(15)
MARBOT ITU TERNYATA CEO
Penulis: lea
Sejarah Masjid Almira 3
Setelah itu, aku mengajaknya memandangi bulan. Sambil mengenang, ayahnya.
Setelah meyakinkan kalau dia tidak sendirian, selanjutnya aku ingin ia mengungkapkan segalanya, semua yang dia rasakan. Agar lega hatinya.
Duduk bersisian di taman kecil pada teras rumah sederhana ini. Dalam hening malam dan cahaya bulan keperakan.
Ada kecanggungan yang masih tercipta di beberapa jenak waktu. Dari dia dan dariku. Dalam debar menyenangkan yang justru membuatku kuat bertahan, sampai dia merasa nyaman dan mulai menyampaikan, isi hatinya sekarang. Semua yang memenuhi pikiran.
"Kangen banget sama Ayah." Akhirnya dia mengungkapkan. Memandang bulan, dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
"Ayah sendirian yang ngurus Dii dari kecil, dari Dii baru lahir. Dari dulu, nggak pernah ada satu malam pun Dii lewatin tanpa Ayah. Ayah nggak pernah ninggalin Dii." Suaranya parau.
Aku menyimak. Sambil ikut memandang bulan. Lalu beberapa kali menengok ke arah wajahnya.
Dii... itu singkat panggilan namanya dan begitu ia menyebut namanya sendiri, panggilan kesayangan ayahnya dia bilang, dari kata Dinda... Adinda.
Dia menggigit bibir. Seiring jatuh setetes air mata di pipinya. Membasahkan hatiku juga. Aku bisa membayangkan itu, kehilangan seseorang yang paling berarti. Tidak akan pernah mudah.
"Rasanya masih kayak mimpi Ayah sudah pergi selamanya. Dii nggak pernah tidur sendirian. Selalu Ayah temani."
Aku masih menyimak. Walau sebenarnya ingin kukatakan, aku yang akan menemani mulai sekarang. Tapi khawatir dia belum siap mendengar itu. Jadi aku masih diam.
"Dulu Ayah marbot Masjid At Taqwa." Ia masih mengenang.
"Masjid At Taqwa?" Aku mengulang, bertanya. Sedikit bingung, bukankah nama masjid ini Masjid Almira? Apa berganti nama?
Dia mengangguk.
"Ya. Dulu di sini lokasi Masjid At Taqwa. Ayah marbot di sana. Sejak Dii belum lahir. Memang sudah bangunan lama, masjid tua. Tapi Ayah cinta banget sama masjid itu. Seluruh hidup Ayah dicurahkan untuk merawat Masjid At Taqwa. Penuh kenangan. Lalu sempat ada sengeketa tanah sama salah satu pemilik perusahaan yang ngakuin kepemilikan tanah bangunan masjid itu. Singkatnya, dulu tanah itu ternyata hanya pinjaman. Terus sama masyarakat sini dibangun masjid secara gotong-royong karena nggak ada masjid di daerah sini. Ternyata, belasan tahun kemudian, pihak pewaris dari pemilik tanah itu yang diwakilin perusahaan keluarga mereka, nuntut balik tanah ini. Dan terkahir, masjid itu dirubuhkan karena kalah di sidang, gitu kata Ayah."
Aku mengernyit. Baru mendengar cerita ini.
"Tapi waktu itu Ayah sudah bertahun-tahun jatuh sakit. Sudah nggak jadi marbot lagi. Dan Ayah benar-benar sedih waktu tahu masjid itu dirubuhkan. Ayah sampai memohon-mohon sama penanggungjawab perusahaan itu supaya nggak ngerubuhin Masjid At Taqwa. Tapi malah diusir." Adinda menutup matanya yang berair, mengenang.
"Nggak cuma Ayah, masyarakat sini juga mohon hal yang sama, tapi nggak punya kekuatan apapun buat ngelawan. Tiap hari waktu itu, Ayah mandangin gimana masjid yang dia jaga dulu dihancurkan pakai alat-alat berat sampai jadi tanah lapang. Akan dibangun mall besar, rencananya oleh pemilik tanah yang menangin sengketa tanah itu."
Aku mengepalkan tangan. Ada yang menyeruak di dada ini. Aku paling tidak bisa mendengar kesewenangan seperti ini. Bahkan aku pernah memecat seorang direksi perusahaanku yang mengambil keputusan sejahat ini juga.
"Ayah bisa jadi orang yang paling terpukul waktu itu. Tapi kita selalu nggak punya kekuatan untuk melawan orang-orang kaya kan."
Dia kembali menghapus air mata. Ada luka yang jelas terlihat saat dia menyebut kata 'orang kaya'. Abi Yahya benar, Adinda menyimpan trauma besar terhadap orang kaya. Mungkin sebab hal seperti ini yang ia lihat sejak kecil. Bahkan dari ibunya sendiri. Lalu orang kaya yang ia bilang meruntuhkan masjid paling berharga dalam hidup Ayahnya.
"Dii nggak akan ngelupain hari itu. Waktu pertama kali Dii lihat Ayah nangis. Selama hidup Dii, Dii selalu melihat Ayah yang tegar dan kuat. Sehebat apapun ujian hidup Ayah. Tapi hari itu, Dii benar-benar melihat Ayah terluka. Dan itu jadi luka Dii juga." Dia menoleh padaku.
Ya, aku melihat luka itu, di matanya.
Aku masih memandangnya. Mendengarkan. Lalu memahami, ada orang-orang yang benar-benar mempersembahkan dirinya untuk melayani rumah ibadah. Seperti Pak Adi dan Adinda. Mencintai pekerjaan yang kerap dipandang sebelah mata itu, seumur hidup.
"Kata Ayah, salah satu mimpi Ayah adalah selalu tinggal di dekat masjid. Kayak rumah ini. Benar-benar dekat sama masjid. Biar bisa tiap waktu ke rumah ibadah itu. Ketenangan yang nggak ada duanya. Impian besar Ayah. Makanya Ayah dan Dii waktu itu juga nggak bisa bayangin kalau akhirnya lokasi ini malah dibangun mall." Dia menggeleng.
"Untungnya, sesaat sebelum pondasi mall itu didirikan, ada pengusaha lain yang nyelamatin. Ngajuin banding sengketa atau gimana lah, Dii nggak terlalu faham. Pengusaha ini ngebela habis-habisan di banding pengadilan supaya perusahaan jahat tadi mau ngelepasin tanah ini, lalu membeli kembali tanah itu, pakai dana pribadinya. Cuma karena mau ngembaliin masjid yang sudah dirubuhin. Simpatinya tinggi sekali. Kita semua berterimakasih banget sama beliau sampai sekarang. Beliau ngelakuin itu cuma karena tahu betapa cintanya masyarakat di sini sama masjid yang berdiri sebelumnya. Dan lokasi ini paling strategis buat jadi lokasi masjid. Bukannya mall. Nggak ada lagi tanah lapang di sekitar sini. Jadi kalau nggak ada masjid di sini, jauh banget masjid buat semua orang."
Aku semakin tertarik mendengarkan.
"Pengusaha itu akhirnya memenangkan banding. Dan perusahaan sebelumnya mau nggak mau harus ngelepasin tanah itu. Lalu beliau membangun masjid lagi di lokasi yang sama, Masjid Almira Tiga, masjid ini." Adinda menunjuk bangunan masjid di hadapan kami sekarang. Terbit senyum tipis di bibir tipis kemerahannya.
Aku mendongak, menatap kubah masjid. Ikut tersenyum.
Sekaligus meresapi, ternyata ada manusia sebaik orang yang membela dan membangun masjid ini. Sangat salut rasanya.
"Apalagi Ayah. Ayah bahagia sekali dan selalu menaruh hormat sama Tuan Aldo. Kata Ayah, dia panutan manusia sebenarnya. Keras dalam membela orang-orang lemah."
"Tuan Aldo?" Aku mengulangi. Bertanya.
Adinda mengangguk.
"Pengusaha yang membangunkan masjid ini, untuk kita semua. Benar-benar baik. Harta kekayaannya yang nggak sia-sia. Masjid ini dibangun pakai dana pribadinya. Hanya sedikit masyarakat yang menjadi donatur. Tapi secara keseluruhan, beliau sendiri yang biayain, semuanya." Adinda tersenyum lagi saat menyebut sosok itu.
Membuatku penasaran. Aldo? Seperti tidak asing.
Aku juga tersenyum, baru menggerakkan tangan yang kupangku untuk menghapus sisa air mata di pipinya ketika ia menyebutkan nama lengkap sosok itu. Membuatku tersentak.
"Tuan Aldo Amagatta. Kata Ayah, Dii harus menghormatinya karena kemuliaan yang sudah ia lakukan buat bangun masjid ini. Ngembaliin Masjid At Taqwa yang dirubuhkan beberapa waktu sebelumnya. Jadi semua orang bisa ibadah lagi di sini, anak-anak bisa ngaji lagi." Adinda mengangkat muka, melihat padaku. Tersenyum.
Aldo Amagatta?
Ada yang menghantam alam sadarku tiba-tiba. Menghentak kuat. Seperti memutar satu memori kusut di kepalaku. Membuat tanganku bergetar detik ini. Dan aku urung menghapus sisa air mata di pipi serta kedua sudut matanya.
"Kapan kejadian itu?" Aku menatap lekat Adinda, dengan tangan bergetar dan hati yang gentar.
“Hmm? Tiga tahun lalu.” Dia menjawab.
Dan detik ini juga aku merasa seperti dihantam oleh semburan kekacauan yang amat menakutkan.
Tiga tahun yang lalu? Berarti....
Aku menelan saliva dan tak lagi meneruskan bicara atau bertanya. Jantungku berdetak kuat. Terdiam.
Aku memastikan dia sudah tertidur lelap. Baru beranjak pelan membuka handphoneku. Melakukan pengecekan terhadap file-file lama. Tentang rekam kejadian tiga tahun lalu.
"Tuan Alfadi Edibagaskara. Putra mahkota keluarga Edibagaskara. Pemain baru? Dan mendapatkan kekuasaan baru? Atas nama perusahaan ini." Hari itu, seorang pria berwajah tegas menghampiriku di ruang kerjaku. Mengenakan setelan khas seorang pimpinan besar.
Aldo Amagatta. Sosok tesohor yang berkali mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha sukses tanah air. Wajahnya sangat tidak asing. Bahkan aku menjadi pengagumnya sejak kuliah meski belum pernah bertemu secara langsung.
Ya, aku kerap membaca profil dan sepak terjangnya di majalah-majalah bisnis. Sangat menginspirasi. Usianya baru 32 tahun tapi sudah mengantongi segudang prestasi hebat.
Suatu kehormatan ia menghampiriku untuk pertama kali seperti ini. Aku malah sudah lama bermimpi untuk bisa bertemu langsung dengannya.
Tapi mengapa dia menghampiriku dengan raut dan ucap sesinis itu?
Dia memajukan tubuh di hadapan mejaku. Dengan sorot mata tajam menyemburkan kemarahan. Sambil mendorong sebuah map coklat ke muka meja yang kuhadapi.
"Apa sebesar itu ambisi Anda untuk diakui secara cepat? Walau dengan mengorbankan nurani?!" Kalimatnya menghentakku.
Aku masih terdiam. Belum mengerti.
"Aku mewakili masyarakat sekitar lokasi rencana pembangunan mall dari proyek perusahaan Anda.
Mengajukan banding ke pengadilan." Dia menggeleng. Tegas menatapku. "Kuharap Anda masih memiliki hati. Setelah merobohkan masjid yang dibela mereka mati-matian. Setidaknya, Anda bisa menahan diri untuk tidak justru membangun pusat perbelanjaan di sana. Fahami kondisi setempat sebelum mengambil keputusan hebat, anak muda! Tidak semua hal bisa dinilai dengan uang!"
Lalu ia berbalik dan pergi, keluar dari ruanganku.
Meninggalkanku yang terdiam tidak faham. Cepat membuka map coklat yang ditinggalkannya.
Apa ini?
Pengajuan keberatan dari masyarakat setempat lokasi rencana pembangunan proyek mall dari perusahaan ini?
Ya, aku tahu. Proyek ini sedang berjalan. Aku yang menandatangani berkas-berkas persetujuannya. Atas desakan penanggungjawab yang ditugaskan Papi 'membimbingku' sebagai CEO baru di perusahaan ini.
"Anda bisa segera menandatangani ini, Pak Alfa," ucapnya dua bulan sebelumnya. Di hari awal aku menjalankan tugas sebagai pimpinan tertinggi perusahaan ini. Selulus kuliahku dan saat Papi jatuh sakit.
"Apa ini?"
"Berkas persetujuan proyek terbesar kita tahun ini, Pak Alfa. Akan segera kita laksanakan setelah persetujuan Anda. Semua sudah dipertimbangkan dan diselesaikan. Hanya butuh tanda tangan Anda sebagai finalnya."
Aku membaca berkas dengan teliti. Proyek pembangunan mall di lokasi tanah warisan keluargaku, almarhum Eyang Edibagaskara.
"Di sini tertulis, tanah itu dipinjamkan dan digunakan oleh masyarakat sekitarnya. Dibangun masjid? Artinya akan ada penggusuran?" Aku mengernyit keberatan.
"Ya, benar sekali, Pak. Tapi tenang saja. Kita sudah melakukan dialog damai. Lagipula itu sudah masjid tua yang nyaris tidak digunakan lagi oleh masyarakat di sana. Malah mereka mendukung rencana kita karena pasti akan meningkatkan taraf hidup mereka juga."
"Dimana berkas persetujuan dari masyarakat pengguna lahan?" Aku kembali harus memastikan. Agar tidak salah mengambil keputusan. Walau Papi sudah menjelaskan kalau Pak Pranata akan menjadi 'mentorku' selama masa beradaptasi dengan jabatan baruku di perusahaan ini.
"Oh, ini, Pak. Sudah lengkap. Tinggal kita eksekusi." Ia menunjukkan berkas-berkas dibubuhi tanda tangan persetujuan dan dukungan dari masyarakat sekitar lokasi itu. Ternyata memang sudah disiapkan.
Tapi aku tidak tahu, apakah berkas ini asli suara hati masyarakat di sana atau ulah oknum tertentu yang memiliki kepentingan saja? Aku harus tahu secara mendetail.
Aku mengangguk. Menutup pulpen. Urung menandatangani.
"Baik. Saya akan turun ke lokasi dulu," ucapku hendak menutup berkas di hadapan.
"Oh tidak perlu, Pak Alfa." Ia menahanku.
"Kenapa?"
"Semua sudah beres. Lagi pula, masih banyak yang harus Anda kerjakan. Proyek ini bagian tanggungjawab saya, Pak."
Alasan-alasan kuat soal 'beradaptasi' dan deretan tugas lain yang harus kuselesaikan, mencegahku untuk turun ke lokasi proyek itu.
Aku merasa sangsi tapi instruksi Papi justru memaksaku untuk percaya sepenuhnya. Mempercayakan apapun yang dikatakan Pak Pranata.
Ya, aku akhirnya percaya. Memuluskan proyek perusahaan. Hanya membubuhkan tandatangan dan menyerahkan eksekusi pada Pak Pranata sepenuhnya, seperti yang ia katakan. Karena dia menjadi orang kepercayaan Papi selama ini. Dan aku pun masih mempelajari segalanya.
Aku sungguh tidak tahu, semua berkas persetujuan yang ia tunjukkan hanya rekayasa. Ya, semua bisa dimanipulasi demi terlaksananya proyek besar itu.
"Jika proyek ini berjalan mulus, perusahaan kita akan mendapatkan keuntungan sangat besar, Pak." Ia mengangguk puas sambil berlalu setelah kutandatangani berkas itu.
Sesuatu yang belum begitu kufahami. Aku hanya percaya padanya. Meski secara hukum, namaku yang tertera, sebagai penanggungjawab utama.
Aku sungguh tidak tahu, kebusukan dan pembohongan yang dilakukan Pak Pranata. Demi ambisinya atas proyek itu. Mega proyek perusahaan kami.
Aku meremas tangan tuntas membaca semua kenyataan, dari apa yang ditunjukkan sosok tegas yang menghampiriku, Aldo Amagatta. Dua bulan kemudian.
Segera aku menekan tombol panggilan pada seseorang yang paling bertanggungjawab atas proyek ini. Dan membohongiku atas ini semua.
"Tuan Pranata, Anda dipecat mulai hari ini. Secara tidak hormat!"
Aku memandang sosok di hadapanku dengan suara menekan. Menahan buncah kemarahan atas kebohongan yang dia lakukan, atas namaku.
Aku melepaskan tanah sengketa tanpa perlawanan. Setelah itu aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh seseorang yang sebenarnya kukagumi itu, Aldo Amagatta. Terhadap tanah yang mati-matian dibelanya.
Ternyata inilah yang dia lakukan, membangun kembali masjid di lokasi ini. Dan aku yang kini sedang melakukan penyamaran, sebagai marbot di tempat yang sama.
Ya, inilah tanah yang dibicarakan Adinda.
Da secara hukum, aku adalah pelaku yang melakukan penggusuran terhadap Masjid At Taqwa, yang sangat melukai Pak Adi dan Adinda.
Ya, Tuhan, kenapa bisa begini? Bagaimana aku menjelaskan semua ini?
Aku meremas batok kepala. Memandanginya yang terlelap. Cantik. Dan teduh sekali, wajahnya. Aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Bagaimana jika semuanya terbongkar? Apa kamu akan percaya padaku, Adinda?
Bersambung ...16
0 comments:
Post a Comment