Just another free Blogger theme

Saturday, April 26, 2025

 

(10) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: uge


Jadikan Aku Anakmu, Ustadz



Gambar hanya pemanis saja guys



Sayangnya, setelah hari itu, Ustadz Khalid semakin sering datang ke masjid ini. Padahal di hari-hari sebelumnya, ia hanya datang di waktu tarawih. Sebab tugasnya hanya menjadi imam tarawih. Di waktu lain, entahlah, sepertinya ia memiliki jadwal padat menjadi imam dimana-mana. Dan lagi, sepertinya tempat tinggalnya cukup jauh, tidak di daerah sini. Sebab selalu datang menggunakan mobil.


Kenapa sayangnya? Sebab ia datang di jam-jam Adinda mengajar. Membesarkan lagi kecurigaan kalau mereka ada hubungan.


Aku bisa menangkap itu, bagaimana lelaki dengan wajah paduan timur tengah itu saat melihat ke arah Adinda. Beda aja. Pandangan seseorang yang menyimpan 'sesuatu', sepertiku. Walau tentu aja ia tidak memandang berlama-lama, dia pasti cukup tahu batasan sebagai seorang imam, dan seorang lelaki saat memandang perempuan.


Atau dari caranya memanggil Adinda. 


"Dinda, gimana perkembangan anak-anak ngajinya?" 


Pertanyaaan yang memanaskan hatiku.


Aku meremas gagang sapu di tangan sambil bergerak mendekat untuk melancarkan 'gangguan'.


Tidak suka. Jelas aku tidak suka ia mendekati Adinda. Maka seringkali, aku mengganggu. Berlalu-lalang dengan alasan mengepel atau menyapu di tengah ia yang sedang bicara atau memanggil Adinda. Biar terganggu! Tahu rasa, ini area kekuasaanku, sebagai marbot masjid ini. Huh.


Caraku norak sekali? Tidak. Tentu saja aku melakukannya dengan cara yang elegant. Dan sukses membuatnya tidak nyaman. Lalu memutuskan pergi tak lama kemudian.


Lagian, kenapa harus Adinda sih? Eh, kenapa aku setidak terima ini? Mungkin aku... cemburu. Aneh ya. 


Gadis itu mengangguk sopan saat aku menoleh seperginya lelaki itu. Entah faham 'maksudku' atau tidak. Lalu meneruskan mengajar ngaji anak-anak. 


Anak-anak selalu nampak ceria dan senang diajarkan mengaji lalu diceritakan kisah-kisah nabi olehnya. 


Aku memperhatikan itu, semua aktivitasnya. Duh, jadi pengen diajarin ngaji juga Kakanda, sama Adinda. Aku tersenyum lebar. Duh, bakal digeplak Ustadz Yahya kali, kan ustadz jenggotan itu guru ngajiku.


Heran, adem banget lihatnya. Nggak pernah-pernah nih ngerasa setertarik ini. Sesuka ini. Dan semendebarkan ini. 


Dia beda aja. Sangat sederhana, sopan, rajin, cekatan, dan nampak sholeha. Nggak caper kayak kebanyakan gadis yang pernah kukenal. Dan lagi, sekalipun aku nggak pernah lihat dia pegang handphone. Langka banget kan jaman sekarang.


Aku juga sedang istirahat dengan gawai buat ngejalanin therapi pribadiku, istirahat dari kemewahan yang bikin aku merasa pusing dan mual yang makin menyiksa itu. Baru terpaksa harus buka email dan chatting dengan Handi di malam hari, ngontrol perusahaan. Setelah selesai semua tugas dan pekerjaan seputar urusan masjid ini. Aku pakai handphone baru, nomor baru, yang tahu cuma Handi. Aku benar-benar sedang berpuasa dari semua orang di dunia nyataku. 


Ya, itu aku. Memang sedang puasa dari semua fasilitas bahkan handphone dengan segala aktivitas menjeratnya. Tapi dia? Bukannya handphone adalah perpanjangan alat indra yang dimiliki dan digantungi semua orang?


Atau mungkin dia sengaja nggak bawa handphone ke masjid? Biar fokus ngajar. Ya, bisa jadi. Sesederhana itu mungkin alasannya. Dan buat aku, itu ngagumin.


---


"Apa kabar, Ayah?"


Aku menoleh. Mendengar suara yang belakangan kerap kudengar saat sedang bicara, di luar suara dan bacaan saat sedang menjadi imam tarawih, Ustadz Khalid. 


Lagi-lagi, dia datang sore-sore. Alasannya sama kayak kemarin-kemarin, nemuin pengurus masjid entah untuk urusan apa. Bahkan sampai maghrib dan isya lebih sering di sini sekarang. Buka puasa juga di sini. Menyantap takjil yang kusiapkan. Jadi, sedikit kuusilin. Bagian dia, kuenya kukasih dikit banget aja. Supaya jera buka puasa di sini. Itu namanya strategi.


Katanya sedang ada urusan dengan DKM. Hem, jangan-jangan cuma alasan buat nemuin Adinda. Nantang banget. Eh, nantang siapa? Ya, aku tertantang maksudku.


Dan baru kali ini posisiku begitu dekat dengannya saat ia sedang menghampiri pengurus masjid, Ustadz Yahya. 


Ayah? Dia memanggil Ustadz Yahya dengan ayah juga?


Mereka jelas bukan saudara. Kata Ustadz Yahya, Ustadz Khalid itu anak dari sahabatnya. 


Oh, jadi dia ngambil langkah sejauh itu udah? Manggil-manggil 'ayah' ke ayahnya Adinda? Tuh kan, nggak salah aku curiga. Dia pasti nyimpan rasa dan niat tertentu ke Adinda.


Nggak cuma panas, terbakar rasanya hati aku sekarang. Lalu terbenam dalam arang yang berubah jadi puing mematikan. Waktu lihat Ustadz Yahya tersenyum lebar menyambutnya. 


"Baik. Alhamdulillah baik," jawab lelaki paruh baya yang mulai nampak banyak ubannya itu, menyalami dan memeluk 'sainganku'. "Gimana kabar Umi? Katanya kemarin opname ya? Maaf belum sempat besuk."


Lalu mereka mengobrol akrab. Bahas keluarga.


Kayak terhempas. Serasa dada teremas-remas. Selama ini, aku selalu mendapatkan semuanya. Apapun yang kuinginkan dalam artian materi dan kekayaan. Kecuali kebebasan dan perasaan. 


Kali ini, keterkurungan dan kegagalan ini kembali kurasakan. Aku memang tak pernah beruntung perihal perasaan. Kebebasanku amat dibatasi dalam pergaulan, oleh orangtuaku. Lalu perasaan pada wanita tak pernah juga bisa benar-benar kurasakan. 


Dan kemudian, saat ini, saat labuhan rasaku sedang mekar pada satu orang, satu nama yang bikin aku selalu mikirin dia, gadis yang tiba-tiba aja bikin aku suka, aku harus kembali berhadapan dengan keterkurungan. Dalam keadaan dan penyamaran ini.


Sainganku nggak imbang. Dia imam, terhormat dan kenal dekat dengan orangtuanya. Sedangkan aku sedang berperan jadi marbot, miskin, dan aku bohong sejak awal, bilang sudah nggak punya keluarga--cuma buat menyempurnakan penyamaran. Biar diterima jadi marbot di sini tanpa ditanya lebih jauh soal keluarha. Handi yang memulai alasan dan kebohongan itu waktu pertama kali memperkenalkanku. 


Aku juga nggak sesholeh Ustadz Khalid. Ngaji juga baru belajar. Udah gitu, tompelan. 


Logis. Aku mengajak hatiku berdamai dengan berfikir logis. Kalau aku di posisi seorang ayah, seperti Ustadz Yahya, jelas aku lebih memilih lelaki yang jelas seperti Ustadz Khalid. Ilmunya jelas. Pekerjaan dan latar belakangnya jelas. Dibanding seorang marbot yang bergantung hidup pun di masjid ini aja. 


Gimana ini? Remuk rasanya hati. 


---


Sampai malam, susah banget terpejam. Kefikiran perasaan. Kefikiran Adinda dan Ustadz Khalid yang sejujurnya, serasi sekali dari sudut pandang manapun dilihatnya. Sama-sama anak ustadz. Sama-sama sholeh dan sholeha. Justru nggak serasi kalau sama aku.


Tapi kenapa timbul perasaan setidakrela ini? Hati yang terluka dan logika lelakiku yang ingin memilikinya. 


Ah ya, ternyata aku sesuka itu dengan Adinda. Dan sakitnya sebesar ini. Kenapa aku ngerasain sakit hati sehebat gini? Sebab cemburu. Karena bukan ambisi ini namanya. Diam-diam aku pengen banget berjalan di belantara kehidupan masa depan sama dia. Diam-diam, tiap lihat dia, yang kubayangkan adalah hari-hariku yang ditemani sama dia meski selama ini belum pernah ngobrol lama. 


Sekilas-sekilas sapa, atau obrolan singkatku sama dia, itu sudah cukup menggunungkan perasaan ini untuk menuntut balasan perasaan darinya. 


Dia, gadis impianku yang ternyata ada di tempat ini. Semua yang kusuka, ada pada dirinya. Adinda.


Baru ketemu beberapa waktu belakangan padahal. Tapi segini besar aku merasa dia sebagai belahan jiwa yang menghidupkan nyala semangatku yang hampir hilang. Bahkan mematahkan ketidakinginanku soal pernikahan. Satu hal yang paling kuhindati seumur hidup. Menikah bagiku hanya menambah tumpukan masalah. Tapi demi melihatnya, kulihat menikah adalah satu mimpi yang indah. 


Semudah itu ternyata perasaan berubah. Hanya oleh setitik rasa yang hadir tanpa permisi dan tumbuh begitu aja. 


Kembali memejamkan mata dan yang terbayang tatapan mata sendunya yang bercahaya di antara lentik bulu mata dan sederhana penampilannya.


Aku menelan saliva sambil merasakan buncah hancur di dada. Bukan titik jenuh seperti awal mula kepergian dari duniaku yang sebenarnya. Sekarang aku sedang merasakan goresan tajam perasaan. 


Mungkin Tuhan sedang ngasih aku teguran. Ngasih tahu, kalau bukan kejenuhan yang paling menyakitkan, tapi patah hati. 


Aku bisa bertahan dan melarikan diri dari rasa bosan dan kejenuhan pada kekayaan dengan menyamar kayak gini. Jadi marbot. Hal yang gila demi sembuh dari mual dan sakit kepala.


Sakitku perlahan hilang. Jenuhku redam. Kebebasan bahkan tanpa gelimangan uang dan kekayaan bikin aku jauh lebih tenang.


Tapi Tuhan justru ngasih aku perasaan yang terlabuh gitu aja, ke gadis sederhana yang bahkan baru kujumpa. Kemudian terhempas semuanya, detik ini. 


Ini sakit. Ternyata patah hati itu sungguh sakit. Aku baru benar-benar tahu rasanya. Lebih sakit dari sekedar jenuh yang kualami sebelum-sebelumnya. Bukan hanya mual dan sakit kepala. Hati yang patah bikin aku merasa sakit seluruhnya. Jiwa raga. Nggak ada celah logikanya. 


Aku meremas rambut. Mengamati mataku yang memerah. Menyadari, mungkin Tuhan tengah menegurku. Atas ketidakbersyukuranku dengan kehidupan. 


Semua kekayaan yang kumiliki, aku malah bosan. Jadi dikasih patah hati kayak gini. Biar aku ngerti, betapa aku nggak tahu diri. Begitukah?


Malam ini, akhirnya aku memutuskan untuk berkemas. Esok, aku harus pergi. Pulang. Aku sudah membandingkan rasanya. Jenuh dan patah hati. Aku jauh lebih bisa menanggung kejenuhan. Dibanding patah hati. Jauh banget perbandingan rasanya ternyata. Sakitnya lebih nggak terperi, terlukanya.


Ya, untuk apa bertahan kalau ke depan yang akan kulihat Ustadz Khalid dan Adinda yang kian dekat? Di tengah restu orangtua mereka. Lalu apa kabar dengan hatiku yang mengagumi gadis itu diam-diam? Keinginan memperjuangkan tapi terhalang kenyataan. Belum lagi dengan kenyataan kalau ia bukan gadis bangsawan. Bukan gadis impian keluargaku yang gila dengan uang dan kehormatan. Rumit sekali. Saat alam pun rasanya tidak merestui. 


Gini yah ternyata, sakitnya jadi pemuda yang kehilangan separuh kesempatan memperjuangkan wanitanya. Kayak nggak ada harapan buat ngelanjutin kehidupan.


Kali ini, di fase kehidupan ini, aku ternyata harus tahu diri.


Aku memutuskan pergi. Esok aku akan mengakhiri semua ini. Daripada bertahan dalam patah hati. Lalu semakin besar rasanya saat melihat mereka bersama bahagia, nanti.


---


"Ananda, sini."


Aku menoleh saat mendengar suara Ustadz Yahya memanggil seseorang. Tepat saat aku ingin berpamitan, pergi dari sini. Mengakhiri semuanya.


Ananda katanya? Apa dia sedang memanggil Adinda? Tepat sekali. Mungkin aku akan melihatnya untuk terakhir kali.


Ada detak tak biasa yang menyapa. Walau sekedar mendengar namanya. Meski aku sudah tahu kenyataan harus menjauh darinya.


Jam 11 pagi. Ini jam belajar mengajiku. Masjid sedang sepi. Ada Adinda datang bersama Ustadz Yahya? Sungguh tepat sekali.


Aku menyipitkan mata, menatap ke sosok yang beranjak menemui pengurus masjid sekaligus guru mengajiku itu di ujung lorong. Muncul di sana seorang gadis berkulit eksotis dengan langkah ragu.


Bukan Adinda. 


"Ya, ayah? Emh...." Dia melangkah mendekat. Nampak gugup dengan bola mata bulat yang mengerjap-ngerjap.


Ayah? Anaknya juga? Terlihat sangat berbeda dengan Adinda. Tidak seperti saudara.


Lalu Ustadz Yahya masih memperhatikan ke ujung lorong, lebih tepatnya ke sebalik dinding di ujung lorong. Aku juga mengikuti arah pandangnya. Terlihat seseorang menyembunyikan diri di sana. Ya, kentara sedang 'bersembunyi'.


"Sama siapa?" 


"Sendiri."


Ustadz Yahya menggeleng-geleng. 


"Bohong."


"Itu...."


"Pacaran di masjid lagi?! Sedang bulan puasa pun. Panggil ke sini!"


Apa? Pacaran di masjid? Ya, beberapa kali aku memergoki sejoli ABG berdua-duaan di pojok-pojok masjid. Bahkan di jam sholat tarawih. Hebat sekali bukan? Itu menjadi tugas tambahan untukku juga dari Ustadz Yahya, menegur, membubarkan mereka. Bisa-bisanya, masjid dijadiin tempat janji ketemuan. 


"Kadang ada yang nakal, ngaku sudah nikah. Perhatikan aja tampangnya, Kang. Kalau masih tampang ABG labil, atau tampang pemuda-pemudi, mintain buku nikahnya. Udah sering begitu. Mereka ijin ke orangtua mau sholat jama'ah ke masjid, di masjid malah janji ketemuan, berduaan di pojokan. Apalagi Kang Fadi orang baru, mereka pasti tahu Akang belum hafal wajah-wajah mereka. Tugas kita buat membersihkan tempat ibadah dari hal-hal begini." Pesan Ustadz Yahya kemarin lusa. Dengan raut kesal yang membuncah usai memergoki sejoli berduaan di pojok pagar. Di jam jeda antara Maghrib ke Isya. 


Ustadz Yahya melangkah ke ujung lorong dan memergoki seorang ABG laki-laki yang sedang bersembunyi di sana. Bener tuh pacaran. Sementara gadis eksotis tadi kabur lewat pagar samping, melewatiku begitu saja. Sengaja tidak kutahan. Anaknya Ustadz Yahya kan? Biar sajalah nanti jadi urusan Ustadz di rumah mereka.


Selanjutnya, tahulah, kesangaran lelaki itu keluar. ABG lelaki itu diceramahi habis-habisan. 


Setelah itu, Ustadz Yahya kembali ke arahku. Dan bertanya padaku, keberadaan gadis eksotis yang tadi.


Kujawab seadanya. Dan aku yang diceramahi sekarang.


"Kenapa dibiarkan pergi gitu aja, Kang? Aduh, Kang Fadi mestinya lebih tegas. Itu Rahel, anaknya Pak Sumitra. Bandel sekali. Sudah sering ketangkap basah pacaran di masjid. Kalau sholat tarawih bukannya sholat malah janji ketemuan. Tiap diadukan ke orangtuanya, orangtuanya malah nggak percaya. Tadi saya niat langsung telpon orangtuanya biar mergokin di sini. Malah dibiarin kabur." Ustadz Yahya mengusap wajah kesal. 


Sementara aku terdiam dalam kesadaran yang terlambat datang, aku baru saja membuat kesalahan. Membiarkan tersangka pergi begitu saja. Terbawa suasana, sejenak aku bahkan seperti lupa, niatan awal untuk berpamitan. Nggak tepat sikonnya.


"Yah gini lah, ngurusin masjid harus panjang sabarnya. Kadang kalau kita tegur anak yang nyata salah begitu, ngasih peringatan buat nggak boleh lagi datang ke masjid kalau tujuannya cuma buat janjian dan pacaran, malah orangtuanya ada yang nggak percaya. Nggak terima. Nuduh balik kita nggak ngebolehin anak mereka sholat ke masjid. Padahal kelakuannya begitu. Astaghfirullah." Ustadz Yahya mengusap dada.


"Begitulah ya, Kang. Anak-anak itu selain anugerah, mereka juga sebenarnya adalah ujian buat orangtuanya. Amanah." Suara Ustadz Yahya melemah. Sudah lebih normal. Ya, aku tahu, sosok ini tak pernah lama marah dan kesalnya. 


Ia menghirup udara, sambil membantuku menggelar sajadah yang tadi kujemur di teras.


"Kadang, di tengah hampir putus asa saya berdoa untuk diberi keturunan, teringat-ingat kelakuan anak-anak jaman sekarang. Di masjid aja berani pacaran, apalagi di luar. Di depan banyak orang aja berani pegang-pegangan tangan, gimana kalau di tempat yang nggak kelihatan? Ujian jaman. Zina makin terang-terangan." Ia menggeleng-geleng.


Dan saat ini, aku baru mengerti. 'Ayah' itu panggilan khas Ustadz Yahya, dari hampir semua remaja di sini. Juga Ustadz Khalid dan Adinda.


Dia bukan ayah dari Adinda. Dan Ustadz Khalid tidak sedang memanggilnya ayah sebagai panggilan sebagai calon mertua. 


Ah, kenapa ini, ada yang membuat hatiku lega luar biasa. 


"Nah, kalau ananda yang itu, beda sekali. Dari dulu. Nggak pernah buat ulah. Jangankan bohong soal pacaran, bahkan dia selalu menjaga hubungan untuk nggak pernah pacaran ngikutin teman-teman seusianya. Anaknya baik, sholehah, sederhana, dan berbakti sekali dengan orangtuanya. Walau keadaan sulit terus nguji hidupnya." Ustadz Yahya berucap sambil menoleh ke gerbang depan. Dengan wajah bersinar. Membicarakan seseorang yang datang dari sana.


Aku menoleh ke arah yang dilihatnya. Nampak jelas di sana, Adinda. Masuk ke halaman masjid dengan menggunakan sepedanya. 


Hatiku berbunga. Tak berkedip melihatnya.


"Ananda Dinda. Sholehah sekali anak itu. Kalau saja saya punya anak laki-laki, akan saya jodohkan dengan gadis itu." Ustadz Yahya tersenyum.


"Jadikan aku anakmu, Ustadz," ucapku dengan mantap. 

Bersambung

 


(9) *MARBOT ITU TERNYATA CEO* 


Penulis: uge




Makin Suka


"Oh, ehm... Nggak apa-apa," sahutku akhirnya. 


Dia hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Masuk ke dalam bersama anak-anak muridnya yang baru tiba. 


Haduh, ternyata dia memang ramah dan sederhana. Hampir aku yang salah menilainya. 


Aku meneruskan menyapu. Sambil mencuri pandang ke dalam lewat jendela kaca, ke arahnya yang sedang mengajar anak-anak mengaji satu-satu. 


Adinda.


---


Setelah hari itu, hari-hari menjadi marbot masih melelahkan tapi sekaligus jadi menyenangkan. 


Di masjid ini, pagi-pagi dia selalu datang walau cuma sebentar. Rapi-rapi di tempat sholat perempuan atau menukar mukena kotor dengan yang sudah dicuci dan menyusun di lemari khusus wanita. Rajin banget rupanya. 


Sore dia datang lagi, buat ngajar ngaji, tiap habis jualan kue. Herannya, di malam tarawih waktu banyak jama'ah berdatangan, dia malah nggak ada. 


Sebelum maghrib dia sudah meninggalkan masjid, pulang. Setelah membantuku menata bukaan puasa untuk jamaah yang berbuka di masjid. Kayaknya dia sudah terbiasa melakukan itu. Malah aku yang jadi diajarinnya. Maksudku, aku otodidak saja, ngikutin apa yang dia lakukan. Walau inginnya diajarkan, kalau perlu privat. Tapi habis ngajar ngaji, dia selalu nampak buru-buru. Aku juga pasti sudah sibuk mengerjakan dan disuruh ini itu di jam-jam segitu. Jam sibuk marbot. Huft.


Tapi siang-siang, di jam-jam dia jualan kue, aku selalu punya alasan untuk keluar. Ke toko di simpang jalan. Cuma sekedar buat lihat, seorang gadis lagi panas-panasan ngabisin dagangan kue dari beberapa nampan yang ia susun di keranjang sepedanya.


Pemandangan yang bikin hati bergetar. Antara senang lihat ketulusan dan kerja kerasnya, tetap berusaha di tengah lelahnya puasa, sama nggak tega juga menyaksikan usaha dia sampai segitunya. 


Diam-diam, aku bayar orang untuk borong dagangan kue-kuenya tiap hari. Supaya dia nggak perlu lama-lama jualan kepanasan kayak gitu. Kasihan.


Lalu saat ia berkemas dengan senyum terkembang, bersemi juga perasaanku dari seberang jalan yang nggak nampak olehnya dari seberang.


Jujur, aku kasihan dan kefikiran. Kok tega Ustadz Yahya begitu ke anaknya? Apa dia dipaksa cari uang? Padahal Ustadz Yahya nggak kelihatan orang yang susah-susah amat kok. Setidaknya, selalu naik kendaraan motor mengkilat tiap ke masjid. Kenapa anaknya sampai jualan begitu?


Lalu saat malam, selepas memeriksa laporan perusahaan yang dikirimkan Handi via email, sebelum tidur aku selalu kembali kefikiran, dia. Lalu membayangkan besok bakal gimana. 


Beberapa kali aku ngintip, sebagian uang hasil jualan, dia masukin ke kotak amal masjid waktu nggak ada orang yang lihat. Dan itu dalam nominal cukup besar. Padahal aku tahu hasil jualannya nggak gede-gede banget. Dermawan banget ternyata.


Makin hari, makin kagum aja. Sama gadis rajin, pekerja keras, sholeha dan santun kayak dia. Apalagi, justru cuma dia gadis di sini yang memandangku nggak beda. Meski aku tompelan dan lagi nyamar jadi marbot masjid aja. Sikapnya nggak beda ke siapa aja. Sama-sama hormat.


Ehm, dia... sudah punya pacar belum ya? Untuk pertanyaan ini, aku penasaran luar biasa. Tapi gimana cari tahunya?


---


Aku juga masih belajar ngaji dan malah tambah giat sekarang. Meski tiap hari harus memperbaharui niat dengan mengingat kata-kata guru ngajiku ini. "Karena apapun niatnya, capeknya sama. Yang beda hanya tujuannya, rasanya, dan pahalanya."


Kalau difikir, benar juga. Kalau capeknya sama kenapa harus salah niatnya?


Dan lagi, aku teringat terus, soal niat dan tujuan. Harus bisa membedakan dan menempatkan. Mana tujuan, mana kendaraan, dan mana teman di perjalanan. Tujuan adalah Allah. Kendaraan adalah dunia dan harta serta kemampuan yang dipunya, sedangkan teman seperjalanan adalah Adinda. Eh, maksudku, kelak seorang pendamping hidupku nantinya.


Kemajuan dalam pembelajaran iqro' menuju Al Qur'an ku cukup lancar. Tentu saja aku belajar dengan cepat. Atau memang Allah yang memudahkan. Seperti kata Ustadz Yahya juga, jika seorang hamba menuju pada Allah dengan cara berjalan, maka Allah menyambutnya dengan berlari. Apa iya? Tapi kok terasa makin benar semua yang diucapnya.


Pekerjaan ini, perlahan menjadi tak seberat di awal. Sebab aku makin beradaptasi dan kayak ringan sendiri, ngajalanin semua ini. Nggak sekedar menjalani terapi, aku bahkan merasa kayak nemuin hidupku yang baru di sini. Bebas banget. Aku bisa ketiduran siang sambil telentang gitu aja di lantai. Tanpa harus jaga imej dan kehormatan keluarga. 


Aku bebas makan nasi bungkusan yang dibagiin dari orang-orang tiap sahur dan berbuka. Tanpa aturan ketat harus makan dengan siapa dengan dan untuk kepentingan bisnis apa-apa. Semuanya suka-suka.


Sejujurnya, aku baru nemuin kehidupan sebebas ini. Tenang bahkan walau tanpa uang. 


Oh ya, uang. Siang tadi aku diberi amplopan, oleh Ustadz Yahya. Katanya gaji mingguan. Iya, marbot di masjid ini ternyata digaji mingguan. Langsung oleh pendiri masjid ini. Baik banget, siapa sih? Aku jadi penasaran. Jarang-jarang kan nemuin pendiri masjid juga sangat perhatian sama marbot masjidnya. Walau belum pernah jumpa. Aku kan cuma menggantikan marbot masjid asli untuk sementara.


----


"Awas!" Aku menangkap sepeda besi yang oleng ke kanan. Menahan dengan lenganku. 


Nyaris saja, sepeda itu terjatuh bersama seluruh kue yang bersusunan di sepenuh keranjang dan sebagian terikat di boncengan belakang. Banyak banget bawa kue-kuenya.


"Astaghfirullah!" Ia berseru kaget. Melepaskan pegangan pada sebelah pelipisnya.


Adinda.


Gadis itu nampak pucat. 


"Sakit?" Tanyaku setelah membenarkan posisi berdirinya sepeda. 


Dia meraih kembali sepeda yang memang tak dinaikinya sejak tadi, digeret dari samping gitu aja. Ya, sangat beresiko menaiki sepeda dengan bawaan sebanyak ini memang.


Dia menggeleng. 


"Makasih banyak, Kang." Tersenyum tipis. Lalu berusaha mengambil alih sepeda sepenuhnya. 


"Nggak puasa?" Pertanyaan keduaku. Masih menahan sepeda. 


Dia mengernyit. 


"Puasa," jawabnya heran. Atau mungkin tersinggung. 


"Bukannya kalau puasa nggak boleh bohong?" 


"Hah?"


Aku menarik sepedanya ke depan. Membuat dia harus mengikuti. Diiringi ia yang berusaha mengambil alih sepedanya yang kubawa.


"Bohong apa?" Dia masih bertanya heran.


Aku menoleh. Merasakan desir hangat yang lebih dari sekedar kasihan. Bukan iba. Aku nggak tega dan... makin suka. Suka? Iya, beneran suka. Nggak tahu kenapa. Banyak banget alasannya. Aku justru nggak punya alasan untuk nggak menyukainya.


"Lagi sakit kan?" 


"Oh...." Dia kayak baru nyadar, maksud ucapanku. 


Mau menggeleng lagi atau kembali menjawab 'enggak' tapi urung saat aku menoleh dan menatap lekat ke arahnya. Gadis ini, benar-benar berkharisma. 


Dia menunduk. Antara malu atau entah. Nampak gugup. Sepertinya dia nggak biasa ngobrol sama cowok. Kelihatan lucu. 


"Cuma sedikit pusing," jawabnya sambil berhenti dan menahan sepedanya. "Makasih, Kang. Maaf, sepedanya."


"Saya aja yang bawakan," ucapku tetap terus berjalan. Tak mengindahkan tangannya yang ingin mengambil alih. 


"Nggak usah, Kang. Nggak enak--"


Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. Dan belum sempat aku bertanya, nggak enak sama siapa? 


Yang terjadi selanjutnya, seperti menjawab semuanya. 


"Dinda!" Aku dan dia menoleh bersamaan ke sumber suara dan klakson yang sesaat lalu dibunyikan dari belakang. 


Sebuah mobil putih berhenti, diiringi dengan keluarnya sesosok pria yang langsung menghampiri lalu mengambil alih kue-kue ini, seluruhnya. Memasukkan ke dalam mobilnya. Mungkin sebentar lagi sepedanya juga dimasukkan ke dalam mobil dan Adinda pun akan masuk bersamanya. 


Ustadz Khalid. Ustadz muda tampan, imam tarawih masjid itu.


Aku menelan saliva bersama dinding hati yang terluka. Melepaskan pegangan pada stang sepeda.


Ustadz muda itu sempat menyapaku dan kutanggapi sekedarnya. Lalu aku mundur dengan tahu diri. Membawa patah hati.


Jadi maksudnya, nggak enak sama Ustadz Khalid? Mereka punya hubungan? Ya, tentu saja. 


Aku sudah melangkah menjauh, tak tahu apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Bukan urusanku. Dan lagi, Adinda bahkan tak menolak pertolongan Ustadz Khalid. Meski semua kue itu diangkat ke dalam mobilnya. Padahal tadi ia menolak kubantu. Jadi begitu? 


Aku yakin, bukan karena 'mobilnya' tapi karena siapa yang membantunya. Sebab aku tahu, dia bukan gadis materialistis, entahlah. Ustadz Khalid yang jelas-jelas pandai mengaji dan sholeh itu, tampan dan banyak hafalan Al-Qur'an pula. Sedangkan aku, masih belajar iqro, lagi jadi marbot dan tompelan gini pula. Kok jadi jauh banget gini sih saingannya?


Gini ya rasanya, saat nyadar bahkan walau seluruh kekayaan tujuh turunan kuperlihatkan sama gadis model kayak dia, nggak akan berarti apa-apa kalau sholeh yang justru jadi patokannya. Beda levelnya.


Aku melangkah galau. Dengan pikiran kacau. Hingga kudengar mesin mobil menjauh di belakang. Dia sudah pergi. Nggak enak gini sih rasanya. Satu kalinya suka sama perempuan, keduluan sama yang banyak modal sholeh luar dalam. 


"Kang, makasih tadi dibantu." 


Suara itu, suaranya. Kufikir ia sudah naik di mobil Ustadz Khalid. Aku menghentikan langkah. Menoleh ke arah sepeda yang berhenti persis di belakangku. 


Adinda. Menyodorkan sebungkus kue ke arahku. 


"Nih buat buka puasa. Maaf ya, Kang, sisa ini kuenya. Lainnya pesenan semua."


Hatiku yang terluka, sembuh seketika. Dan merasakan getaran yang menyala saat menyambut plastik kue dari tangannya. 


"Assalamualaikum." Dia kembali menaiki sepedanya, melewatiku. 


"Wa'alaikumsalam...." Senyumku terkembang, mengamati punggungnya sampai menghilang di ujung jalan, lalu terdiam lama mengamati bungkusan kue yang ia berikan. 


Jadi tadi kue pesanan? Pesanan Ustadz Khalid? 


Ah, aku salah sangka. Maaf ya, Adinda.


Bersambung

Tuesday, April 15, 2025

 Sarana dan Prasarana Uji Kompetensi (Ujikom) SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) adalah sebagai berikut:




*Sarana*

1. *Ruangan yang memadai*: Ruangan yang cukup luas dan nyaman untuk melakukan uji kompetensi.

2. *Peralatan yang sesuai*: Peralatan yang sesuai dengan bidang keahlian yang diujikan.

3. *Teknologi yang mendukung*: Teknologi yang mendukung seperti komputer, software, dan jaringan internet.

4. *Fasilitas pendukung*: Fasilitas pendukung seperti tempat duduk, meja, dan pencahayaan yang memadai.


*Prasarana*

1. *Asesor yang kompeten*: Asesor yang memiliki kompetensi dan pengalaman dalam bidang yang diujikan.

2. *Prosedur yang jelas*: Prosedur yang jelas dan transparan dalam melakukan uji kompetensi.

3. *Kriteria penilaian yang jelas*: Kriteria penilaian yang jelas dan objektif.

4. *Sistem dokumentasi yang baik*: Sistem dokumentasi yang baik untuk merekam hasil uji kompetensi.


*Tujuan Ujikom*

1. *Menilai kompetensi siswa*: Menilai kompetensi siswa SMK dalam bidang keahlian tertentu.

2. *Meningkatkan kualitas pendidikan*: Meningkatkan kualitas pendidikan SMK dengan memastikan bahwa siswa memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri.

3. *Mempersiapkan siswa untuk dunia kerja*: Mempersiapkan siswa untuk memasuki dunia kerja dengan memiliki kompetensi yang relevan.


*Manfaat Ujikom*

1. *Meningkatkan kepercayaan diri siswa*: Meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menunjukkan kompetensi mereka.

2. *Meningkatkan kualitas lulusan*: Meningkatkan kualitas lulusan SMK dengan memastikan bahwa mereka memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri.

3. *Meningkatkan relevansi pendidikan*: Meningkatkan relevansi pendidikan SMK dengan kebutuhan industri dan dunia kerja.

Sunday, April 13, 2025

 

(8) MARBOT ITU TERNYATA CEO

Episode 8



Penulis: Akang


Ananda atau Adinda


Aku berdehem beberapa kali, sebelum menyapa. Sampai akhirnya aku malah tak bergeming, kaku seketika, saat sepedanya berlalu dan sepertinya ia tak menyadari keberadaanku. Lewat begitu saja. Nggak noleh-moleh soalnya.


Ini terasa aneh. Aku merasa canggung yang terlalu, seperti tidak pernah memanggil wanita saja. Padahal ratusan karyawati di perusahaanku jelas-jelas wanita. Belum lagi para ART di rumah, jelas saja lebih banyak kaum hawa. Ditambah belakangan Mami dan Papi makin gencar memperkenalkanku dengan anak-anak rekanan bisnisnya, putri-putri bangsawan itu.


Tapi baru satu yang terlihat seberbeda ini. Ehm, maksudku, semenggetarkan ini. Eh, menggetarkan? Ya, rasanya kok jadi menggetarkan hati gini? Aku memegangi dada, lalu tersenyum dalam waktu yang sama. Ada desiran tak biasa yang menerbitkan gugup seperti tadi, kayak tadi. Aneh banget rasanya.


Ah ya. Usiaku 25 tahun. Dan percaya atau tidak, sampai saat ini aku tidak pernah memiliki kekasih. Ini terdengar sangat konyol bukan? Ya, konyol! Padahal aku hidup di jaman semodern ini. Bagaimana mungkin ada manusia normal yang tidak pernah berpacaran sepertiku? 


Mami dan Papiku melarangku menjalin hubungan dengan perempuan, atas alasan apapun. Sekedar mencoba, bersenang-senang, bahkan serius sekalipun. Mereka sangat menjagaku dari segala pergaulan. Terlalu eksklusif dan mengekang.


"Kamu satu-satunya penerus keluarga Edibagaskara. Putra mahkota. Jangan pernah berpacaran, gadis-gadis itu hanya mendekatimu karena latar belakang keluarga kita, Alfa! Atau sengaja dikirim keluarganya untuk menghancurkan bisnis keluarga kita. Memanfaatkan lewat kamu." Itu selalu peringatan Mami. "Lalu bisa menjebakmu dengan fitnah yang mencoreng nama baik keluarga besar kita."


Aku selalu enggan menanggapi walau dulu belum terlalu mengerti. Mungkin sebab selalu didoktrin demikian. Dan menghindari masalah. Jadi, kuputuskan untuk menurut saja. Meski dalam pembullyan teman-teman sekolahku dulu. Mereka bilang aku terlalu eksklusif, tidak pacaran sama dengan tidak gaul, ketinggalan jaman, dan memiliki hidup yang suram. 


Dan sialnya, memang benar. Hidupku suram! Isinya belajar dan diberi segala kesenangan lain versi Mami dan Papi. Hanya diminta memikirkan masa depan dan bayangan hebat menjadi pewaris tunggal sebuah keluarga konglomerat nan terpandang. Aku mengalami pembatasan dalam pergaulan sebab Mami selalu mengontrol dengan siapa saja aku boleh berteman. Luar biasa sekali bukan?


Ya, semua kebutuhanku, apapun dipenuhi. Aku dilayani layaknya pangeran. Mendapatkan segala yang terbaik. Kecuali kebebasan.


Jadilah aku seorang CEO yang dingin dan elegant. Bukan karena kepribadian tapi sebab tuntutan menjaga kehormatan. Itu hal yang selalu ditekankan, padaku, sejak dulu.


Kata siapa menjadi anak tunggal dari orangtua tunggal di kalangan bangsawan itu menyenangkan? Aku bilang tidak. Aku kesepian dan sampai pada titik jenuh yang mematikan, akhir-akhir ini.


"Mami dan Papi yang akan memilihkan calon istri terhormat untukmu, Alfa. Saat sudah tiba waktunya. Jual mahal saja dengan semua gadis-gadis murahan itu!" Aku selalu mendapat peringatan demikian, sejak dulu.


Dan saatnya, sepertinya sudah tiba. Setahun belakangan Mami terus memintaku berkenalan dengan gadis-gadis terhormat dari kalangan bangsawan juga. Kaya-raya, modis, berkelas, berpendidikan, dan cantik versi Mami. 


Sayangnya, tidak ada satupun yang menarik di mataku. Mami dan Papi bisa memaksaku untuk tidak menjalin hubungan dengan sembarang perempuan tapi tak akan bisa memaksaku untuk menumbuhkan perasaan, pada salah satu dari mereka. 


"Papi khawatir, jangan-jangan Alfa tidak normal," kudengar keluhan Papi saat berlalu di kamar mereka suatu malam. 


Papi menyapu wajah resah.


"Apa maksud Papi?" Mami mendekat.


"Papi khawatir Alfa mengalami kelainan. Dia tidak pernah terlihat tertarik dengan gadis-gadis yang kita kenalkan satu tahun ini. Padahal gadis-gadis itu sempurna. Apa jangan-jangan, dia tidak suka perempuan?"


Mami terbelalak dan langsung membekap mulut. 


Sementara aku mendengarkan sambil mengangkat alis di balik daun pintu kamar yang renggang. Bisa-bisanya orangtuaku sendiri mencurigaiku begitu?


Ah, padahal teman-temanku sejak lama menuduhkan hal demikian, mereka saja yang tidak tahu. Ya, aku korban pembullyan di lingkup kecil pertemanan, sebab orangtuaku yang tak mengijinkanku berpacaran. Lalu sekarang mereka juga yang mencurigaiku begitu? Ini lelucon terhebat di seperempat abad hidupku. 


Dan tuduhan itu, tentu saja tidak benar. Menjijikan sekali. Aku lelaki normal. Hanya mungkin sudah hilang rasa saja. Sebab mereka semua terlihat membosankan.


Dulu, beberapa kali aku pernah tertarik dengan teman-teman perempuan. Terutama saat masih sekolah, di masa puber SMP. Sayangnya, semua teman gadis yang pernah sekedar kutaksir itu, selalu jauh dari level bangsawan. Maka semuanya menjadi urung dan hilang. Tak pernah satu pun kunyatakan apalagi sampai terjalin suatu hubungan. Lalu perlahan hilang dan tak ada yang tertinggal dalam ingatan.


Sampai akhirnya, mungkin aku hilang rasa pada perempuan akibat tak pernah bebas mencicip asmara masa muda. Kufikir begitu. Sampai mencapai usia lebih dewasa, sejak kuliah dan bekerja, aku benar-benar menutup hati dari ketertarikan dengan wanita. Buat apa? Toh hanya akan berakhir pada kupendam lalu hilang begitu saja. Sebab aku tahu, Mami dan Papi tak akan pernah mengijinkan aku membawa pilihan tak setara dengan keluarga.


Dan lagi, tidak pernah ada yang terlalu istimewa. Semua terasa biasa saja. Kufikir, mungkin aku memang diciptakan sebagai manusia tunggal. Anak tunggal, pewaris tunggal, bahkan sampai kapanpun akan menjadi manusia tunggal. Membujang sendirian.


Titik jenuh kehidupanku mengantarkan pada kesimpulan seakut itu. Sebab menikah dengan kalangan gadis bangsawan pasti akan justru menambah besar kekayaan dan mengurungku dalam kehidupan yang makin menjemukan.


Ya, sampai aku menginjakkan kaki di masjid ini, aku masih berkeyakinan, aku sudah hilang rasa pada wanita. Sungguh. Lalu detik ini, yang terjadi justru sebaliknya.


Aku tidak tahu darimana rasa ini hadirnya. Seperti kuncup mati yang tiba-tiba berbunga. Atau gersang yang tak disangka menjadi lembab begitu saja. 


...


Getaran itu terasa sungguh nyata. Kuat sekali tarikannya. Saat mataku menatap dan tak ingin berkedip ke arah satu gadis berkharisma yang baru turun dari sepedanya. Mengelap keringat di kening sambil melangkah tenang. Menaiki anak-anak tangga. 


Di teras yang juga sedang ditujunya, aku berdiri sambil meremas sapu di tanganku. 


Ehm, ya, aku akan menyapanya, untuk pertama kali, setelah tadi tidak jadi. Kok deg-degan banget ya rasanya. Seperti nggak pernah ketemu perempuan aja.


Dia tiba. Ya, dia sudah menginjak teras. Sebentar lagi akan berpapasan denganku. Tapi sepertinya dia lagi berjalan sambil baca buku. Jadi tak melihat ada aku. Aduh, ya, satu-satunya cara, aku benar-benar harus menyapanya.


"Ananda." Panggilan pertamaku terucap jua akhirnya. Meski jadi gemetaran nyebutnya, tapi terucap dengan jelas. 


Bisa kutangkap itu, ia berhenti sejenak, mendengar panggilanku, tapi tidak mengangkat wajahnya dari buku. Kufikir, sebentar lagi dia akan menoleh. 


Tapi di detik berikutnya, justru patah hati yang kurasa. Sambil likat menelan saliva. Bahkan tak kuindahkan kehadiran para bocah yang seketika menciptakan keributan, berlalu-lalang di sekitarku. 


Fokusku hanya pada Ananda, yang ternyata tak berkenan menjawab sapaan pertamaku, padanya. Gini banget rasanya dicuekin sama gadis yang disuka.


Dia meneruskan langkah. Masuk tanpa menjawab sapaku. Padahal sejak pertama, kufikir dia ramah orangnya. Kenapa kusapa malah tak dianggapnya ada? 


---


Aku belum beranjak dari posisiku. Mencoba menetralkan rasa. Juga membenahi patah hati pertama. 


Atas segala kemungkinan dan kenyataan yang ada. Apa dia tidak sebaik kukira? Memandangku sebelah mata karena profesiku sekarang dan tompel-tompel yang kupasang hingga aku menjadi begitu tak nyaman dipandang? Sama seperti orang-orang yang mengejekku sejak semalam. Ah, kecewa. Padahal kemarin kudengar dia mengingatkan murid-muridnya agar jangan menghinaku. Ternyata malah dia yang nyuekin panggilanku begitu. 


Baru akan berbalik, kulihat ia keluar lagi di pintu. Memanggil murid-muridnya. 


"Ayo masuk. Kita sudah mau mulai ngaji."


Sayangnya, walau sudah patah hati, aku tak bisa menahan mata untuk tak melihat ke arahnya. 


Sebentar saja, sampai kemudian kembali merasakan getaran yang sama lalu menyadari kejadian barusan, lalu mengingatkan diriku sendiri, ia tak menanggapiku. Itu kenyataannya.


Baru saja aku akan berbalik ke arah lain.


"Ananda Kayla... Ananda Fathia... Ananda Cici... yuk cepetan." Suaranya kembali terdengar. Memanggil.


Dan, eh. Kok 'Ananda' semua?


"Fathia, Cici, cepetan. Udah dipanggil, ngajinya mau mulai!" Teriak seorang anak kecil di halaman masjid ke arah dua temannya yang sedang asik bermain di pagar depan.


Ananda? Apa itu maksudnya bukan 'nama'?


Otakku berfikir cepat. Menghubungkan panggilannya pada anak-anak itu dan panggilan Ustadz Yahya padanya kemarin. 'Ananda'. Apa itu hanya panggilan pengganti kata 'Nak' saja? 


Jadi, namanya bukan Ananda? Ah, ya. Dan lucu gini sih. Puitis banget panggilan 'anaknya'. Ananda. 


Lalu aku mulai memikirkan istilah-istilah lainnya. Ayahanda, Ibunda, begitu?


Ya, aku faham sekarang.


Pantas tadi dia nggak jawab. Itu kan panggilan untuk arti 'anak'. Mestinya aku memanggil namanya, bukan malah 'ananda'. Ih, salah faham gini.


Eh, tapi kan aku nggak tahu namanya. Ehm, kalau dipuitiskan juga, apa sih istilah halusnya untuk panggilan pada seorang perempuan? Aku berfikir menghubungkan istilah lain.


"Adinda." Panggilan bermakna 'adik' itu terlontar begitu saja dari mulutku. Kesebut sendiri. 


"Ya?" Dia yang masih menunggu anak-anak di pintu, tiba-tiba menoleh ke arahku.


Tatapan kami bertemu. 


Aku terpaku. Lalu seperti diserang tanpa persiapan saat dia menatap dengan sebuah jawaban atas panggilan yang barusan kulontarkan. Dia terpanggil? Maksudku, apa dia merasa sedang kupanggil? 


"Kak Dinda, bentar lagi ya.... Fathia lagi nunggu Mamanya...." Teriak seorang bocah di halaman. 


Dia berpaling lagi ke depan. Mengangguk pada anak yang memanggilnya. 


Adinda? Jadi namanya Adinda? 


Manis banget namanya. 


Aku jadi pengen ganti nama aja, jadi Kakanda. Gimana?


Bersambung

 (7) MARBOT ITU TERNYATA CEO

Episode 7

Penulis: uge

Calon Imam

Aku batal dari niat buruk membatalkan puasa karena kehausan. Entahlah, berubah semangat gini jadinya, habis lihat keceriaan anak-anak yang mau ngaji ntar sore. Ah, habis lihat guru ngajinya maksudnya. Ananda.


Jadi sering kepikiran gadis itu. Bayangannya melintas-lintas tanpa permisi di kepala. Bikin senyum-senyum bayanginnya. Nggak terkontrol gini, heran juga. Padahal kalau dilihat, dia gadis yang biasa aja tapi seperti punya kharisma atau ehm inner beauty atau apalah namanya. Kayaknya beda aja sejak pertama lihat. Beda dari wanita lain. Sesuatu yang, ah! Pokoknya jadi kefikiran aja. 


Sesuatu yang menarik perhatianku.


Apa mungkin ini hanya cara Tuhan nyelamatin aku dari niat ngebatalin puasa di hari pertama? Atau justru suatu pertanda soal rasa? Entah. Aku jadi senyum-senyum lagi kan. Ih, kalau ada yang lihat gini bisa-bisa aku dikira marbot gila. 


Aku meneruskan . Ini benar-benar keluar dari zona nyaman dan menjemukan di kehidupan nyataku. Nyoba hidup baru di kasta terendah sebagai seorang suruhan. Menantang. 


Hampir siang, Ustadz Yahya datang. Sesuai janji, bawain iqro' buat ngajarin aku ngaji. Suasananya pas banget, lagi sepi-sepinya. Jadi bisa konsentrasi belajar dan nggak malu-maluin kalau dilihat orang. 


Lihat orang tua sholeh ini, jadi ingat putrinya yang kutemui pagi tadi, Ananda. Sambil belajar sambil cari info boleh kan? Eh. Atau pura-pura giat supaya dapat kesan positif, dari bapaknya dan dari anaknya.


Di awal, Ustadz Yahya mengingatkan agar aku senantiasa meluruskan niat.


"Innamal a'maalu binniyaat... Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju pada Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” Pria dewasa yang kutaksir berusia 60 tahunan itu menunjukkan satu hadist lagi padaku.


Aku menyipitkan kedua mata. Berfikir. Maksud dari hadist ini. Menarik, menurutku.


Hijrah karena dunia dan wanita yang ingin dinikahi?


"Begini. Niat itu ibarat peluru. Dia akan mengena persis dimana arah ia ditujukan. Kalaupun melesat, tak mungkin jauh dari arah mula sasaran. Kalau arah tujuan kita menembak adalah satu buah di pohon, maka kemungkinan yang kena satu buah di pohon itu saja. Lain kalau tujuan kita adalah menembak pohonnya. Kena pohonnya artinya kena semua. Otomatis dapat buahnya, batangnya, daunnya, semuanya. Itu kan namanya sudut pandang. Niat itu begitu. Makin besar niat kita, makin besar power yang akan kita keluarkan. Makin lurus tujuan kita, makin hati-hati kita akan menjaga diri pada perlintasan." Ustadz Yahya menutup kitab yang ia pegang. Sambil meletakkan petunjuk mengaji di hadapanku.


"Kembali ke hadist tadi. Jangan pernah niat berhijrah karena dunia atau sebab wanita. Karena mereka bukan tujuan. Tujuan kita adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka jangan salah menempatkan sejak dalam niat. Niat hijrah karena wanita misalnya, dapat wanitanya, terus selesai? Segitu saja? Jangan. Niatkan ingin hijrah lurus karena Allah. Maka tempatkan dunia di genggaman sebagai kendaraan, lalu letakkan wanita atau pendamping hidup kita sebagai teman berjalan mencapai tujuan. Sederhananya, kita harus menempatkan dengan benar, mana teman di perjalanan, mana kendaraan, mana tujuan. Jangan sampai teman jadi tujuan atau sarana yang hanya kendaraan jadi tujuan, malah tujuan sebenarnya hilang dari peta niatan. Faham?" 


Aku terdiam. Menyimak dalam ketersindiran. Baru saja aku memang berfikir begitu. Ah, bukan baru saja, selama ini aku memang seperti itu. Jadiin dunia ini sebagai tujuan untuk hal apapun. Lalu lupa sama tujuan sebenarnya hidup ini sendiri. Ya, ini ternyata yang bikin aku ngerasa jenuh dan hampa, hidup kayak nggak punya tujuan sebenarnya. Begitukah?


Tiba-tiba merasa kayak seseorang yang baru disadarkan dari amnesia. 


Kali kedua, ngerasa seperti ini hari ini. Padahal baru hari kedua jadi marbot di sini.


"Karena apapun niatnya, capeknya sama, yang beda cuma hasilnya dan rasanya, juga pahalanya. Maka jangan rugi-rugiin diri. Niat yang benar, supaya hasilnya juga benar."


Aku mengangguk. Walau belum faham sepenuhnya.


Lalu mulai mengaji mengikuti Ustadz Yahya. Baru belajar ngaji usia segini. Dulu pernah sih, waktu kecil, hanya sekilas lalu. Orangtuaku dari dulu lebih fokus nyariin aku guru les Bahasa Inggris dan pelajaran akademik yang bakal menunjang karir masa depanku dibanding mikirin pelajaran agama kayak gini.


Beberapa kali aku salah membaca, Ustadz Yahya menegur dan membenarkan.


Tapi di akhir, ia memuji sungguh-sungguh. Mengatakan aku cepat sekali menguasai pelajaran. Cepat mengingat. Untuk urusan kali ini, kurasa tidak perlu aku menutupi kepintaranku. Aku terbiasa menghafal rumus-rumus dan menghubungkan satu demi satu kemiripan kejadian dalam kasus-kasus bisnis. 


Mungkin sebab itu, pembelajaran iqro' seperti ini pun lebih mudah kufahami. Dari menghafal huruf-huruf, menganalis kemiripan tanda baca dan seterusnya. Karena otakku memang sudah terpola untuk berfikir, menghafal, dan menganalisa dengan cepat. Aku, seseorang yang terpelajar. Tentu otakku cukup terasah untuk mempelajari segala ilmu baru.


Kesimpulanku, ternyata belajar huruf-huruf Al Qur'an ini menarik, unik, dan asik. 


"Semangat belajar membaca Al Qur'an nya ya, Kang. Sebab Al Qur'an itu tuntunan utama kehidupan. Dan laki-laki itu calon imam keluarga. Calon imam bagi istri dan anak-anaknya. Tanggungjawabnya besar, nggak cuma tanggungjawab nafkah lahir bathin, tanggungjawab membimbing dalam ketaatan juga masuk dalam pengertian imam, kepala keluarga."


Deg!


Ketiga kali, tersindir banget gini. 


Aku terdiam.


"Jadi calon imam, harus giat belajarnya. Terutama pasal agama. Nggak ada alasan enggaknya. Allah menjanjikan, laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik. Ini hukum alam." Ustadz Yahya tersenyum tipis.


Aku kembali menelan segala hal asing yang masuk serta merasuk ke dalam hati tanpa permisi sejak aku tiba di tempat ini.


Aku hanya menunduk, dengan sikap khas seorang marbot. Lalu berjama'ah sholat dzuhur. 


Belajar hari ini, hari pertama, terlalui dengan sukses yang cukup membuat lega sekaligus menarik penasaranku lebih jauh jadinya.


Nggak kerasa, setengah hari sudah puasa. 


---


Aku makin memahami semua tugasku di sini. Melayani segala kebutuhan di rumah ibadah. Dan ini akan semakin meningkat selama bulan Ramadhan seperti ini. 


Sekitar pukul tiga sore, aku bergegas keluar, berinisiatif membeli air mineral gelasan yang sudah hampir habis stoknya. Kata Ustadz Yahya, di bulan ramadhan, setiap hari akan banyak jama'ah yang berbuka puasa di masjid. Jadi aku bertugas mempersiapkan.


Kubawa langkah menuju toko besar di ujung jalan. Berjalan kaki saja. Sekaligus refreshing, melihat-lihat daerah sini. Selain karena di sini aku juga tak memiliki kendaraan.


Beberapa kali berpapasan dengan orang-orang, pria dan wanita. Dan aku tahu mereka sedang memperhatikanku, pria bertompel ini. Bahkan bisik-bisik beberapa gadis kudengar di kejauhan. 


"Dari belakang kirain cowok ganteng. Badannya kayak oke banget. Ternyata dari depan, tompelan. Hihi."


"Iya. Sama. Aku kira juga."


"Hus, puasa! Jangan ngomongin orang."


"Itu yang marbot baru Masjid Almira Tiga kan?"


"Oh iya, iya."


Aku pura-pura tak mendengar. 


Baru akan menyeberang di persimpangan, pandangan mataku terpaku menatap ke seberang jalan sana. Di bawah pohon. Netraku menangkap seraut wajah yang beberapa kali melintas di kepala sejak awal jumpa.


Seorang gadis berdiri dengan raut lelah dan senyum yang menghias wajah, dengan peluh yang nampak nyata di keningnya. Di tengah terik, panas-panasan. Membawa nampan berisi kue-kue yang ditutupi koran. Menawarkan pada orang-orang. 


Ananda.


Apa yang dia lakukan?


Aku menghentikan langkah, memperhatikan. 


Beberapa orang memilih kue, lalu ia membungkus kue-kue yang dipilih. Sigap mengambil uang yang diserahkan lalu memberikan kembalian. 


Dia berjualan kue?


Sampai beberapa saat, aku masih berdiri di seberang jalan. Memperhatikannya dari kejauhan. Sampai hampir ashar dan ia membereskan sisa kue-kuenya ke dalam keranjang sepeda lalu beranjak menuju ke arah masjid.


Aku tahu, dia akan mengajar mengaji sore ini. 


Gadis itu, kenapa rasanya aku semakin tertarik ingin tahu?

Ananda. Apa kusapa saja?

Bersambung

Saturday, April 12, 2025

 

(6) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: AA




Gadis Bersepeda


"Tidak, Ustadz." Aku langsung menolak.


Jangan sampai aku benar-benar terjebak dipaksa menjadi imam sedangkan bacaan sholat saja tidak ada yang kuhafal. Payah sekali memang. Yah, selama ini aku memang sangat jauh dengan Tuhan. Di kota besar seperti ini, bukankah itu wajar saja? Apalagi konsentrasi pendidikan dan karirku bukan di bidang agama bukan? 


Mungkin sebab hidupku terlalu berkecukupan dan segala keinginanku nyaris selalu terwujudkan, jadi aku merasa, tak pernah lagi ada yang perlu kuminta. 


"Kenapa, Kang?" Pak Budi bertanya. "Serius, bagus suara Akang. Anak-anak saya yang awalnya pada males bangun aja jadi kebangun karena suara Kang Padi tadi loh. Menarik, beda sekali, lain dari yang lain. Istri saya sampai muji juga. Bersenandung aja bagus apalagi baca Al Qur'an. Oh ya, kenapa semalam malah nggak ikut tadarusan?" Kali ini Pak Firman yang bertanya.


Aku menggaruk tengkuk dengan sungkan--bukan gayaku sama sekali saat terdesak seperti ini. Biasanya, aku akan menanggapi lawan bicara dengan sikap dingin sembari membalik pertanyaan atau menggali pembahasan. Tapi aku selalu ingat, posisiku, peranku sekarang. Jangan sedikitpun ada celah mencurigakan kalau aku orang yang sangat terpelajar.


Tapi sumpah, aku bingung beneran.


"Saya... nggak bisa ngaji," ucapku akhirnya.


---


Kejujuran itu menyelamatkanku. Kufikir, aku akan menerima 'penghinaan' lebih hebat. Selain rupaku yang penuh tompel dan tampilan culun yang membuatku begitu tak nyaman dipandang sekarang. Atau minimal diceramahi dengan emosi oleh para orangtua pengurus masjid itu. Sudah usia 25 tidak bisa mengaji. Padahal kata mereka aku pandai bernyanyi.


Ternyata tidak. Berbeda sekali lingkungan orang-orang ini. Justru meminta maaf padaku yang sedang berperan tak memiliki kasta apapun saat ini. Hanya marbot. Serta menasehati dengan lembut agar aku belajar mengaji, mumpung masih ada kesempatan dan waktu yang baik di bulan Ramadhan, kata mereka dengan penuh penghormatan. 


"Jadi, dalam hadist shahih, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menyampaikan, khoiurukum man ta'allamal qur'aana wa'allamahuu. Artinya, sebaik-baik kalian adalah yang membaca Al Qur'an dan yang mengajarkannya." Ustadz Yahya tersenyum berbinar ke arahku. "Begitu, Kang. Jadi kata Allah, sebaik-baik manusia bukan yang bergelimang harta, paling tinggi jabatannya, paling hebat kastanya, bukan. Samasekali bukan. Kata Allah, manusia terbaik adalah yang mempelajari Al Qur'an. Itu. Bahkan kalau kita kembali urutkan susunan kalimat yang disampaikan Rasulullah tadi, siapa yang lebih baik dan lebih banyak pahalanya, yang belajar atau yang mengajar? Yang pertama disebutkan, Kang. Yaitu, yang belajar, lebih utama."


Aku terkesima. Menyimak dengan seksama. Di waktu lepas kultum jelang pagi ini, hanya ada kami berempat yang tertinggal di masjid. Aku, Ustadz Yahya, Pak Budi, dan Pak Firman. Dan aku sedang dinasihati dengan hal yang sungguh baru kali ini kudengar.


"Hanya saja, tidak ada pengajar yang tidak lebih dulu belajar. Jadi pengajar Al Qur'an sejatinya mendapatkan dua kali sebutan sebagai sebaik-baik manusia, bahkan berkali-lipat dari itu. Ia lebih dulu telah belajar, lalu mengajarkan, kemudian terus belajar lagi, dan berlanjut diajarkannya lagi. Sebaik-baiknya manusia kata Allah, kata Rasulullah...."


Aku masih diam. Mencerna. Dan seperti ada yang mengetuk satu pintu mati hatiku detik ini juga. Aneh banget. Tapi rasanya kayak nyata. Apa karena ini sedang bulan puasa jadi pintu rahmat emang lagi benar-benar dibuka? Sampai aku yang sungguh asing dari agama jadi terketuk sama penyampaian sederhana dari Ustadz Yahya yang mungkin sebenarnya biasa aja?


"Nggak apa-apa kalau belum bisa ngaji. Yang salah itu kalau bisa terus nggak ngaji. Atau nggak bisa dan nggak mau belajar ngaji. Begitu ya, Ustadz?" Pak Budi menimpali. 


Ustadz Yahya mengangguk. 


Aku merasa, tersentuh. Faham mereka sedang 'menyemangatiku'. 


"Jadi di antara kami bertiga ini, siap semua ngajarin Kang Padi ngaji. Mau berguru sama siapa?" Ustadz Yahya kembali tersenyum ramah. Jenggot putihnya nampak berkilauan diterpa cahaya pagi yang mulai masuk dari arah ventilasi.


Aku tidak menjawab. Mana mungkin memilih. Ketiganya sama-sama fasih mengaji. Dan mengapa bisa mereka seringan ini ingin mengajarkan? Ah ya, pasti sebab imbalan predikat sebagai sebaik-baik manusia tadi.


Aku tak menyangka, sampai sedikit ada perebutan murid. Rebutan pahala banget kayaknya. Hingga dari diskusi singkat, mereka bertiga juga yang akhirnya menyepakati, Ustadz Yahya yang akan menjadi guru ngajiku.


Aku mengangguk sekali lagi. Jalanin aja lah. Ngikutin semua alur ini. Daripada buat masalah dengan nolak tawaran diajarin ngaji, yang ada penyamaranku bisa ketahuan.


Lagipula, aku sebenarnya jadi tertarik juga. Buat belajar ngaji. Apalagi habis berapa kali ikut sholat di sini. Dengerin suara imamnya yang semalam ngimam tarawih, Ustadz Khalid, masih muda, sepertinya seumuran denganku. Katanya lulusan kuliah di Arab. Suaranya bening. Dan bacaannya lancar banget. Bikin aku agak mikir, apa aku bisa begitu juga? 


Hm, buat apa? 


Ya, buat apa? Entahlah. Rasanya, ada panggilan rasa ingin saja.


"Kami pamit pulang dan kegiatan masing-masing dulu ya, Kang. Insya Allah siang sebelum dzuhur saya ke sini lagi. Kita mulai belajar ngaji. Sudah siap?" Ustadz Yahya menepuk pundakku usai mendirikan sholat entah sholat apa.


Aku mengangguk kembali. 


Siap tidak siap. Aku akan belajar membaca Al Qur'an mulai siang ini. Begitu? 


---


Jelang pukul sembilan pagi. Masjid sunyi. Ada beberapa orang yang baru datang dan mendirikan sholat masing-masing. Kata mereka sholat dhuha. Lalu tetap di atas sajadah sambil membaca Al Qur'an. Ada yang lagi berdzikir. Ada yang ketiduran. 


Tapi sepi sih. 


Sementara aku sibuk dengan pekerjaanku. Membersihkan jendela dan mengelapi kaca-kaca. Lalu berlanjut menyapu dan mengepel lantai hingga menggosok tangga. Menyusun buku-buku. Banyak sekali pekerjaanku. Begini melelahkan, apa benar dibayar seikhlasnya? 


Ah, justru aku tak ingin dibayar saja. Aku kan sedang 'lari dari uang' dan kekayaan. Lagian, berapa sih? Aku sudah punya semuanya. Bahkan masjid begini juga aku bisa bangun sendiri pakai hartaku sendiri.


Capek dan lemes banget. Maklum, kan puasa. Aduh, masih pagi padahal. Tapi sudah haus aja. Apa aku batalin puasa aja? Tapi gimana kalau ketahuan coba?


Lagi-lagi pengen nyerah aja kalau ngerasain lelah dan lemesnya gini. 


Aku sedang mendorong kain pel ke arah perwudhuan jama'ah pria saat tiba-tiba aja, ekor mata menangkap pemandangan yang membuatku terpaku seketika. 


Seorang gadis menaiki sepeda sederhana, masuk lewat gerbang samping lalu berhenti di parkiran samping juga. Ia turun dari sepeda dan menyandarkan kendaraan manual itu ke dinding. Sambil ngeluarin bungkusan besar yang diikat di boncengan belakangnya. 


Ananda. 


Dia melangkah mendekat, ke arah pintu. Masih nggak nyadar ada aku. Ah, maksudku, dia nggak merhatiin kemana-mana emang sih kayaknya. Cuma aku sendiri yang nggak tahu kenapa malah nggak bisa mgelepasin dari pemandangan ini, maksudku sedang melihat pada gadis itu. Terlihat, sederhana sekali. Penampilannya.


Apalagi sikapnya yang ngingetin anak-anak ngaji supaya nggak jadiin aku ejekan 'om tompel' dan bahkan nyuruh mereka minta maaf. Padahal emang beneran aku lagi menyamar pakai banyak tompel-tompel gini. 


Nggak cuma anak-anak itu aja, sampai malam, banyak jama'ah yang refleks nyebut aku Kang Tompel. Orang-orang dewasa malah. Yang cewek-cewek, beberapa malah terang-terangan nunjukin sikap refleks mendelik pas lihat aku, marbot culun yang tompelan ini. Dasar emang, datang buat sholat jama'ah tarawih tapi hatinya pada gitu. Emang kenapa kalau orang tompelan? Nggak tahu aja aku CEO di kehidupan sebenarnya.


Jadi penasaran, kemaren kan hari pertama aku di sini. Pertama kali juga gadis manis itu lihat aku. Tapi sikapnya malah kayak menghormati aku banget. Maksudku, nggak kelihatan beda menyikapi aku dengan orang-orang lain. 


Kuintip dari sini, dia masuk dan sholat di tempat khusus wanita. Terus berdoa khusyuk banget, habis itu baru buka bungkusan yang dia bawa tadi. Ternyata isinya mukena. Banyak, ada kali sepuluh pasang. Ada bordiran nama masjid ini semua. Kusimpulkan, itu mukena masjid. Kok dia yang bawa?


Dia buka lemari dan ngelepasin mukena-mukena di lemari dari hanger. Terus mukena yang dia bawa tadi disusunnya ke hanger itu satu-satu. Dia tata lagi ke dalam lemari. Dan mukena-mukena dari dalam lemari sebelumnya, dia masukin plastik. Sepertinya buat dicuci.


Lalu dia lanjutkan dengan ngeberesin sudut lemari berisi Al Qur'an dan buku-buku bacaan yang belum sempat kubereskan. Maksudku, aku sudah diingatkan Ustadz Yahya untuk tak sembarang masuk ke tempat sholat wanita. Khawatir kalau pas ada yang lagi nggak sempurna nutup aurat. Lagipula, lagi-lagi kata Ustadz Yahya, untuk area sholat wanita biasanya ada yang membersihkan juga. Nyuciin mukena dan lain-lain, wanita juga, cuma nggak tinggal di masjid kayak aku. 


Apa Ananda orangnya?


Em, bukannya dia anak Ustadz Yahya? Masa dia?


Untung aku masih posisi kayak lagi ngepel gini pas dia tiba-tiba keluar. Jadi nggak ketangkap basah dari tadi aku merhatiin dia. 


Dia membawa plastik berisi mukena-mukena dari dalam. Dan berpapasan denganku. 


Ya, berpapasan. Dan aku kembali melihat pemandangan yang membuatku terpaku diam. Saat bersitatap dengannya, dan dia mengangguk sekilas dengan senyum tipis. 


Manis.


Aku membalas senyumnya. Eh, apa tadi malah aku yang senyum duluan malah?


Entahlah, aku tersenyum terus sampai dia berlalu, menuju sepedanya. 


Duh, kok deg-deg an gini habis sekilas bersitatap kayak tadi? Aku menelan saliva sambil memegangi dada. Kenapa nih? 


Lalu teringat siang nanti akan belajar ngaji sama Ustadz Yahya. Ayahnya? 


Apa aku bisa tanya-tanya soal Ananda? Eh, buat apa? Maksudku, kenapa sih aku ini? Jadi pengenan tahu. 


"Kak, kita ngaji?" Tiba-tiba serombongan anak-anak yang lagi main-main di pelataran masjid mencegat gadis bersepada itu. Ananda. 


"Mau ngaji sekarang beneran? Kan jadwalnya sore." Suaranya menyahut. 


Aku manajamkan pendengaran. Sambil menarik senyuman. Suaranya enak banget kedengarannya.


Anak-anak yang ditanya malah ketawa-ketawa. 


"Sore aja, kak! Masih mau main!"


Yaelah, bocah, kecil-kecil udah pada pinter gitu basa-basi.


Dia ngucap salam ke anak-anak terus meelambaikan tangan setelah nasehatin mereka supaya semangat puasanya baru pergi, kembali melajukan sepedanya.


Dan malah aku yang jadi semangat dengarnya. Eh, puasanya. Nggak jadi kehausan deh. Apalagi pas dengar dia sore mau ke sini lagi. Ketemu lagi. 


Aku meneruskan ngepel sambil mengulum senyum, ngebayangin senyum tipisnya tadi. Walau cuma sekilas lalu. 


Wajahnya, bersih dan polos tanpa setitikpun make up. Jadi nggak bosen mandangnya. Duh, batalin puasa nggak sih gini?


---

Bersambung

 


(5) MARBOT ITU TERNYATA CEO

EPISODE 5

Penulis: AA



Suara Merduku

Malam ini, malam pertama bulan Ramadhan. Masjid ini menjadi sangat ramai, benar-benar di luar ekspektasiku.


 Maksudku, sebab aku sungguh awam datang ke masjid apalagi untuk tarawih berjama'ah seperti ini. 


Bahkan sholat dan puasa pun, aku lupa kapan terakhir kali. 


Pengurus masjid yang terdiri dari para pria dewasa dan beberapa pemuda nampak sibuk mempersiapkan berbagai agenda jama'ah. 


Dan aku, juga sibuk mempersiapkan berbagai kebutuhan yang diminta usai diperkenalkan Ustadz Yahya sebagai marbot masjid baru.


"Kang, galon di luar tolong diangkat ke dalam ya," perintah seorang pria dewasa, padaku. 


Aku tahu yang kemudian harus kulakukan.


 Ya, mengangkat galon. Ow, Alfadi Edibagaskara--seorang CEO perusahaan nasional ternama-- mengangkat galon! 


"Kang, tolong cari kabel panjang di gudang ya, buat nyambungin microfon untuk tadarus ini." Seorang ustadz yang menjadi imam tarawih malam ini yang memintaku.


Dan lagi-lagi, aku harus menuruti permintaan tolong atau bahkan perintah itu. Bergumul dengan barang-barang berdebu di gudang sembari mencari-cari dalam kegelapan. 


"Kang, pintu belakang WC airnya nggak bisa ngalir, apa mampet?" 


Lalu lagi-lagi aku harus beranjak memeriksa.


Ya, malam ini dipenuhi dengan kelelahan dan harga diriku yang terinjak-injak luar biasa. 


Sungguh, ini benar-benar pengalaman seumur hidup yang sangat luar biasa.


 Bahkan mungkin sangat memalukan.


 Untung tidak ada yang tahu, hanya Handi yang tahu soal ini. Bahkan ini semua adalah usulnya. Dan dia adalah orang kepercayaanku.


Setelahnya, aku juga yang harus menunggu semua orang meninggalkan masjid, lalu baru aku bisa mengunci pintu. 


Menjadi orang terakhir yang meninggalkan tempat ini.


Aku segera masuk ke kamar yang untungnya hanya bersebelahan bahkan menempel dinding dengan masjid ini.


 Lantas terkapar di kamar setelah menghabiskan makan malam dengan sangat lahap.


 Padahal hanya nasi bungkus dengan menu sederhana. 


Mungkin sebab begitu lelah dengan pekerjaan yang luar biasa menguras tenaga seharian ini.


Aku mengerjapkan mata yang sudah mengantuk dan ingin terpejam rasanya. Lalu mengecek email dari laporan perusahaan yang dikirimkan Handi satu jam yang lalu. 


Ya, apapun statusku sekarang, perusahaanku,  AlfaEd Coorporation tetap berada di bawah kontrolku. 


Meski secara teknis, ada Handi yang menghandle di sana. 


Hanya memeriksa laporan dan memberikan instruksi via chatting pada Handi. 


Setelahnya aku membuka tangan di atas kasur sederhana pada kamar ini.


 Meregangkan semua otot yang rasanya remuk. Huft.


Tapi... sungguh, aku tidak merasakan sakit kepala dan mual-mual seperti kemarin-kemarin. 


Apa sebab aku tak berurusan dengan uang dan harta kekayaan sejak tadi?


Aku menarik nafas dalam-dalam. 


Entah jam berapa aku terlelap. Bahkan aku tak sempat melepaskan tompel-tompel berbahan sintetis yang memenuhi wajahku ini. 


Sungguh lelah sekali.


Dan berita lebih hebatnya, aku bisa tidur dengan sangat nyenyak malam ini.


 Padahal sudah berbulan-bulan aku juga mengalami gangguan tidur. Malam ini, aku mendapatkan kualitas tidur yang luar biasa hebat setelah belakangan aku tak bisa tidur nyenyak walau telah meminum obat tidur dosis tinggi.


---


Aku tertidur pulas. Sungguh terlelap dan tak menyadari apapun sampai terdengar suara ketukkan di pintu. 


Aku menyipitkan mata yang berat dan langsung terlonjak begitu mendengar suara Ustadz Yahya yang memanggil di luar.


Apa aku kesiangan?


Seperti yang disampaikan Ustadz Yahya sore tadi, aku juga bertugas mempersiapkan masjid untuk kegiatan subuh hari. 


Bahkan memberikan "panggilan sahur" dari microfon masjid sejak pukul 03.20.


Bergegas aku menyambar pintu dan membukanya. 


Untung saja semalam tompel-tompel di wajahku lupa kulepaskan. Jadi masih menempel dengan sempurna di wajahku ini.


"Assalamualaikum." Suara ketukkan terdengar lagi.


"Wa'alaikumsalam." Aku membuka daun pintu dengan tampang benar-benar bangun tidur seperti ini.


"Masya Allah. Mari, Kang, tahajjud jama'ah dan sahur dulu." Ustadz Yahya membangunkanku dengan sopan. 


Aku mengangguk kemudian meminta maaf karena terlambat bangun. Untunglah Ustadz Yahya begitu pengertian. 


Cepat aku berganti pakaian, melepaskan tompel-tompelku dengan cairan khusus, memakai masker lalu beranjak ke kamar mandi, berwudhu sebisaku saja, lalu kembali ke kamar dan menempelkan tompel-tompel, menyisir culun rambutku lalu beranjak ke masjid, lewat pintu belakang.


Ternyata masih pukul tiga. Ckck. Demi apa aku bangun jam segini. Dan Ustadz Yahya bersama beberapa jama'ah pria sudah bersiap melaksanakan sholat tahajjud berjama'ah. 


Aku menjadi salah satu di antaranya. Dalam serangan rasa mengantuk yang nyaris membuatku beberapa kali terpejam kembali. Asli, masih ngantuk berat. 


Usai sholat tahajjud, beberapa orang yang tadi mengikuti sholat tahajjud berjama'ah, pamit pulang untuk sahur bersama keluarga masing-masing.


 Tertinggal aku sendiri serta beberapa jama'ah yang baru tiba, tapi jelas bukan pengurus masjid.


 Mereka mengambil posisi di sudut-sudut untuk membaca Al Qur'an dan duduk berdzikir.


Ustadz Yahya juga pulang, usai memberikan makan sahurku dan mengingatkanku untuk membangunkan masyarakat agar sahur, lewat pengeras suara masjid.


"Cara 'memanggil' dan 'membangunkan' warga sahur, terserah cara Kang Fadi saja ya. 


Yang unik, biar orang-orang pada kebangun dan sahur.


 Jangan lupa ingatkan jam imsyak juga," ucap Ustadz Yahya sebelum pergi tadi.


Aku faham yang dimaksudnya. "Memanggil-manggil" warga untuk sahur lewat microfon masjid yang terdengar kemana-mana. Begitu kan? 


Ini sungguh seperti tidak masuk akal kulakukan. 


Aku, entahlah. Rasanya aku ingin tertawa membayangkan kegilaan yang kulakukan sejak kemarin. Pengalaman hebat. Dari seorang raja menjadi rakyat jelata.


Aku berfikir beberapa saat sebelum mengeluarkan suara di ujung microfon. Panggilan yang unik? Aku kan sangat menjaga imej selama ini. 


Tapi, aku kan tidak sedang menjadi Tuan Alfa alias Tuan Alfadi Edibagaskara sekarang. 


Aku berperan sebagai Kang Fadi. Maksudku, Kang Padi.


 Sebab sejak kemarin, kebanyakan orang memanggilku dengan sebutan "Padi" bukan Fadi". 


Hanya Ustadz Yahya yang menyebut namaku dengan benar, sepertinya sebab ia bukan asli Sunda, sama sepertiku. 


Ya, orang Sunda kan sulit menyebut huruf 'f'. Dan aku merasakannya sekarang. Tapi lucu sih, makin menyempurnakan penyamaranku. 


Aku suka panggilan itu sekarang, Kang Padi. Berasa kayak tumbuh-tumbuhan.


Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menggubah lirik dan nada sendiri. Bersenandung sesuka hati sambil memikul senada gendang di tangan.


Sahuuur... Sahur-sahur


Sahuuur-sahuur... Sahuuur


Aku sebenarnya, suka bersenandung bebas. 


Tapi sebab begitu terkungkung dalam sikap dingin yang terbalut dalam wibawa dan formalitas selama ini, kegemaran ini pun jadi sangat terbatas.


 Apalagi keluarga besar lebih mendukungku menjadi pengusaha dibandingkan seniman musik. 


Yah, tentu saja. Bagi keluarga Bagaskara, tidak ada yang lebih baik dari menjadi seorang pengusaha besar.


Aku selalu menjaga kehormatan di hadapan siapapun. Semua dalam sikap yang tertata. Tidak pernah rileks.


Baru kali ini bisa bebas bersenandung seperti ini. Bahkan menggubah nada sendiri. Tidak ada yang mengenalku kan? 


Aku semakin bersemangat. Bersuara keras-keras, bersenandung. Sekalian membuang rasa mengantuk yang memang perlahan hilang seiring aku yang menikmati nada gubahanku ini.


Sahuur... sahur-sahur....


Sahur-sahur... sahuuuur....


Satu jam lagi waktu imsyak


Segera sahur... sahuur....


Di luar sana. Aku tahu. Suaraku sedang menggema kemana-mana. Ini asyik sih. 


Setelah itu, berhenti beberapa waktu, aku menikmati menu makan sahurku. Baru membangunkan sahur lagi. 


---


"Yang tadi membangunkan sahur, Kang Padi?" Tanya Pak Firman, salah satu pengurus masjid.


Aku mengangguk. Dengan sikap seorang marbot.


"Masya Allah. Ternyata merdu sekali suara Kang Padi ini ya." Pak Budi yang juga pengurus masjid menimpali.


"Iya. Saya juga baru tahu. Diam-diam ternyata. Mungkin bisa masuk list jadi imam tarawih nanti, gimana?" Kali ini Ustadz Yahya yang bicara sekaligus membuat usulan mengejutkan itu.


Aku tersengal.


Apa? Jadi imam? 


Aku mana bisa ngaji!


Semua orang mengangguk sepakat. Dan aku seketika membelalak. 


Bisa nyanyi nggak bisa ngaji! Tiba-tiba ditunjuk jadi imam lagi. Haduh!


---


Bersambung

Friday, April 11, 2025

 

(4)  MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: hamba Alloh


Ananda

Gambar hanya pelengkap

Seseorang yang baru masuk dari arah pintu dengan setelan OKU (Orang Kaya Udik). Wanita menor dengan rentetan emas di sepenuh leher, tangan, dan jari-jarinya. 

Lalu nampak membuka dompet amat tebal berisi uang, kumudian menyerahkan nominal terkecil pada seorang peminta-minta yang menengadahkan tangan di sana. 

Demi melihat pemandangan uang dan perhiasan itu, seketika aku merasakan pening luar biasa menyerang kepala.

 Juga serangan rasa mual yang mendorongku untuk muntah detik ini juga. 


Membuatku urung untuk menyerah dalam penyamaran menjadi marbot masjid ini. Aku masih terlalu stress sekali ternyata jika harus kembali berhadapan dengan uang dan kekayaan seperti itu, bahkan ratusan kali lebih besar. Tidak, aku muak.


Aku segera mengalihkan pandangan dan berpegangan pada sandaran tangga sambil memijit kepala. Sial, ini benar-benar menjadi penyakit anehku rupanya. Aku seperti sudah muak sekali melihat uang dan kekayaan. 


Untunglah tak jadi muntah sebab aku cepat mengalihkan pandangan. Dan sosok yang kudengar disebut-sebut orang-orang di luar sana sebagai Hj. Melani itu tak jadi memasuki masjid. 


"Oh, Ustadz Yahya, untung ketemu di sini. Ini saya cuma mau sedekah. Ya sedekah lumayan banyak lah buat bantu-bantu buka puasa ramadhan jama'ah di sini nanti. 100 kotak nasi. Jangan lupa nanti di kotak makannya dituliskan dengan jelas ya, Pak Ustadz... takjil ini sedekah dari Hj. Melani, begitu," ucap wanita bertutup kepala yang hanya menutup rambutnya saja itu sambil sumringah sekali. 


Dan entah apa lagi yang ia bicarakan dengan Ustadz Yahya. Aku segera menjauh sampai tak terdengar suaranya. 


Sial, orang-orang di belahan dunia manapun ternyata sama saja. Sombong dan pencitraannya. Semua harus selalu menyertakan identitas sebagai pemberi. Di kalangan konglomerat sepertiku, itu hal umum dilakukan. Membantu demi mengukuhkan nama besar dan marga keluarga. Apalagi jika ada tujuan politiknya.


Ternyata di kalangan OKU (Orang Kaya Udik) seperti wanita itu justru lebih norak caranya. Mungkin Handi benar, cara terbaik untuk melepaskan kejenuhan dan stress ku adalah dengan menyelam sepenuhnya dengan hidup dalam penyamaran di kasta ini.


Meski sungguh harus berhadapan dengan tantangan kelelahan yang meremukkan tulang-tulang. Jelas berbeda rasanya, lelah duduk di balik meja kebesaran seorang CEO dengan lelah mengepel lantai masjid seluas ini. Dan harus kulakukan setiap hari. Tapi mungkin ini sungguh lebih baik untukku sekarang. 


Aku urung menggagalkan rencana penyamaran ini.


Mengambil alat pel kering dan membersihkan lantai banjir tadi kembali. Melanjutkan pekerjaan dengan mengelapi kaca-kaca jendela. Juga menggelar sajadah panjang baru sebagaimana arahan Ustadz Yahya. 


Hingga jelang maghrib, aku baru bisa mandi. Mandi pada WC masjid yang uh... mengapa begitu tidak terawat? 


Aku mengibaskan tangan di depan hidung. Siapa yang harus membersihkan WC-WC masjid ini? 


Aku. 


Ya, aku. Ini sungguh gila bukan, bagaimana mungkin seorang tuan besar sepertiku melakukan semua ini? Hanya demi keluar dari titik jenuh yang sungguh menggila sekali. 


---


Aku selesai mandi dengan cepat. Mana betah berlama-lama mandi pada kamar mandi yang menyatu dengan WC seperti itu. Meski sudah kusiram pewangi banyak sekali. Mungkin karena belum terlalu bersih, jadi terkesan jorok. Ya, hanya karena alasan itu.


Padahal di rumah mewahku, aku bisa betah berlama-lama di kamar mandi. Berendam di bath up dengan air hangat. Dulu. Tapi itu dulu. Sebelum penyakit aneh ini menyerang. Setelah aku makin merasa mual dengan kemewahan, aku juga tak begitu nyaman dengan kemewahan kamar mandi dengan fasilitas lengkapnya.


Entah tempat mandi seperti apa yang bisa membuatku nyaman sekarang.


Aku keluar setelah kembali menggunakan tompel-tompel yang memenuhi wajahku. Juga sisiran rambut yang begitu culun, lengkap dengan pakaian tak bermerk ini. 


Suasana masjid ramai. Sebab menurut kalender, besok mulai memasuki bulan Ramadhan. Pun masih menunggu hasil keputusan pemerintah ba'da isya nanti. 


Murottal Al Qur'an sudah kunyalakan sejak setengah jam yang lalu, sesuai arahan Ustadz Yahya. 


Sebenarnya aku tak faham juga apa murottal yang kunyalakan tadi. Bahkan bacaan sholat pun aku tak faham. Hanya menuruti gerakkan orang-orang, toh aku hanya menjadi makmum. Dan, sholat? Sejak kapan aku pernah sholat?  Yah, ini juga hanya bagian dari penyamaran dan terapi mandiri yang sedang kulakukan.


Sekumpulan anak-anak dengan pakaian muslim berwarna-warni langsung tergelak begitu melihat aku lewat. 


Menunjuk-nunjuk ke arahku yang baru keluar dari kamar mandi dengan membawa pakaian kotorku. 


"Hahaha... jelek banget!"


"Hahaha... tompelan!"


"Hahaha... iya, tompelannya banyak banget!


"Hahaha... om-om tompel!"


What? 


Oh yeah, penampilanku dalam penyamaran ini nampaknya sempurna. Dan sepertinya aku harus menikmati konsekwensi dari ini semua. Menjadi ejekan semua orang. 


Ini lebih baik daripada aku menunjukkan wajah asliku dan orang-orang akan mengenali siapa aku sebenarnya.


Aku melangkah cuek melewati kumpulan anak-anak yang masih menertawakanku di sisi tangga. Untuk apa juga meladeni bocah-bocah seperti itu. Tidak ada gunanya. Aku harus fokus keluar dari titik jenuhku sendiri, itu saja.


"Astagfirullahaladzim. Adik-adik, siapa yang ngajarin menghina orang begitu? Kan kakak sudah sering bilang, jangan pernah menghina orang, siapapun. Walau cuma untuk bercanda. Minta maaf sana."


Aku menghentikan langkah. Seperti ada tarikan ghoib yang memaksaku untuk berpaling, melihat pada pemilik suara itu. 


Aku menoleh, menajamkan pendengaran tanpa membalikkan badan. Dan mendapati seseorang yang masih bicara dengan bocah-bocah di sisi tangga. Membungkuk, masih menasehati mereka semua, untuk meminta maaf, padaku.


Dia... Ananda. Benar kan namanya Ananda? Gadis yang bersama Ustadz Yahya siang tadi. 


Anak-anak itu berlarian ke arahku, usai dinasihati oleh dia. Lalu berebut mencium punggung tanganku. Meminta maaf. 


Aku gelagapan untuk beberapa saat menerima 'serangan' tiba-tiba dari bocah-bocah ini.


Dan saat mengangkat kepala usai dengan semua keriuhan para bocah yang masih mengelilingiku, pandanganku terpaku ke arahnya, yang tersenyum ke arahku. 


Seperti terhunus pedang tepat di pusat kesadaran tanpa persiapan, ada sesuatu yang terasa meletup dan berdegup tak biasa, di dalam sini. Senyumnya terasa... tulus sekali. 


Cantik.


Bocah-bocah itu selesai menciumi tanganku, lalu kembali berlarian menuju gadis berjilbab panjang dengan gamis warna senada itu.


"Sudah minta maafnya!" Teriak mereka. 


"Waktunya ngaji!" Sebagian bocah menimpali.


"Eh, sholat dulu," suara gadis itu lagi. 


"Oh iya ya. Hahahaha." Suara para bocah.


Mereka berputar arah. Masuk ke dalam masjid lewat pintu utama. Sedangkan aku masih terpaku di sini. Menatap punggung-punggung mereka. Ah, bukan, maksudku, menatap punggung Ananda. 


---


Bersambung

 

(3) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Episode, 3


Gambar hanya pelengkap

Hari Pertama Menjadi Marbot

Gadis muda berjilbab itu mendekat ke arah Ustadz Yahya. Lalu menyerahkan sebuah keresek putih berisi bungkusan nasi. 


"Ini, Ayah," ucapnya.


Ayah? Jadi itu anaknya?


Aku bisa melihatnya dari dalam sini tapi dia tak melihatku dari luar, terhalang separuh pintu dan posisiku yang tak menghadap ke arah datangnya.


Ustadz Yahya kemudian menyerahkan bungkusan itu padaku. Lalu berpamitan pergi. Setelah sekali lagi mengingatkan, untukku, mengerjakan pekerjaan di masjid besar ini. Dan aku mengangguk dengan sikap seorang marbot. 


Aku memilih duduk di depan pintu menyantap makan siang yang sangat berbeda ini. Tanpa alat makan lengkap apalagi pilihan menu-menu mewah seperti biasa. Bahkan, tanpa tidak ada walau sendok.


Aku membuka bungkusan dan menemukan nasi dengan sayuran berupa daun--entah Dau apa ini--yang direbus ditambah sambal dan telur rebus dan seiris tempe goreng serta kerupuk. Menu apa ini? Aku tidak pernah melihat menu seperti ini. Maksudku, sesederhana ini. Tapi mengapa rasanya aku sangat tertarik mencoba?


Tentu saja aku makan dengan tangan, tanpa sendok garpu seperti biasa.


Aku mengunyah. Makanan pertamaku sebagai marbot masjid. Rasanya... em, enak. Ya, sungguh ini enak. Apalagi sambalnya. Cepat sekali aku menghabiskan sebungkus nasi itu.


Selanjutnya aku segera beranjak menuju tempat diletakkannya alat-alat kebersihan yang tadi ditunjukkan Ustadz Yahya. 


Memulai pekerjaanku di tempat ini. Kumulai dengan menyapu seluruh masjid, dalam dan luar, juga di lantai dua. Ini pukul dua siang. Masjid ini cukup sepi ternyata di jam-jam begini. Atau kebetulan saja? Entahlah, aku kan nyaris tidak pernah ke masjid selama ini.


Setelah menyapu seisi masjid, aku terduduk dengan tubuh banjir keringat. Oh, Tuhan. Ternyata ini sangat melelahkan. 


Lalu melawan lelah, aku kembali bangkit, mengepel lantai seperti yang seminggu belakangan kupelajari dengan privat bersama OB pilihan Handi.


Dan tahukah, ternyata mengepel jauh lebih melelahkan. 


Hampir menyerah ketika kuingat lagi kata-kataku pada Handi, kalau aku akan menyelesaikan semua ini hingga satu bulan ke depan. Pantang bagiku melanggar apa yang pernah terucap, bahkan meski hanya terucap dari bibirku sendiri tanpa ada orang lain yang mendengar. Kata orang, aku ambisius. Hm, mungkin benar.


Aku mengelap keringat di kening dengan lengan dan melanjutkan mengepel lantai satu sampai selesai. 


Baru saja aku akan mengangkat ember berisi air kotor bekas mengepel, ketika dua anak kecil tiba-tiba masuk dari arah depan. Berlari-larian dan menendang ember berisi air kotor itu. Membuat banjir lantai yang sudah kubersihkan.


Lalu keduanya terpeleset di lantai keramik. Tak lama, muncul dua orang wanita dewasa dari luar yang langsung menyambar kedua bocah yang terbanting di atas lantai. Disusul suara pintu mobil dibanting dari arah luar dan menyusul seorang lelaki dewasa dari sana. Juga menuju pada dua bocah yang menangis kencang sekali itu. Benar-benar membuat pekak telinga. Dan melecut emosiku hingga ke ujung kepala. Bagaimana mungkin mereka membiarkan dia anak kecil itu masuk dan menendang ember pel serta mengotori lantai yang sudah kubersihkan?


Ingin kumaki detik ini juga, agar mereka menjaga anak-anak dari bertindak ceroboh seperti tadi.


Tapi belum ada satu kalimat pun keluar dari bibirku, lelaki dewasa itu menyambar bagian depan kaos yang kugunakan. 


"Hey, kalau ngepel yang benar. Sampai banjir begini, gimana anak saya nggak jatuh?! Bisa tanggungjawab kamu kalau sampai anak-anak saya geger otak?!" 


What?


"Laporin aja, Pa sama pengurus masjidnya. Jadi tukang bersih-bersih kok nggak bener banget!" Sengit wanita yang berdiri di sampingnya. Memicingkan mata penuh permusuhan ke arahku. 


Hey, nyaris aku hilang kendali. Balik membentak-bentak mereka yang tak becus menjaga anak. Dan merusuhkan pekerjaanku. Aku sudah mengepel lantai ini sejak tadi, melelahkan sekali, dan justru dikotori kembali oleh kedua bocah itu.


Atau, aku perlu mencari tahu dimana tempat kerjanya dan memberikan pelajaran pada lelaki lancang ini?


Emosiku terbakar. Nyaris saja aku melupakan statusku yang sedang menyamar ketika datang Ustadz Yahya dan dua orang lelaki muda yang segera melerai. Maksudku, menenangkan kemarahan orang-orang ini. 


"Ada apa ini?"


"Oh. Anda pengurus masjid ini?" Tanya wanita itu dengan ekspresi sombong sekali.


Ustadz Yahya mengangguk. 


"Tolong dipecat marbot ini! Kerjanya nggak becus! Masa ngepel lantai sampai banjir begini. Anak-anak saya jatuh jadinya. Keterlaluan!"


Aku meremas tangan. Seumur hidup, tidak pernah aku dihina seperti ini, sedikitpun tidak pernah. Aku selalu hidup dalam penghormatan semua orang. Untung logikaku cepat terbangun, mengingatkan, status penyamaranku sekarang. 


"Mohon bersabar, Bu, Pak. Dan tolong jangan pakai emosi. Kita bicarakan baik-baik. Ingat, ini di masjid, tempat ibadah. Tidak layak mengucapkan kata-kata yang tidak baik," ucap Ustadz Yahya dengan santun dan tegas.


Dan sukses membuat bungkam mereka. 


"Bagaimana kejadiannya? Apa betul yang disampaikan Ibu ini, Kang Fadi?" Kali ini Ustadz Yahya beralih menatapku.


Aku menarik nafas, berusaha meredakan emosi. Lalu kembali menyempurnakan peranku. 


"Tidak benar, Ustadz. Tadi saya baru selesai mengepel, lalu dua anak ini masuk, berlari-lari dan menabrak ember bekas pel saya dan terjatuh. Seharusnya saya yang marah," ucapku dengan nada dan logat seorang Kang Fadi, kasta marbot masjid. 


"Apa?! Heh kamu! Marbot belagu! Berani kamu mau marahi kami?! Nggak tahu lagi ngomong sama siapa?!"


"Jangan pakek alasan malah nyalahin anak saya kamu!"


Lagi-lagi aku dibenatak. Oleh pria dan dan wanita dewasa itu. Maka nyaris kulayangkan tinju. Urgh! Rasanya tidak tahan lagi. Dihina seperti ini. 


Untung Ustadz Yahya cepat mengambil tindakan dan meminta orang-orang tak tahu diri itu keluar. 


"Kok malah kami yang diusir sih, Ustadz? Kami cuma mau numpang ngadem di sini. Dari perjalanan jauh." Protes wanita itu lagi.


"Maaf, Bu, Pak. Kami tidak berniat mengusir. Dan tidak ada hak mengusir. Ini rumah ibadah, terbuka untuk semua orang. Tapi jika Bapak Ibu membuat keributan, maka kewajiban kami mengamankan. Jadi mohon tenang. Tadi Kang Fadi sudah menjelaskan. Atau ditanya ke anak-anak ibu sendiri. Bagaimana, Nak? Benar kalian yang menumpahkan air di ember pel tadi?"


Dan kedua anak yang masih menangis itu saling melirik, lalu mengangguk.


Huh. 


Tapi tetap saja, orangtuanya tak mau percaya. Atau sebab terlanjur malu. Lalu mereka malah pergi. Sembari mencebik ke arahku.


"Dasar marbot tompelan! Jelek aja belagu!"


Waw, aku dihina? Seorang Tuan Alfadi Edibagaskara? 


Oke, well. Ini pengalaman dan hari pertamaku menjadi marbot masjid.


Di satu sisi, ada emosi yang tersulut tentu saja. Tapi di sisi lainnya, apa mestinya aku puas sebab penyamaran ku nyaris sempurna dan membuat orang-orang percaya? Apalagi tompel-tompel ini.


"Maaf, kadang ada orang yang datang atau bahkan jamaah yang seperti itu memang. Silakan diteruskan ya, Kang," ucap Ustadz Yahya sambil memberikan kode tangan yang ditangkupkan di depan dada.


Mengulang ngepel lagi? Yang benar saja. Ya Tuhan.


Ini sangat menyebalkan. Apa begini melelahkan kehidupan tanpa kekuasaan dan uang? Apa aku perlu bertahan di sini? 


Sepertinya keputusan ini harus kufikirkan ulang. Meski aku tak pernah menjilat ludah sendiri. Namun kali ini, aku seperti ragu sekali. Demi merasakan rasa lelah di sekujur tubuh ini. Belum lagi harus menyentuh kain pel yang menjijikan ini setiap hari. Mungkin aku memang sudah mengambil keputusan gila seminggu yang lalu.


Lalu saat aku berpaling ke arah pintu, niatku urung seketika. Saat melihat kehadiran seseorang di sana. Dari arah pintu yang terbuka.


---


Bersambung