(16) MARBOT ITU TERNYATA CEO
Penulis: *Lea
Kebahagiaan
Sebuah panggilan halus menyapu telingaku. Seperti membangunkan. Bukan ketukan di pintu dari Abi Yahya seperti biasa. Ini seperti panggilan merdu dari bidadari surga. Sepertinya aku sedang bermimpi indah.
"Udah jam tiga. Kang, bangun yuk." Kali ini benar- benar terasa, sebab diiringi sentuhan pada lenganku.
Mimpi yang begitu nyata.
Aku tersenyum tapi malah kian rapat menutup mata. Begini mungkin keadaan di surga sesungguhnya.
"Kang...." Tubuhku digoyang seseorang.
Dan aku menggeliat sambil menyipitkan mata. Lalu yang kulihat bidadari surga sesungguhnya. Dalam balutan jilbab berwarna kusam nan sederhana. Adinda.
Raut polosnya nampak jelas di depan mata, membuat mataku segar seketika.
Bukan bermimpi, aku benar-benar dibangunkan olehnya.
Terkejut. Ini pertama kalinya aku dibangunkan olehnya.
"Yuk sahur dulu," ucapnya meneruskan. Tersenyum. Ya, dia mengawali subuh ini dengan tersenyum. Setelah dua hari yang begitu menyedihkan.
Itu membahagiakanku.
Aku mengangguk. Dalam jantung yang bertaluan dalam degub. Beranjak ke kamar mandi, kamar mandi
yang sederhana dan juga kecil sekali di rumah ini. Herannya, aku tidak risih ada di sini. Justru yang kurasakan adalah rasa nyaman. Malah aku merasa sakit kepala hebat saat ada di kamar mandi mewahku beberapa bulan ini.
Selesai gosok gigi dan cuci tangan dan muka, aku pun keluar, berniat segera berangkat ke masjid, membangunkan jamaah dari pengeras suara masjid seperti biasa.
Tapi langkahku tertahan beberapa langkah kemudian. Di dapur minimalis rumah ini, kulihat Adinda sedang menata makanan.
Makanan?
"Kang, sahur di sini sekarang atau Dii antarin ke masjid nanti dekat imsak?" Tanyanya.
Aku terdiam beberapa waktu. Memperhatikan makanan yang sudah terhidang. Nampak menarik, sepertinya masih hangat semua. Mungkin ia memasak saat aku masih tidur tadi, entah sejak pukul berapa.
Disiapkan makan olehnya?
"Sahur di sini dulu," jawabku akhirnya. Mendekat dan duduk berhadapan dengannya. Menghadapi makan sahur sederhana yang di mataku sangat terasa istimewa.
Ia mengambil piring kosong lalu mengisinya dengan nasi, tumis sayur, dan tempe goreng. Meletakkannya di hadapanku. Bersama segelas air putih hangat.
Kami makan sahur bersama.
Makanan sederhana olahannya ini enak. Ya, dia memang pandai memasak. Dia juga berjualan kue-kue yang bagiku selalu terasa enak. Bahkan juga kerap dipuji oleh para jama'ah yang berbuka di masjid, memakan-salah satunya-kue olahannya.
"Kue yang ini enak. Dinda yang buat pasti," puji Umi angkatku di beberapa kesempatan.
Ya diantara kelebihannya dia pandai memasak, masakannya enak.
Aku sangat menikmati ini. Makanan dan kebersamaan berdua dengannya ini. Rasanya belum pernah aku sahur dalam kebahagiaan seperti ini.
Sampai aku lupa, dengan kegamangan dan rasa bersalahku semalam. Tertutup sudah bersama kebahagiaan ini. Memiliki seorang istri dari wanita yang sejak awal membuatku jatuh hati.
Kami makan sambil sesekali mencuri pandang. Aku tahu, ia masih canggung makan berdua denganku. Ini juga yang pertama baginya. Dan menyenangkan sekali melihat ekspresinya seperti itu.
"Akang mau bangunin sahur orang-orang kan?" Ia mengingatkan. Mungkin sebab aku makan terlalu lama.
"Oh, ya."
Aku segera menghabiskan makananku, hampir lupa.
Dan bersegera menggosok gigi. Beranjak ke Masjid Almira Tiga, berjalan kaki saja. Lewat pagar belakang. Dekat banget kalau jalan kaki lewat sini ternyata.
Berpamitan dengan Adinda. Seperti seseorang yang sedang berpamitan berangkat kerja kepada istri barunya.
Dia mencium tanganku, untuk pertama kali. Menyempurnakan bunga-bunga yang sejak tadi menyeruak dalam dada. Seperti ini rasanya.
Aku sangat bahagia. Padahal cuma mau ke depan aja.
Tersenyum. Aku melangkah keluar, memulai hari dengan pekerjaanku, sebagai marbot masjid.
Abi Yahya dan Umi adalah orangtua angkatku sekarang. Otomatis menjadi orangtua angkat Adinda juga. Apalagi mereka memang cukup akrab sejak lama karena Abi dan Umi bersahabat sejak dulu.
Malam ini, Abi dan Umi membuat sebuah kejutan, untukku dan Adinda. Mengadakan resepsi pernikahan sederhana, untuk kami.
Ya, resepsi pernikahan itu sederhana, sederhana sekali. Usai salat tarawih berjamaah dilaksanakan di masjid.
Sejak hari meninggalnya ayah mertuaku, akad nikah kami sudah diumumkan oleh Abi. Dan malam ini dilaksanakan semacam perhelatan sederhana di masjid ini. Kata Abi, sunnah mengumumkan pernikahan. Sebagai bentuk syukur dan pemberitahuan kepada orang-orang kalau aku dan Adinda sudah menikah. Halal tinggal bersama dan tak perlu mengundang tanya jika terlihat berduaan. Menghindari fitnah. Selain juga untuk menghibur hati Adinda, itu yang kami bicarakan di hari sebelumnya.
Adinda mengenakan kebaya putih dengan riasan natural dan jilbab putih terjulur hingga ke depan dada berhias melati di kepala malam ini. Sederhana dan anggun sekali. Dia lagi-lagi membuatku terpesona.
Sepertinya ia tak pernah mengenakan riasan, jadi sedikit polesan make up membuatnya terlihat jauh berbeda. Padahal tidak menggunakan jasa MUA, hanya Umi yang meriasnya. Kebaya pernikahan itu pun, Umi yang meminjamkan.
Sebagai seorang marbot, aku harus 'berpura-pura' tidak memiliki banyak dana untuk resepsi ini. Hanya untuk santap malam semua orang, itupun bahkan dibantu oleh Abi dan Umi. Tanpa gedung acara, jasa wedding organizer, dan seluruh kemewahan pesta. Meski aku sangat mampu melakukannya. Tapi ini demi kebaikan penyamaranku.
Aku mengenakan jas putih pinjaman Abi. Dengan kopiah warna senada di kepala. Tentu saja masih dalam tataan rambut culun dan ketiga tompel yang melekat di dua pipi serta daguku. Tetap berperan menjadi lelaki cupu yang terlihat 'lucu'.
Aku dan Adinda duduk bersisian di lantai, tanpa pelaminan, diapit oleh Abi dan Umi. Menerima ucapan selamat dan doa dari para tetangga masjid yang hadir. Jama'ah sholat tarawih.
Ya, ini resepsi pernikahan yang begitu sederhana. Tapi aku sangat bahagia. Melirik Adinda berulangkali. Dia nampak anggun sekali malam ini. Ini bahkan kali pertama aku melihatnya mengenakan pakaian bagus, tidak dengan gamis dan jilbab kesehariannya yang nampak kusam warnanya. Ya, ternyata, dia memang hanya memiliki beberapa potong pakaian. Itu pun tak ada yang baru. Sepertinya baju-baju lama atau pemberian bekas orang. Istriku yang sangat sederhana kehidupannya.
Malam ini wajahnya sungguh terlihat bercahaya. Meski sempat kutangkap kaca-kaca di matanya saat teringat ayahnya yang tak mendampingi sekarang, tapi bisa kutangkap sorot kebahagiaan juga di sana. Aku menggenggam tangannya.
Sesekali, kudengar ejekan para ABG ke arahku. Kang tompel menikah dengan guru mengaji, kata mereka. Ya, memang kontras sekali. Aku yang bertompel dan cupu dengan Adinda yang nampak manis. Tapi cueki saja lah. Mereka tidak tahu saja tampang asliku sebenarnya. Berkali-kali aku bahkan ditawari menjadi artis serta cover majalah dalam wajah asliku. Hanya aku saja yang menolak, sebab fokus keluargaku adalah dunia bisnis bukan entertainment.
Lalu di antara pembicaraan orang-orang, kudengar itu, usulan untuk segera mengurus pernikahan secara resmi dalam hukum negara, di KUA.
Pernikahan kami memang sudah sah menurut agama tapi masih ilegal dalam catatan negara.
Aku mengerti. Aku pun sangat menginginkannya. Tapi aku tahu, pernikahan terdaftar secara hukum negara akan membongkar statusku sebenarnya. Aku belum siap. Maka lagi-lagi aku harus berbohong, mengatakan KTP ku hilang.
Bersabar menunda, sampai aku jujur atas ini semua. Juga setelah mendapatkan restu orangtuaku.
Kami pulang setelah resepsi sederhana itu, yang dilaksanakan hanya sekira satu jam.
Ini adalah malam keempat sejak akad dan dalam balutan pakaian seperti ini, aku tahu, ini harusnya adalah malam pertama kami.
Debar dadaku mengencang saat memasuki kamar. Duduk bersisian di sisi ranjang dengan Adinda yang masih mengenakan kebaya cantik itu. Juga jilbab dan hiasan melati yang samasekali belum dilepaskannya. Dia sungguh tipe wanitaku. Hanya dia yang berhasil membuatku sebahagia ini. Seperti lepas dari semua kejenuhan dan beban hidup dalam bayang keterkurungan.
Dan dia, satu-satunya wanita yang membuatku sungguh ingin bertahan, memperjuangkan.
Aku menyukai kesederhanaan dan kebaikan hatinya. Hal berbeda dari kebanyakan wanita di luar sana yang membuatku jatuh cinta padanya. Atau sebab di matanya, aku bisa melihat ketulusan seorang belahan jiwa.
Sungguh, kecanggungan ini menyenangkan. Aku menikmatinya. Dalam desiran hangat yang terus berpacu di dada hingga meneteskan keringat di keningku. Grogi sekali rasanya.
Aku tersenyum, menoleh ke arahnya. Dia tersenyum juga, menunduk ke arah lantai. Manis sekali.
Cukup lama menikmati semua ini dalam hening. Hingga aku menggeser tangan, menyentuh dan menggenggam jemarinya. Merasakan kehangatan desir yang menjalar.
"Adinda...." Aku selalu memulai dengan menyebut namanya.
"Dari?"
"Kamu bahagia?"
Dia diam. Lalu mengangguk dengan raut malu.
"Kenapa menangis?" Dalam senyumnya, aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca kembali.
Dia menoleh sekilas, lalu menunduk lagi.
"Cuma ingat ayah," jawabnya.
Ya, aku tahu itu.
"Apa Ayah akan menyesal bermenantu aku?"
Dia segera menggeleng.
"Aku kan hanya marbot masjid sederhana. Tompelan pula."
Seperti dugaanku, dia tidak jadi menangis. Membalas genggaman tanganku.
Kang , Jangan Ngomong Gitu. "
Kenapa ?
"Nggak boleh. Ayah nggak pernah menilai siapapun dari status dan fisiknya."
"Kalau kamu?"
"Dii?"
"Ya."
"Sama."
"Apa kamu nggak malu bersuami laki-laki kayak aku?"
Dia menggeleng cepat.
"Enggak. Orang Dii suka." Berucap cepat, lalu terdiam. Menunduk menahan malu.
Aku tersenyum. Suka?
"Sejak kapan?" Aku menoleh ke arah jendela sekarang, sambil menggigit bibir lalu mengulum senyuman. Menahan pipiku yang menghangat.
Aku memancingnya dengan pertanyaan itu dan sepertinya dia tahu. Jadi malah mengangkat bahu. Ya, apa dia juga menyukaiku sejak pandangan pertama sore itu?
Tapi dari gelagatnya aku tahu, ia tak akan mengaku. Jadi kuganti pertanyaan.
"Kenapa?" Tanyaku akhirnya. Sambil menggeser tubuh, dan menarik sebelah tangannya yang lain hingga posisi kami berhadapan. Dan bertatapan.
"Karena... Kang Padi baik," jawabnya. Masih dalam ekspresi malu yang menggemaskan itu.
"Baik? Tahu dari mana?" Aku lekat menatapnya. Meminta jawaban terjujur. Mata sendunya yang nampak bersih, memantulkan wajahku di sana.
"Dari mata Akang." Dia membalas tatapanku, menatap lekat juga, untuk pertama kali.
"Mengapa?"
"Karena mata itu, jendela jiwa kan?"
Aku mengangguk. Aku mengerti, dia juga merasakan yang kurasakan sejak awal. Kami sama-sama jatuh cinta tapi saling diam sampai aku menikahinya. Mengucap janji setia.
"Dan di matamu aku menemukan diriku, Adinda." Aku meneruskan, berbisik. Sambil menyentuh pipinya. Hangat di hati ini rasanya.
Lalu untuk pertama kali, tanganku terbimbing oleh nurani untuk melepaskan hijab yang ia kenakan. Perlahan. Hingga nampak kulihat mahkota rambut hitam bergelombang yang membuatku kembali terdiam.
Menatap lama. Lantas mengecup dahinya sambil merapalkan doa dalam hati. Bukan doa untuk melaksanakan ibadah malam pertama tapi doa agar perasaannya tak berubah apapun yang akan terjadi. Kenyataan apapun yang akan ia tahu, tentangku nanti.
Aku sungguh takut kehilangannya, wanita yang kucinta. Tapi untuk jujur pun aku butuh waktu. Ada kekhawatiran yang menggelisahkan, jika aku jujur sekarang. Lalu ia tak bisa menerima dan mengakhiri semua kebahagiaan ini.
Aku butuh waktu untuk mengakui. Mempersiapkan dirinya agar bisa menerima semua kejujuran yang akan kusampaikan. Pelan-pelan. Aku tahu, lebih dulu aku harus mengobati traumanya pada 'orang kaya' dan membuka sudut pandang dalam pola pikirnya. Tak akan bisa kupaksakan ia mengerti malam ini juga.
Aku membimbingnya untuk berbaring. Lalu berbaring juga di sisinya.
"Tidur, Adinda. Sudah malam. Semoga mimpi indah," ucapku. Menatapnya lalu mengalihkan pandangan. Menelan saliva dan aku harus memejamkan mata segera. Untuk menetralkan semua rasa yang harus kutahan sampai waktunya tiba.
Dia menatapku dalam raut bingung, aku tahu. Lalu mengangguk dan tersenyum demi melihatku yang juga tersenyum tulus padanya.
Aku mengerti, aku sungguh harus menahan diri sampai aku bisa jujur dengan semua ini. Membuktikan ketulusan. Agar ia tak merasa hanya sedang kumanfaatkan. Aku sungguh takut jika akhirnya dia merasa begitu.
Aku mencintainya dan aku menginginkannya. Dalam sahnya ikatan pernikahan untuk segala hal yang halal aku lakukan namun aku memang harus menahan diri. Supaya dia paham nanti, saya tidak main-main dengan penyamaran ini. Sama sekali tidak.
Aku justru ingin hidup selamanya dengan dia. Adinda.
Semoga nanti dia akan mengerti.
Bersambung...
0 comments:
Post a Comment