(14) CERPEN MARBOT ITU TERNYATA CEO
Penulis: Lea
Perkenalan Pertama
Esoknya, tepat di hari Jumat, proses pemakaman Pak Adi dilaksanakan.
Banyak sekali pelayat yang datang, mendoakan. Nampaknya, walau hanya mantan marbot masjid yang tergolong orang biasa bahkan miskin pula, tapi keberadaan Pak Adi sangat membekas dan teramat berarti di hati orang-orang sekitarnya. Ini sangat mengesankan bagiku.
Tak hanya masyarakat biasa, beberapa pejabat pun tampak hadir. Memberikan penghormatan terakhirku.
Orang-orang yang datang bercerita tentang keutamaan almarhum semasa hidupnya. Segala sesuatu yang membuat hatiku bergetar.
Maka di sini aku mengerti, kemuliaan sesungguhnya seorang manusia, bisa kita lihat di akhir hidupnya, seperti ini.
Aku mengikuti semua proses, bersama Abi Yahya. Bahkan untuk pertama kali aku terlibat memandikan hingga menguburkan jenazah.
Hatiku bergetar hebat. Ini pengalaman pertama dalam semua proses paling menegangkan yang kualami seumur hidup.
Ya, bayangkan, aku, seorang CEO dan putra mahkota keluarga bangsawan Edibagaskara, kini memandikan, menyolatkan, bahkan menandu jenazah, ayah mertuaku.
Aku juga turun ke lubang kuburan, menyambut jenazah, atas arahan Abi Yahya. Masuk ke lubang ini, tempat peristirahatan terakhir. Menyaksikan semuanya, ini seperti de javu dari sebuah kehidupan singkat di kepalaku. Saat aku yang menjadi mayat itu.
Yaa Robb. Apa ini? Teguran kematian? Sungguh tidak pernah aku merasakan ketakutan dan rasa lemah seperti ini.
Mati dan dikuburkan di dalam tanah, sendirian. Dalam himpitan gelap tanpa teman.
Mataku basah. Entah, ini semua seperti membawa titik sadar paling hebat di dua puluh lima tahun kehidupanku. Aku pun pasti akan mati. Dan tidak berdaya seperti mayat ini. Meninggalkan segalanya. Harta, tahta, dan apapun yang selama ini kurasa sebagai 'milikku'.
Abi menepuk pundakku. Sekali lagi, memberikan perintah yang tak bisa kutolak sedikitpun. Memintaku untuk mengumandangkan adzan bagi mayit Pak Adi.
Aku menarik suara dengan nafas yang tercekat di awal. Lalu memulai dengan suara parau. Kemudian beradzan pertama kali. Ya, pertama kali. Aku tidak pernah adzan, bahkan di masjid selama menjadi marbot.
Ini yang pertama.
Aku menghafal semua lafalnya. Mengumandangkan dengan penghayatan terdalamku. Dalam bayangan kematian. Begitu kuresapi.
Sampai penguburan selesai.
Kudengar bisik-bisik itu. Dari orang-orang yang turut mengantarkan ke kuburan.
"Itu Kang Padi yang marbot masjid itu? Bagus ya suaranya, merdu."
"Iya, kan yang bangunin tiap sahur juga. Khas banget."
“Kenapa dia yang mengumandangkan azan?”
"Katanya udah nikah sama anak almarhum Pak Adi tadi malam, sebelum Pak Adi meninggal."
"Oh ya? Yang benar? Sama Dinda?"
"Iya. Mungkin nggak lama lagi bakal diumumin."
Aku mendengar, bisik-bisik halus itu dalam kesadaran yang merayapi perlahan.
Menikahi putri Pak Adi. Ya, aku telah menikahi Adinda. Dia, istriku sekarang.
Aku masih berada di tempat yang sama. Jongkok menemani Adinda yang terus memusut kepala nisan bertuliskan nama Pak Adi. Dengan mata basah.
Hingga orang-orang pergi satu persatu. Dan habis semua, tersisa kami berdua saja.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Hanya menemani dia di sini. Seorang wanita yang bahkan belum begitu kukenal. Malah sejak semalam aku dan dia belum bicara apapun, tidak ada tegur sapa. Aku hanya mengamatinya yang mengusap air mata dalam diam.
Waktu berjalan dalam hening. Kuburan ini terletak di area perbukitan.
Sesekali, angin berhembus cukup kencang. Menjatuhkan daun- daun kecoklatan dari pohon di sekitar.
Sepi. Sehelai daun jatuh di atas kepala Adinda.
Aku mengambilnya dari sana. Dia tersadar, menoleh ke arahku. Ya, sejak tadi ia seperti tak menyadari kalau sedang kutemani. Sibuk dengan kesedihannya sendiri. Fokus menatap pada nisan bertulis nama ayahnya.
Aku tahu dia sangat kehilangan. Kata Abi, hanya Pak Adi satu- satunya keluarganya. Ibunya jelas telah membuangnya dan Pak Adi sejak dulu juga tidak lagi memiliki keluarga.
Aku terdiam saat pandangannya menumbuk korneaku. Urung kuturunkan sebelah tanganku yang menyentuh daun kering di pucuk kepalanya.
Untuk pertama kali menatap wajahnya sejelas dan sedekat ini. Aku tak berkedip. Menyaksikan wajah teduhnya yang sedang bersedih sebesar ini. Dalam pandangan mata syahdu yang sejak awal begitu menghipnotisku.
Adinda
Aku berkaca di matanya yang sedang basah. Melihat diriku di dalam dirinya. Rasanya masih tak percaya kalau dia sudah kuhalalkan semalam. Menjadi istriku.
Ada debar yang kian besar saat mengamati sepotong wajah yang sejajar dengan wajahku kini.
Ini aneh sekali. Desiran tak biasa yang mendegubkan jantungku sejak awal melihatnya. Wanita sederhana ini. Aku jatuh cinta sejak awal mula melihatnya, pada pandangan pertama. Dan detik ini benar-benar meresapi rasa yang nyata atas perasaan yang tak bisa kukendalikan.
Adinda, kenapa begitu mempesona? Padahal sangat sederhana.
Sepasang mata syahdunya mengerjap. Dan itu menyadarkanku dari menatapnya begitu lama. Sepertinya, dia juga baru sadar. Melepaskan diri dari tatapan lekatku.
Hangat menjalari hati ini.
Aku menyingkirkan daun dari kepalanya. Lalu menurunkan tangan, mengusap air mata dari kedua pipinya. Rasanya, ah... sulit sekali kugambarkan rasanya. Pertama kali menyentuh wajahnya.
Aku bersedih melihat dia bersedih. Tapi tak bisa kuingkari ada rasa bahagia bisa menemaninya, seperti ini.
Lalu aku meremasi jemariku sendiri sambil beranjak berdiri. Baru kali ini merasa sangat serba salah seperti ini. Sungkan tapi ingin. Ini membingungkan. Tapi juga aku harus membawanya kembali. Sudah terlalu lama di sini.
Hati-hati kuulurkan tangan hingga menggapai jemarinya. Lalu menariknya perlahan. Ia mendongak dan aku sebisa mungkin mengatur ekspresi wajahku yang pasti memerah, grogi sekali memulai seperti ini. Meski ia seperti tak memahami apapun sekarang, kaku dalam pikirannya sendiri.
Sampai dia berdiri dan aku membimbingnya melangkah, pulang.
Pulang. Bukan ke sepetak kamarku di sisi belakang Masjid Almira Tiga. Ya, rupanya rumah Adinda sangat dekat dengan masjid tempatku bertugas, Kata Abi, biasanya Adinda ke masjid berjalan kaki saja, lewat pagar belakang. Dia baru menggunakan sepeda jika perjalanan cukup jauh, ke pasar atau mengantarkan pesanan kue-kue.
Tapi sejak ada aku, mengisi kamar khusus marbot yang posisinya persis di sudut belakang masjid juga, ia memutar jalan cukup jauh jika akan ke masjid. Makanya bersepeda dan masuk lewat gerbang depan.
Dia menghindari bertemu denganku? Ah, ya, kurang lebih begitu. Abi menyampaikan alasan sederhana yang bisa jelas terbaca meski ia tak mengatakannya. Jika ia masuk lewat pagar belakang yang cukup sepi selama ini, akan besar kemungkinan berpapasan denganku, di tempat sepi itu. Sedangkan marbot asli masjid ini, meninggali sebuah rumah sederhana dan lebih besar dari kamar yang kutempati bersama istri dan anaknya. Berada di sisi kanan masjid. Aku tidak meninggali rumah itu, diberikan tempat tinggal kamar itu karena aku di sini hanya untuk menggantikan sementara, selama satu bulan.
Ya, jadi sejak awal dia menghindari bertemu dengan seorang pemuda, aku. Semenjaga itu terhadap kehormatannya sendiri. Kata Abi Yahya, Adinda memang sangat menjaga dirinya dari interaksi dengan kaum pria.
Bagiku itu istimewa. Dan kini akulah pria beruntung yang menemaninya. Bahkan tinggal di rumah yang sama, walau ia sepertinya belum begitu menyadari kehadiranku, masih larut dalam sedihnya sendiri. Aku tak mengganggu, memberinya waktu.
Ya, aku ada di sini sekarang, rumah peninggalan Pak Adi yang selama ini ditinggalinya dengan Adinda. Sebuah rumah kayu yang sangat sederhana. Bahkan terlihat sangat tua.
Minimalis dan lapang. Sedikit sekali perabotan di rumah ini. Bahkan kulihat saat ia membuka lemari, juga begitu lapang. Sepertinya hanya ada beberapa potong pakaian di sana.
Rumah ini walaupun kecil dan terkesan tua, namun terasa lega dan sejuk berada di dalamnya. Ya, lega, sangat lega. Adem merasakan auranya.
Di ruang tamu bahkan tidak ada satupun meja maupun kursi. Hanya ruangan kosong dengan satu pot bunga di pojok sudutnya. Ditambah sebuah kaligrafi indah berbingkai unik
yang dipasang pada salah satu sisi dinding. Ya, memang terlihat unik dan indah. Itu saja.
Lalu satu kamar tidur dan dapur serta kamar mandi. Rapi dan tertata lapang sebab begitu sedikitnya isi rumah ini. Kalau kuperkirakan, ukuran seluruh rumah ini hanya 4 x 4 cm. Kubus.
Aku memandang sekitar. Sambil menghirup kebetahan yang mengalir di ujung saraf kesadaran. Ya, rasanya nyaman sekali ada di sini.
Selama ini aku selalu berada di ruangan-ruangan luas. Kamar mewahku yang bahkan bisa dipakai bermain futsal. Ruangan kerjaku yang bahkan jauh lebih luas dari seluruh rumah ini, kamar-kamar hotel serba luas juga yang seperti tempat asing mengurungku, juga rumah megah bertingkat-tingkat yang selama ini kutinggali.
Berada di rumah kayu minimalis dan sangat sederhana ini, rasanya berbeda sekali.
Aku sepertinya akan betah sekali ada di sini.
Aku menemani Adinda melewati kesedihan dan kehilangan terbesar di hidupnya. Meski aku tahu, masih seperti mimpi ia menerima seorang pria selain ayahnya di rumah ini. Apalagi, selama ini mereka hanya tinggal berdua saja. Tidak pernah ada orang lain.
Kecanggungan yang tercipta. Tidak hanya dirasakannya. Rasa yang jelas kualami juga. Semua ini masih terasa asing bagiku,
tentu saja.
Aku berdiri di pintu kamar. Mengamati dirinya yang sedang memusut bantal dan tempat tidur yang biasa ditiduri ayahnya, mungkin. Masih jelas terlihat kesedihan di mata sendunya itu.
Satu hari, dua hari. Ia masih melamun sendirian. Dan aku hanya mengamati dalam diam. Di hari ketiga, kurasa tiba waktuku untuk menutup kenangan, tentang ayahnya.
Melangkah masuk, aku menghampirinya. Memulai kebersamaan.
"Adinda." Aku menyebut namanya. Tepat setelah duduk di sisinya.
Dia berbalik. Dengan mata basah.
Mengerjap. Masih terlalu asing aku baginya.
Meyakinkan hati, kutarik dua tangannya yang terasa dingin. Bahkan gemetar ketika kulit kami bersentuhan. Aku tahu, ia lebih 'sadar' sekarang, dibanding saat aku menarik tangannya saat di pemakaman. Sangat terasa, desir berbedanya. Tangannya yang gemetar, tidak mematung seperti pertama kali kusentuh tangannya ini.
Dalam genggaman tanganku, bisa kurasakan kecanggungan yang tercipta. Dari sikap malunya, mungkin. Menunduk saat kutatap lekat.
Aku tersenyum. Dia sudah menyadari sepenuhnya, kehadiranku. Waktunya aku bilang, dia tidak sendirian.
Ini seperti mimpi.
“Adinda… bisakah kita bertemu?” tanyaku, sebagai seorang pemuda yang belum pernah bertemu langsung dengannya.
Apakah ini pertanyaan yang tepat untuk memulai?
Entahlah. Yang kutahu, salah satu cara terbaik mengobati kesedihan seseorang adalah dengan mengalihkan fokusnya. seperti itu.
Dia mengangkat wajahnya. Memalukan, aku tahu.
"Kang Padi?" Pelan dia menyebut namaku.
Aku tersenyum lagi. Dia benar-benar sudah menyadari kehadiranku.
Kami belum pernah berkenalan secara langsung. Aku hanya kebetulan benar menyebut namanya hari itu, Adinda, setelah salah menyebut Ananda. Dan dia tahu namaku sebab semua pengurus masjid sering menyebut-nyebut namaku, Kang Padi sebagai marbot yang bertanggungjawab terhadap berbagai keperluan masjid. Ya, hampir semua jamaah akhirnya mengenalku tanpa berkenalan.
Kang Padi.
Kang Padi.
Tersebut selalu namaku saat dibutuhkan. Menanyakan kunci perpustakaan masjid. Menanyakan masalah pada WC masjid. Menanyakan lantai yang kotor. Menanyakan keberadaan microfon. Menanyakan saat lampu masjid telat dihidupkan. Dan seterusnya.
"Kamu kenal aku?"
"Ya?" Dia nampak bingung. Memang itu tujuanku.
"Aku bukan Kang Padi," ucapku lagi.
Dia semakin mengernyit. Aku terus berusaha mengambil alih fokusnya.
"Hah?"
"Aku... Kanda."
Dia membalas tatapanku. Menarik diri, mundur, ingin menarik tangannya. Apa itu, dia takut denganku?
Aku menahan tangannya. Lalu mengajaknya berdiri. Keluar menuju teras yang sepi, menghadap ke Masjid Almira Tiga.
Malam itu cerah. Kubah masjid tampak indah disinari cahaya keperakan. Dan lautan bintang tersebar di langit.
Aku belum melepaskan tangannya. Lalu menunjuk ke langit di atas.
"Itu." Aku menunjuk bulan.
"Bulan?" Dia mengikuti arah yang kutunjuk.
Aku mengangguk.
"Kenapa?" Sambungnya. Nampak tak mengerti, penuh tanya. Rautnya, aku suka melihatnya begitu. Polos sekali. Artinya rencanaku bisa berjalan dengan baik sekarang.
"Bulan itu, jauh tapi ada, cahayanya terasa sampai di sini." Aku memulai, yang ingin kukatakan.
Dia mendengarkan. Melihat padaku. Aku suka dilihatnya.
"Benar?" Aku bertanya sekarang.
Dia diam, lalu ragu menganggukkan kepala.
"Ayahmu juga. Ada, hanya jauh dan tak terjangkau saja sekarang." Aku mulai masuk ke inti pembicaraan.
Dia masih diam.
"Jangan sedih lagi. Ayahmu nggak pergi kemanapun. Hanya berpindah tempat. Tidak hilang." Aku berucap dengan menatapnya lekat. Mengunci arah pandangnya.
"Ayahmu masih ada, akan selalu menjaga. Jangan pernah takut ditinggal sendirian. Cintanya untuk putrinya... dititipkan di sini." Aku menyentuhkan telapak tangannya ke dadaku. Dadaku yang berdegup kencang sekarang. Ya, mana mungkin tidak berdegup kencang sebab aku memang memendam perasaan padanya sejak awal.
Kami berdiri berhadapan. Aku menggenggam tangannya yang menyentuh tepat di permukaan dadaku. Menekan.
"Ijinkan aku menggantikan ayahmu, Adinda," ucapku sambil merunduk. Mendekat tepat di hadapan wajahnya. Hingga bisa kulihat jelas sekali rupa teduhnya yang seketika merona.
Barangkali dia lupa dengan kesedihannya untuk beberapa saat ini, di detik-detik aku mengunci dirinya dalam semua ini.
Aku sedang berusaha membuatnya jatuh cinta.
"Boleh?" aku kembali bertanya. Tersenyum, untuk memancing senyumnya yang hilang beberapa hari ini.
Dia... akhirnya ikut tersenyum. Menunduk malu.
Berhasil.
Lalu mengangguk.
Bersambung ...15
0 comments:
Post a Comment