(19) MARBOT ITU TERNYATA CEO
Penulis: *Lea*
Penjelasan
🐝🐝🐝
"Adinda, aku ingin bilang sesuatu," ucapku dengan mimik serius dan suara berat.
Tak bisa kupungkiri, ada gelegak kecemasan yang melingkupi dada ini. Rasa ragu dan kekhawatiran akan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Menebak respon Adinda. Aku takut dia berubah setelah ini. Walau harapku, dia bisa menerima dan melihat ketulusan yang kutunjukkan padanya.
Ya, dia mungkin mengalami trauma pada orang kaya sejak lama, sedangkan bersamaku baru beberapa waktu belakangan ini, sekitar dua tiga minggu. Apa mungkin dalam tempo waktu sesingkat itu bisa mengubah sudut pandangnya?
Tapi aku tak bisa menunda terlalu lama. Hanya satu bulan waktuku di sini. Sebelum aku harus pergi dan kembali pada dunia nyataku sebenarnya.
Aku ingin sekali, saat kembali, aku kembali dengan membawa serta dia. Sebagai belahan jiwa, seperti saat ini.
"Ya?" Tanyanya sambil mengerjap. "Apa, Kanda?" Panggilan sayangnya untukku--Kanda, sedikit mencairkan kekakuanku.
Aku menghirup udara untuk memenuhi paru-paru. Meyakinkan dalam hati kalau semua akan baik-baik saja setelah aku mengakui semuanya. Malam ini.
"Adinda, aku ingin bilang. Sebenarnya aku-"
Tok tok tok!
Ketukkan keras dari arah pintu mengejutkan kami. Menghentikanku yang baru saja akan berbicara hal paling serius dengan adinda.
Tok tok tok!
"Kak Dinda...!" Diiringi panggilan seseorang dengan suara panik.
Tok tok tok!
"Kak Dinda, tolong dibuka...!"
Siapa?
Adinda ingin beranjak tapi aku menahan tangannya.
"Biar aku yang buka," ucapku dengan nada melindungi.
Ya, sebab ketukan di pintu terdengar tak biasa, begitu terburu-buru. Membuatku diliput penasaran dan siaga dalam waktu satu waktu.
Adinda mengangguk, lalu mengikuti langkahku.
Ketukan di pintu terdengar semakin keras. Aku memutar kuncian pintu dan membukanya.
Aku melihat wajah seorang wanita dengan ekspresi tidak yakin menatapku. Lalu aku menggerakkan tubuhku untuk melihat Adinda yang ada di belakangku.
"Tita?" Suara Adinda menghampiri sosok wanita itu.
Lalu wanita muda itu menghambur dalam pelukan Adinda. Seraya memaksaku untuk menutup pintu segera.
Sebenarnya aku ingin menahan untuk tidak menutup pintu. Sebab aku dan Adinda sama-sama tidak tahu apa alasan wanita bernama Tita ini datang di malam selarut ini. Bahkan dengan ekspresi menyimpan
sesuatu itu. Tapi sesaat kemudian, Adinda yang memintaku untuk melakukannya, menutup pintu. Menjelaskan kalau ia memang mengenal sosok wanita itu.
Akhirnya tak ada pilihan, aku pun menuruti, menutup pintu.
Berpaling. Menyaksikan pemandangan seorang wanita muda sedang menangis tersedu-sedu di pangkuan Adinda.
Ada apa?
Namanya Tita, salah satu tetangga di sekitar sini. Sejak kecil sudah berteman dengan Adinda. Ayahnya memiliki usaha produksi tahu dan Ibunya seorang ibu rumah tangga. Tita anak bungsu dari tiga bersaudara. Itu keterangan yang kudapat dari Adinda.
Malam ini ia datang, dengan raut panik, bingung, sedih, dan ketakutan yang membaur jadi satu. Seorang wanita muda yang baru saja mengetahui nasib malangnya karena begitu dibutakan cinta pada sosok pria kaya raya.
Aku mengernyit saat ikut mendengarkan ceritanya. Maksudku, dia bercerita pada Adinda. Dengan mata sembab sambil terisak-isak. Aku ikut mendengarkan, dan apa yang kudengar malah membuatku ikut gusar, menatap pada Adinda.
Tita mengaku sudah menikah secara siri dengan Wendi, seorang pria mapan kaya raya yang sebelumnya menjadi pelanggan di toko furniture ayahnya.
Singkatnya, mereka saling suka lalu Wendi merayunya. Tidak mengajak berzina karena bisa melihat Tita tergolong wanita sholeha.
Pernikahan dilakukan secara siri karena Wendi beralasan berkas-berkas identitasnya sempat hilang. Ini, sama dengan alasanku saat diminta para tetua pengurus Masjid Almira Tiga untuk mengurus pernikahan secara resmi di KUA. Aku juga beralasan begitu. Demi melindungi identitas asliku.
Seketika aku merasa cemas, mendengar cerita wanita muda bernama Tita itu.
Menurut Wendi, menikah adalah perkara ibadah yang harusnya disegerakan agar terhindar dari zina sementara mengurus berkas identitas yang hilang butuh waktu cukup panjang. Sampai di sini bisa kusimpulkan, sosok Wendi adalah perayu ulung bahkan tak segan menggunakan dalil demi niatan buruknya.
Entah mengapa alasan-alasan itu membutakan Tita. Karena sudah memendam rasa daya tarik dan kesempurnaan yang terkesan luar biasa, Tita menerima, menikah siri.
Ayah ibunya yang tidak berpendidikan tinggi, cukup mudah dirayu juga oleh Wendi. Apalagi Tita memaksa. Pria bernama Wendi itu berjanji akan menikahi Tita secara resmi setelah berkas-berkasnya selesai. Bersumpah bahkan.
"Dia bilang masih bujangan. Nunjukin seolah suka beneran sama aku, Kak." Wanita berkulit sawo matang itu terisak lagi. Mengadu pada Adinda.
"Aku mau dan percaya sekali sama semua yang dia bilang. Apalagi dia nunjukin semua hal yang bikin aku takjub. Dia orang kaya raya, Kak. Aku pikir, dunia aku akan berubah jadi kayak dongeng Cinderella dengan nikah sama dia. Aku nurutin semua yang dia mau dan ngejalanin kewajiban aku sebagai seorang istri. Nyerahin semuanya, kehormatanku. Apalagi kita sudah nikah walau secata siri." Wanita itu membenamkan wajah dengan kedua lengannya. Nampak 'hancur'.
Aku masih menyimak, walau sudah bisa menebak, jalan cerita selanjutnya.
"Ternyata dia nggak kunjung menikahi aku secara resmi. Bahkan keberadaanku disembunyikan dari keluarganya. Berbulan-bulan sampai satu tahun. Nggak ada itikadnya buat meresmikan pernikahan kita. Aku mulai gelisah, apalagi belakangan sikap Mas Wendi semakin dingin."
Dia menghapus cairan kental dari hidung yang keluar. Dan Adinda sigap menyodorkan saputangan pada wanita itu.
"Ternyata, dia bohong selama ini, Kak. Dia bohong! Dia sudah menikah dan punya dua anak balita. Istri pertamanya tiba-tiba ngelabrak aku, menghina-hina di hadapan para tetangga. Aku dibilang pelakor! Perebut laki orang!" Dia menggeleng-geleng keras. "Aku dikatain wanita murahan! Dan Mas Wendi nggak bela aku samasekali. Malah membenarkan yang apa yang dihinakan ke aku!" Emosinya meluap-luap. Meski ia tahan dengan menutup mulutnya kuat-kuat.
"Aku ternyata cuma jadi mainan buat Mas Wendi selama ini. Dan aku bodoh sudah percaya sama orang kaya seperti dia. Aku nyesal nggak ngikutin nasehat Ayah, lebih baik bersuami orang biasa tapi bahagia daripada cuma jadi mainan orang kaya. Pernikahan Cinderella itu cuma omong kosong. Aku yang bodoh sudah segitu mudah dipermainkan aja sama laki-laki kayak gitu." Dia terisak-isak lagi.
Lalu bisa kulihat itu, pandangan iba dan sorot kecewa yang nampak jelas di mata Adinda. Traumanya pada suatu kalangan, orang kaya. Terlihat jelas kembali.
Menggertak hatiku.
"Istrinya tadi datang ke rumah. Menghina-hina aku. Menghina Ayah sama Ibu juga. Dia bilang aku pelakor! Perusak! Aku malu, kak. Ayah marah besar sama aku juga." Dia menggeleng lagi. Dengan wajah sudah basah sekali.
"Mas Wendi Endira. Dia pengusaha sukses yang cuma jadiin aku mainan. Jahat banget, kak. Dia sudah ngambil semuanya dari aku. Lalu mencampakan aku kayak gini. Padahal aku... aku sekarang hamil anaknya!" Dia memegangi perut. Dengan nafas sesak dan wajah pucat.
"Aku lari dari dia. Dan aku yakin sekarang dia lagi nyari-nyari aku di rumah Ayah." Begitu nampak tersiksa.
"Ijinin aku nginap di sini semalam ini aja, Kak Dinda. Aku mohon. Aku nggak tahu harus kemana lagi. Cuma Kak Dinda orang yang paling baik di sini. Ayah kecewa berat sama aku dan aku nggak sanggup ngadepin Ayah sekarang. Aku juga takut Mas Wendi datang dan
maksa aku menggugurkan janin ini. Aku nggak mau.
Aku lagi hancur!" Pekiknya dengan suara tertahan. Memohon.
Adinda melihat padaku. Memohon ijin, aku tahu.
Aku meremas jemariku sendiri. Diam dalam beberapa waktu. Lalu... tidak mengijinkan.
"Pulanglah. Ayah Ibumu pasti menunggu," ucapku sambil membukakan pintu.
Wanita itu menatapku dengan pandangan tak percaya. Lalu kembali menatap dengan ekspresi memohon pada Adinda.
Ya, aku mengerti perasaannya. Tapi aku juga tahu, lari tak akan menyelesaikan semua ini. Semarah- marahnya Ayahnya, ia pasti akan tetap melindungi putrinya. Termasuk tak akan lagi membiarkan pria kaya itu membawanya kembali.
Justru akan menjadi masalah jika ia menemukan Tita di sini.
"Tenangkan dirimu. Lalu bicarakan baik-baik dengan Ayah Ibumu. Wajar Ayahmu marah, malu, dan kecewa. Tapi dalam kondisi seperti ini, saat apapun, justru orang tua yang akan paling melindungi. Jangan terbawa emosi dan jangan lari dari mereka. Jangan biarkan orangtuamu lebih cemas lagi malam ini lalu mengambil tindakan lebih membahayakan kalian semua. Karena orangtua akan melakukan apapun untuk anaknya," ucapku dengan jelas.
Mempersilakannya pergi.
Aku tidak tahu, dia mengerti atau tidak apa yang kusampaikan barusan. Tapi aku justru sedang menyelamatkannya dengan memberikan saran itu.
Dan juga menyelamatkan diriku sendiri sebenarnya.
Sebab akan menjadi masalah serius untukku jika sosok Wendi Endira menyusul ke sini. Entah bagaimana bisa setepat ini, aku mengenal sosok itu. Dia adalah sepupuku. 'Contoh buruk' selalu kata Mami selama ini. Ini bukan yang pertama, sudah berkali-kali ia berkasus dengan wanita yang dinikahinya hanya demi pemuas sesaat saja. Dipermainkan olehnya.
Aku tidak dekat dengannya meski dalam satu garis keluarga. Tapi jika kasusnya seperti ini, ditambah bila identitasku terbongkar malam ini juga, maka mudah dituduhkan bahwa aku dan Wendi sama saja.
Ah, ini mengkhawatirkan!
"Kasihan ya." Adinda masih terdiam di ruang tamu sampai beberapa saat setelah kepergian Tita. Terbawa perasaan. Atau kembali larut dalam traumanya.
Aku menyapu muka. Duduk sambil meremasi tangan sendiri. Menyimpan gelisah yang mendera.
"Orang kaya suka gitu ya, Kanda," gumamnya sangsi.
"Ya nggak juga." Aku coba meluruskan jalan pikirannya. "Kalau kaitannya hal kayak tadi, itu bukan sebab orang kaya atau bukan. Itu masalah akhlak dan kesetiaan. Nggak semua orang kaya begitu. Sama nggak semua orang biasa pasti setia. Banyak juga kan orang biasa yang malah mainin wanita dan mengkhianati istri pertama?" Aku mencoba membuka sudut pandangnya.
Dia menatapku.
Aku berusaha terlihat 'biasa saja', sembari membuka- buka buku lawas yang kuambil dari lemari. Buku bacaannya yang sepertinya pinjaman dari perpustakaan.
"Hem. Iya sih." Dia akhirnya menyahut, pelan.
Yah, bagus. Semoga aku bisa mengubah sudut pandangnya.
"Tapi kalau sesama orang miskin, kasusnya biasanya lebih mudah, Kanda. Imbang. Beda kalau salah satu pihak dari orang kaya raya kayak suaminya Tita tadi, pasti akan lebih dzolim jadinya. Soalnya lawannya nggak cuma manusia tapi juga uang. Belum lagi penghinaan keluarga lainnya. Kayak yang dibilang Tita tadi, dihina-hina karena status ekonomi kan jadinya. Dan seringnya kalau sampai ke kepolisian, makin nggak adil aja perlawanannya. Orang kaya bisa bayar pengacara dan lain-lain buat sekedar numpahin kekesalan dan ngasih pelajaran ke lawannya. Sementara lawannya si miskin nggak bisa ngelawan banyak kalau sudah begitu." Ia tetap bertahan dengan logikanya. Nampak menyimpan amarah terpendam walau ia bicara dengan nada datar saja.
Aku mengangkat muka. Menatap ke arah matanya. Sepertinya ada yang belum ia ceritakan soal traumanya padaku. Aku bisa melihat itu, detik ini.
"Ya kan?" Dia malah menuntutku untuk menyetujui yang ia pikirkan.
"Ya, harus tahu dulu gimana kasusnya. Jangan sampai hanya karena dengar dari cerita orang." Aku menyambung, berusaha bijak. Meski aku kembali diserang rasa penasaran.
Adinda menggeleng. Dengan mata memerah dan meremasi tangan. Gurat penyesalan makin jelas kulihat di rautnya. Atau sebab denganku ia merasa benar-benar percaya, maka segala luka akan ia kisahkan padaku seperti belakangan ia lakukan.
"Memangnya pernah berurusan dengan orang kaya dan ke kepolisian?" Aku melemahkan suara. Berfokus padanya. Aku faham mengambil alih keadaan jika ia sudah seperti itu, agar ia mau bercerita. Dan semakin banyak bisa kukumpulkan fakta tentangnya.
Dia mengangguk.
"Iya, Kanda. Waktu penggusuran Masjid At Taqwa, Ayah sempat dipenjara." Sangat tiba-tiba fakta itu digelarnya di hadapanku. Dengan sorot mata terluka dan kemarahan yang belum reda.
"Dipenjara?" Aku mengulang, memperjelas.
Dia kembali mengangguk.
"Iya. Pihak perusahaan itu nggak suka sama Ayah yang berusaha mempertahankan masjid terus-terusan. Bahkan Ayah dituduh memprofokasi orang-orang. Padahal nggak gitu. Ayah cuma bicara kebenaran. Ayah bilang kalau mau ada penggusuran, mestinya ada dialog dengan masyarakat. Mungkin mereka kesal, terus Ayah dipenjarakan selama hampir satu bulan. Padahal waktu itu Ayah sudah sakit keras." Kulihat jelas rasa percaya yang benar-benar hilang pada satu golongan di matanya, pada orang kaya dan berkuasa.
"Padahal cuma karena kesal sama Ayah, sampai setega itu." Dia menangis demi menceritakan hal ini sekarang.
Kemudian menyebutkan dengan jelas nama perusahaan yang rupanya ia hafal benar. Pihak penuntut yang baginya begitu tega, memenjarakan Pak Adi atas tuntutan tak mendasar. Dan yang disebutnya adalah nama perusahaanku. Pasti Pak Pranata yang saat itu melakukan. Tapi jika menggunakan nama perusahaan, maka cepat atau lambat, saat kasus itu dibuka, akulah yang akan jadi tersangkanya.
"Orang kaya itu jahat, Kanda!" Itu kalimat kesimpulannya.
Dan tenggorokanku tercekat saat menyadari segalanya. Ternyata sungguh tidak mudah mengubah sudut pandangnya. Apalagi akulah yang menjadi sosok terfitnah pelaku di balik kasus-kasus itu.
Aku bisa saja membela diri, tapi dia juga bisa menolak pembelaanku. Seperti itu kan?
"Kadang tidak semua yang nampak sesuai kenyataannya, Adinda." Di sela kebingunganku sendiri untuk menjelaskan dan mengakui, hanya kalimat itu yang bisa kukeluarkan.
"Maksud, Kanda?"
Aku menarik nafas.
"Tidak semua yang kita simpulkan itu benar. Pun tidak semua yang kita lihat adalah kesimpulan. Dalam perkara apapun, selalu ada sudut pandang yang mestinya mempertemukan sehingga tak saling menyalahkan.
"Dii nggak ngerti. Maksud, Kanda?"
"Penjelasan. Memberi kesempatan untuk masing- masing menjelaskan. Bukan terus larut dalam prasangka dan kesimpulan sendiri." Aku memberanikan diri untuk menyampaikan itu. Ya, penjelasan. Itu satu-satunya jalan yang bisa kulakukan sekarang. Menjelaskan kesalahfahamannya padaku.
Dia terdiam.
"Waktu itu, Ayah juga berusaha menjelaskan ke pihak kepolisian, cuma nggak didengar." Lagi-lagi ia menyahut. Masih dengan sorot penyesalan.
"Ya. Padahal yang akan dijelaskan Ayah itu kebenaran kan? Gitu juga sebaliknya." Aku menemukan titik temu. Untuk sampai pada kesempatan menjelaskan itu.
Dia terdiam cukup lama. Namun tidak mengangguk sepakat juga.
Aku nyaris putus asa ketika tiba-tiba kudengar gumamannya.
"Em, iya juga ya."
Dan bahuku yang luruh kembali tegak. Dia memahami maksudku. Kesempatan menjelaskan.
Aku menatapnya dengan sorot mata tertulus yang kupunya.
Aku tahu, dia tidak sekeras hati itu. Meski perlu waktu untuk menarik perlahan sudut pandangnya yang terlanjur menyudutkan.
"Oh ya, tadi sebelum Tita datang, Kanda mau bilang sesuatu kan? Mau bilang apa?" Tanyanya.
Dan aku kembali tersadar pada detik ia mengerjap dan menatapku dengan mata sendunya.
Bersambung ...20
0 comments:
Post a Comment