu."


Aku masih mendengarkan. Mencoba mengerti. Aku tahu, Adinda menceritakan alasan apapun pada Abi Yahya. Sebab Abi adalah orang dewasa yang dipercayanya bahkan memerantarai berbagai urusannya dengan pria yang berniat meminangnya.


"Ustadz Khalid mungkin suka. Tapi bagaimana dengan keluarga besarnya? Lelaki muda itu, putra kebanggaan dari keluarga cukup kaya yang cukup terpandang juga. Bagi Adinda, pasti keluarga besar itu berharap mendapatkan menantu dan besan yang setara. Dari keluarga terhormat juga."


Aku mulai mengerti. Mencerna sambil menelan saliva.


"Tapi, bukankah mereka keluarga yang faham agama? Apa juga menilai dari latar belakang?" Aku memburu. 


"Entahlah. Mereka mungkin tidak. Atau setidaknya akan berusaha menerima. Tapi tidak akan mudah bagi Adinda memahami itu. Abi juga sudah coba menyampaikan. Namun, sepertinya dia menyimpan trauma." 


"Trauma?" Aku mengernyit dengan serius. Penasaranku kini berkali lipat rasanya. Trauma atas apa?


Abi menghela nafas panjang.


"Sejak kecil, gadis itu hanya hidup dengan ayahnya. Tinggal berdua saja. Tanpa keluarga lainnya. Ayahnya datang jauh dari sebuah desa. Merantau ke kota ini."


"Ibunya?" Aku semakin penasaran. Ya, apakah ibunya sudah meninggal dunia?


Abi menggeleng.


"Ibunya meninggalkan mereka. Adinda dan Adi, ayahnya. Ini mungkin sangat drama tapi Abi akan ceritakan." Abi menatapku dalam.


"Adi itu sahabat Abi. Dia seorang marbot masjid sejak remaja. Hanya itu pekerjaannya sejak dia merantau ke kota, hidup sangat sederhana, persis Ananda Fadi sekarang." Abi tersenyum ke arahku, dalam artian yang sulit kuterjemahkan. 


"Lalu datang seorang wanita yang mendekatinya. Ya, mendekati Adi, memberikan perhatian dan pesona wanita hingga Adi yang polos, jatuh cinta sungguhan padanya. Lalu memberanikan diri, dengan tulus dan jantan Adi melamarnya sebab tak ingin terjerat dalam dosa. Lamaran diterima. Adi fikir sebab wanita itu juga mencintainya. Waktu muda, walau hanya marbot masjid, tapi ketampanan Adi memang di atas rata-rata. Lalu mereka menikah, pernikahan yang sederhana tanpa dihadiri keluarga dari pihak wanita, hanya wali hakim sebab wanita itu mengaku tak lagi memiliki keluarga, sama seperti Adi." Abi menerawang. Mengenang. 


Aku memperhatikan. Tak ingin melewatkan sedikitpun cerita ini. Aku, sangat ingin tahu.


"Adi benar-benar mengira wanita itu juga mencintainya, makanya mau ia nikahi bahkan sejak awal, wanita itu yang mendekati Adi. Ternyata, dia salah sangka. Dia, hanya sedang dipermainkan, dijadikan pelampiasan." 


Aku melihat gurat penyesalan di mata Abi.


"Wanita itu, ternyata sudah bersuami."


Apa?


Aku membelalak tak percaya. Jadi?


"Dia hanya orang kaya yang sedang bosan dengan kehidupan kaya rayanya dan suaminya yang jauh lebih tua. Lalu mencari suasana dan pelarian baru. Pemuas hasrat. Hingga bertemu Adi yang menarik hatinya."


"Tapi... sampai menikah lagi?" Aku tak habis mengerti. Ini terdengar tidak masuk akal.


"Ya, bahkan Adi sendiri tidak tahu kalau yang dinikahinya adalah istri orang. Mereka menikah hingga wanita itu mengandung Adinda. Lalu...." Abi terdiam beberapa saat.


"Lalu?" Aku tidak sabar. 


"Lalu semuanya terungkap. Wanita itu mengakui semuanya. Ia hanya menjadikan Adi pelampiasan dan pemuasnya. Karena ia juga menyukai Adi yang tampan dan lebih muda darinya. Sayangnya Adi bukan orang kaya. Hanya sebab rasa penasaran dan hasrat pada seorang lelaki. Dia tahu, Adi bukan lelaki yang mau berzina atau bisa ia bayar demi memuaskannya, maka wanita itu bersandiwara agar dinikahi Adi, demi nafsunya." 


Aku mengernyit dengan mata menyipit, tak habis mengerti. Ya, aku sering mendengar, wanita-wanita rela bersuami lelaki tua kaya raya hanya demi kehidupan menyenangkan dan uang yang menjanjikan, kekayaan. Tapi haus kasih sayang lalu mencari kehangatan dari lelaki-lelaki simpanan. Sungguh, bukan hanya kaum lelaki yang bisa bejat. Jika urusannya soal nafsu, wanita pun bisa jadi sebejat itu.


Tapi hingga hamil? Hanya demi kepuasan sementara?


"Ya, memang mengherankan. Orang kaya yang tak tertebak jalan fikirannya. Mengorbankan perasaan orang lain bahkan berdusta sehebat itu demi pelampiasan sesaat, hanya demi nafsu serta rasa penasarannya."


"Setelah itu?" Aku masih menunggu kelanjutan cerita ini.


"Setelah hamil dari Adi, dia bosan. Mana mungkin wanita seperti itu betah hidup miskin. Lalu ia kembali dengan suaminya."


Aku menggeleng. 


Lantas Adinda?


"Kemudian dia berniat menggugurkan kandungannya."


"Menggugurkan kandungan?" Aku melebarkan mata.


"Ya, sebab sejak awal ia tak berniat hamil. Hanya mencari kepuasan dari seorang lelaki seperti Adi. Bahkan terang-terangan dia bilang, kehamilan itu hanya sebuah kecelakaan. Samasekali tidak ia harapkan."


Aku mengedip dengan kepala panas. Mendengar semua ini.


"Adi benar-benar patah hati. Dan sungguh merasa dipermainkan sekali. Tapi kewarasannya masih bekerja, ia memohon, mengemis dengan sangat agar janin dari benihnya itu tidak digugurkan. Wanita itu tetap menolak." 


Kulihat Abi mengepal tangan. Abi Yahya adalah saksi hidup dari semua kejadian itu, sejak dulu.


"Tapi Tuhan berkehendak lain, Nak. Berbagai cara dilakukan wanita itu untuk menggugurkan kandungannya tapi tidak bisa. Selalu gagal. Janin itu begitu kuat bertahan. Hingga wanita itu menyerah. Sampai melahirkan. Bayi tak berdosa itu, Adinda."


Aku tak bisa berkedip. Merasakan likat di tenggorokan. Aku, sangat meresapi cerita ini. Muasal gadis yang mencuri hatiku itu, Adinda, semalang itu ternyata takdirnya. Dilahirkan oleh ibu tak berperasaan yang bahkan tak menginginkannya.


"Bayi yang sangat tidak diharapkan wanita itu dan keluarga kayanya. Tentu saja bayi itu segera disingkirkan, dibuang pada Adi."


Abi menatapku dalam sekali. 


"Adi lalu merawat Adinda sendirian. Tidak pernah menikah lagi. Dalam semua keterbatasan. Membesarkan gadis cantik yang tumbuh sholihah dan sangat mencintai ayahnya." Mata Abi berkaca-kaca. Begitu meresapi. Kisah sahabat malangnya.


Aku juga, merasakan aura rasa tak biasa. Sejak awal, aku sudah terjebak rasa, pada gadis sholihah yang nampak sederhana dan berkharisma itu, Adinda. Dan kisah hidupnya ini membuatku semakin menyukainya. Keinginan melindungi. Aku seperti ingin menjadi sebab bahagianya. Ya. Sangat ingin.


"Dinda sepertinya sangat trauma dengan orang kaya. Apalagi kisah Adi sudah menjadi rahasia umum di sini. Hampir semua orang tahu dan cerita ini menjadi kepingan kisah yang tak bisa ditutupi dari Adinda. Dulu, ia bahkan menjadi olokan teman-teman seusianya. Karena dibuang oleh ibunya."


Aku bisa merasakan sakit juga, mendengar semua ini. 


"Wajar dia trauma." Abi berdiri. Menepuk pundakku.


"Banyak sudah lelaki yang melamarnya, lewat Abi. Sebab Adi sudah bertahun-tahun sakit keras dan meminta Abi untuk menjembatani urusan siapapun yang melamar Adinda. Tidak ada satupun yang diterima olehnya. Sebab mereka yang melamarnya, nyaris semua berasal dari keluarga berada dan terpandang. Mungkin nasibnya baik soal jodoh tapi sebaliknya justru baginya. Sudut pandang memang tidak bisa dipaksa. Sepertinya, Adinda selalu dibayangi dengan masa lalu pahit dari ibu berasal dari keluarga kaya yang justru membuangnya."


Aku mulai mengerti. 


"Sulit untuknya bisa mengerti kalau tidak semua orang kaya seperti ibunya, hanya ingin mempermainkan orang miskin seperti ayahnya."


Hatiku gemertak mendengar ini. Sehebat itu traumanya?


"Dia bilang, hanya ingin menikah dengan lelaki biasa. Lelaki seperti ayahnya." Abi kembali tersenyum. 


Aku sepertinya, mulai mengerti, arti senyuman itu.


"Tapi sampai sekarang, belum pernah dia bilang menyukai lelaki biasa. Entah kalau ada lelaki biasa yang sungguh-sungguh menyatakan perasaan padanya."


Sekarang, aku benar-benar mengerti. Maksud Abi.


Kadang trauma bisa melatarbelakangi sudut pandang yang bagi orang kebanyakan terasa tak biasa. Ada orang yang memilih hanya memakan nasi saat tersaji rendang daging yang di mata orang lain sangat nikmat, misal, sebab trauma karena suatu kejadian dengan rendang daging. Maka ia hanya memakan nasi tanpa lauk, terasa lebih nikmat dibandingkan harus memakan rendang daging itu. Begitu kira-kira. 


Itu juga yang dialami Adinda. Bahkan dalam prihal kehidupan serta sudut pandangnya tentang calon pasangan hidup. 


Aku tahu, ada dua cara mengatasinya. Yang pertama, mengobati traumanya dengan menanamkan pemahaman, tidak semua orang kaya sama seperti ibunya yang hanya ingin mempermainkan pasangannya. Kedua, memperturutkan traumanya. 


Kembali aku berpapasan dengannya di teras masjid. Saat aku sedang menyapu dan ia baru tiba untuk membereskan tempat sholat wanita. 


Tatapan sekilas yang semakin mendetakkan hatiku. Suka banget sama dia. Aku ingin memandangnya setiap hari, membersamainya sepanjang waktu, selamanya. Di sisa usia bersamanya. 


Sungguh-sungguh suka. Aku melihat masa depanku ada pada dia. Adinda. Ah, nggak pernah aku merasakan mimpi sehebat ini sebelumnya. Cinta.


Aku tahu, harusnya aku jujur sejak awal, atas niat baik dan perasaan ini. Membawa diriku yang sebenarnya, Alfadi Edibagaskara. Seorang CEO dari keluarga sangat berada yang jatuh cinta dengan tulus padanya. Ya, sungguh kejujuran adalah hal yang mestinya kulakukan sejak mula.


Tapi entah. Mungkin sebab aku benar-benar menyukainya, aku tak siap menerima penolakan, apalagi alasannya sebab latar belakang. 


Kali ini aku benar-benar menyesal dilahirkan dari keluarga bangsawan. Jika wanita yang kuinginkan justru akan menolakku sebab alasan demikian. 


Dan lagi, bukankah ini tepat sekali? Aku bertemu dengannya, saat menjadi seorang Kang Padi.


Lantas aku datang padanya, lewat Abi Yahya. Menyatakan keinginan. Menghalalkannya. Aku sebagai Kang Padi sekarang.


Abi tersenyum penuh arti, menatapku. 


"Akan Abi sampaikan."


Selanjutnya aku menunggu. Jawaban darinya. Meski begini, belum tentu ia pasti akan menerima.


Apa yang kulakukan? Kebohongan? Seketika aku merasa gamang. Seperti tiba-tiba sadar. Apa langkahku salah untuk memulai?

Tiga hari aku menunggu. Dalam gelisah yang kutahu pasti alasannya. Sebab ketidakjujuran yang kulakukan.

Kadang, ada titik waktu dimana aku ingin jujur sebagai diriku sebenarnya, tapi seketika perasaan khawatir tak diterima membayang buruk di pelupuk mata. Ditolak karena kaya, itu aneh sekali bukan?


Tidak, bukan aneh. Tapi dia memang seisitimewa itu. Tidak silau dengan harta dunia dan memilih sebab ketulusan lelaki yang akan membersamainya. Apa dia akan melihat sisi ketulusanku juga meski tahu aku orang kaya raya?


Aku tulus sekali, dalam perkara ini.


Tiga hari yang berlalu lama sampai akhirnya Abi menghampiriku dengan pandangan mata penuh makna. 


Adinda menerimaku. Untuk pertama kali menerima seorang lelaki di hidupnya.


Wajahku berseri seketika. Hanya demi mendengar sedikit kalimat 'menerima' itu saja, sudah membuatku lega luar biasa. Jadi sangat bahagia. 


Selanjutnya aku harus memikirkan benar-benar, bagaimana menyampaikan yang sebenarnya. Pada Adinda dan pada orangtuaku. Setidaknya aku sudah tahu, dia memberiku 'kesempatan'. Entah jika aku jujur. Semoga perasaannya tidak berubah.


Aku seperti lupa, tidak akan pernah mudah meyakinkan Mami dan Papi, sebab aku 'putra mahkota'. Dan tak akan mudah meyakinkan Adinda, kalau aku tak pernah berniat mempermainkannya. 


Kenapa aku baru benar-benar sadar? Tertutup bunga-bunga rasa sejak awal berjumpa. Sejak memutuskan untuk menyampaikan soal perasaan padanya. 


Aku tahu, ini butuh waktu dan aku akan memaksimalkan segala cara, untuk meneruskan semua sesuai rencana. 


Aku harus mengatakan yang sebenarnya. Pada Adinda, juga pada Mami dan Papi. Sebelum menghalalkannya.


Ini bulan ramadhan, saat mustajab dikabulkannya doa kata Abi Yahya.


Di sujud sholat aku berdoa, aku menginginkan Adinda untuk menjadi istriku segera. Rinduku pada wanita terlabuh pada seorang gadis sederhana, dia.

Bersambung ..13


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Post a Comment