Just another free Blogger theme

Wednesday, May 28, 2025

 (16) MARBOT ITU TERNYATA CEO

Penulis: *Lea

Kebahagiaan








Sebuah panggilan halus menyapu telingaku. Seperti membangunkan. Bukan ketukan di pintu dari Abi Yahya seperti biasa. Ini seperti panggilan merdu dari bidadari surga. Sepertinya aku sedang bermimpi indah.


"Udah jam tiga. Kang, bangun yuk." Kali ini benar- benar terasa, sebab diiringi sentuhan pada lenganku.


Mimpi yang begitu nyata.


Aku tersenyum tapi malah kian rapat menutup mata. Begini mungkin keadaan di surga sesungguhnya.


"Kang...." Tubuhku digoyang seseorang.


Dan aku menggeliat sambil menyipitkan mata. Lalu yang kulihat bidadari surga sesungguhnya. Dalam balutan jilbab berwarna kusam nan sederhana. Adinda.


Raut polosnya nampak jelas di depan mata, membuat mataku segar seketika.


Bukan bermimpi, aku benar-benar dibangunkan olehnya.


Terkejut. Ini pertama kalinya aku dibangunkan olehnya.


"Yuk sahur dulu," ucapnya meneruskan. Tersenyum. Ya, dia mengawali subuh ini dengan tersenyum. Setelah dua hari yang begitu menyedihkan.


Itu membahagiakanku.


Aku mengangguk. Dalam jantung yang bertaluan dalam degub. Beranjak ke kamar mandi, kamar mandi

yang sederhana dan juga kecil sekali di rumah ini. Herannya, aku tidak risih ada di sini. Justru yang kurasakan adalah rasa nyaman. Malah aku merasa sakit kepala hebat saat ada di kamar mandi mewahku beberapa bulan ini.


Selesai gosok gigi dan cuci tangan dan muka, aku pun keluar, berniat segera berangkat ke masjid, membangunkan jamaah dari pengeras suara masjid seperti biasa.


Tapi langkahku tertahan beberapa langkah kemudian. Di dapur minimalis rumah ini, kulihat Adinda sedang menata makanan.


Makanan?


"Kang, sahur di sini sekarang atau Dii antarin ke masjid nanti dekat imsak?" Tanyanya.


Aku terdiam beberapa waktu. Memperhatikan makanan yang sudah terhidang. Nampak menarik, sepertinya masih hangat semua. Mungkin ia memasak saat aku masih tidur tadi, entah sejak pukul berapa.


Disiapkan makan olehnya?


"Sahur di sini dulu," jawabku akhirnya. Mendekat dan duduk berhadapan dengannya. Menghadapi makan sahur sederhana yang di mataku sangat terasa istimewa.


Ia mengambil piring kosong lalu mengisinya dengan nasi, tumis sayur, dan tempe goreng. Meletakkannya di hadapanku. Bersama segelas air putih hangat.


Kami makan sahur bersama.


Makanan sederhana olahannya ini enak. Ya, dia memang pandai memasak. Dia juga berjualan kue-kue yang bagiku selalu terasa enak. Bahkan juga kerap dipuji oleh para jama'ah yang berbuka di masjid, memakan-salah satunya-kue olahannya.


"Kue yang ini enak. Dinda yang buat pasti," puji Umi angkatku di beberapa kesempatan.


Ya diantara kelebihannya dia pandai memasak, masakannya enak.


Aku sangat menikmati ini. Makanan dan kebersamaan berdua dengannya ini. Rasanya belum pernah aku sahur dalam kebahagiaan seperti ini.


Sampai aku lupa, dengan kegamangan dan rasa bersalahku semalam. Tertutup sudah bersama kebahagiaan ini. Memiliki seorang istri dari wanita yang sejak awal membuatku jatuh hati.


Kami makan sambil sesekali mencuri pandang. Aku tahu, ia masih canggung makan berdua denganku. Ini juga yang pertama baginya. Dan menyenangkan sekali melihat ekspresinya seperti itu.


"Akang mau bangunin sahur orang-orang kan?" Ia mengingatkan. Mungkin sebab aku makan terlalu lama.


"Oh, ya."


Aku segera menghabiskan makananku, hampir lupa.


Dan bersegera menggosok gigi. Beranjak ke Masjid Almira Tiga, berjalan kaki saja. Lewat pagar belakang. Dekat banget kalau jalan kaki lewat sini ternyata.


Berpamitan dengan Adinda. Seperti seseorang yang sedang berpamitan berangkat kerja kepada istri barunya.


Dia mencium tanganku, untuk pertama kali. Menyempurnakan bunga-bunga yang sejak tadi menyeruak dalam dada. Seperti ini rasanya.


Aku sangat bahagia. Padahal cuma mau ke depan aja.


Tersenyum. Aku melangkah keluar, memulai hari dengan pekerjaanku, sebagai marbot masjid.


Abi Yahya dan Umi adalah orangtua angkatku sekarang. Otomatis menjadi orangtua angkat Adinda juga. Apalagi mereka memang cukup akrab sejak lama karena Abi dan Umi bersahabat sejak dulu.


Malam ini, Abi dan Umi membuat sebuah kejutan, untukku dan Adinda. Mengadakan resepsi pernikahan sederhana, untuk kami.


Ya, resepsi pernikahan itu sederhana, sederhana sekali. Usai salat tarawih berjamaah dilaksanakan di masjid.


Sejak hari meninggalnya ayah mertuaku, akad nikah kami sudah diumumkan oleh Abi. Dan malam ini dilaksanakan semacam perhelatan sederhana di masjid ini. Kata Abi, sunnah mengumumkan pernikahan. Sebagai bentuk syukur dan pemberitahuan kepada orang-orang kalau aku dan Adinda sudah menikah. Halal tinggal bersama dan tak perlu mengundang tanya jika terlihat berduaan. Menghindari fitnah. Selain juga untuk menghibur hati Adinda, itu yang kami bicarakan di hari sebelumnya.


Adinda mengenakan kebaya putih dengan riasan natural dan jilbab putih terjulur hingga ke depan dada berhias melati di kepala malam ini. Sederhana dan anggun sekali. Dia lagi-lagi membuatku terpesona.


Sepertinya ia tak pernah mengenakan riasan, jadi sedikit polesan make up membuatnya terlihat jauh berbeda. Padahal tidak menggunakan jasa MUA, hanya Umi yang meriasnya. Kebaya pernikahan itu pun, Umi yang meminjamkan.


Sebagai seorang marbot, aku harus 'berpura-pura' tidak memiliki banyak dana untuk resepsi ini. Hanya untuk santap malam semua orang, itupun bahkan dibantu oleh Abi dan Umi. Tanpa gedung acara, jasa wedding organizer, dan seluruh kemewahan pesta. Meski aku sangat mampu melakukannya. Tapi ini demi kebaikan penyamaranku.


Aku mengenakan jas putih pinjaman Abi. Dengan kopiah warna senada di kepala. Tentu saja masih dalam tataan rambut culun dan ketiga tompel yang melekat di dua pipi serta daguku. Tetap berperan menjadi lelaki cupu yang terlihat 'lucu'.


Aku dan Adinda duduk bersisian di lantai, tanpa pelaminan, diapit oleh Abi dan Umi. Menerima ucapan selamat dan doa dari para tetangga masjid yang hadir. Jama'ah sholat tarawih.


Ya, ini resepsi pernikahan yang begitu sederhana. Tapi aku sangat bahagia. Melirik Adinda berulangkali. Dia nampak anggun sekali malam ini. Ini bahkan kali pertama aku melihatnya mengenakan pakaian bagus, tidak dengan gamis dan jilbab kesehariannya yang nampak kusam warnanya. Ya, ternyata, dia memang hanya memiliki beberapa potong pakaian. Itu pun tak ada yang baru. Sepertinya baju-baju lama atau pemberian bekas orang. Istriku yang sangat sederhana kehidupannya.


Malam ini wajahnya sungguh terlihat bercahaya. Meski sempat kutangkap kaca-kaca di matanya saat teringat ayahnya yang tak mendampingi sekarang, tapi bisa kutangkap sorot kebahagiaan juga di sana. Aku menggenggam tangannya.


Sesekali, kudengar ejekan para ABG ke arahku. Kang tompel menikah dengan guru mengaji, kata mereka. Ya, memang kontras sekali. Aku yang bertompel dan cupu dengan Adinda yang nampak manis. Tapi cueki saja lah. Mereka tidak tahu saja tampang asliku sebenarnya. Berkali-kali aku bahkan ditawari menjadi artis serta cover majalah dalam wajah asliku. Hanya aku saja yang menolak, sebab fokus keluargaku adalah dunia bisnis bukan entertainment.


Lalu di antara pembicaraan orang-orang, kudengar itu, usulan untuk segera mengurus pernikahan secara resmi dalam hukum negara, di KUA.


Pernikahan kami memang sudah sah menurut agama tapi masih ilegal dalam catatan negara.


Aku mengerti. Aku pun sangat menginginkannya. Tapi aku tahu, pernikahan terdaftar secara hukum negara akan membongkar statusku sebenarnya. Aku belum siap. Maka lagi-lagi aku harus berbohong, mengatakan KTP ku hilang.


Bersabar menunda, sampai aku jujur atas ini semua. Juga setelah mendapatkan restu orangtuaku.



Kami pulang setelah resepsi sederhana itu, yang dilaksanakan hanya sekira satu jam.


Ini adalah malam keempat sejak akad dan dalam balutan pakaian seperti ini, aku tahu, ini harusnya adalah malam pertama kami.


Debar dadaku mengencang saat memasuki kamar. Duduk bersisian di sisi ranjang dengan Adinda yang masih mengenakan kebaya cantik itu. Juga jilbab dan hiasan melati yang samasekali belum dilepaskannya. Dia sungguh tipe wanitaku. Hanya dia yang berhasil membuatku sebahagia ini. Seperti lepas dari semua kejenuhan dan beban hidup dalam bayang keterkurungan.


Dan dia, satu-satunya wanita yang membuatku sungguh ingin bertahan, memperjuangkan.


Aku menyukai kesederhanaan dan kebaikan hatinya. Hal berbeda dari kebanyakan wanita di luar sana yang membuatku jatuh cinta padanya. Atau sebab di matanya, aku bisa melihat ketulusan seorang belahan jiwa.


Sungguh, kecanggungan ini menyenangkan. Aku menikmatinya. Dalam desiran hangat yang terus berpacu di dada hingga meneteskan keringat di keningku. Grogi sekali rasanya.


Aku tersenyum, menoleh ke arahnya. Dia tersenyum juga, menunduk ke arah lantai. Manis sekali.


Cukup lama menikmati semua ini dalam hening. Hingga aku menggeser tangan, menyentuh dan menggenggam jemarinya. Merasakan kehangatan desir yang menjalar.


"Adinda...." Aku selalu memulai dengan menyebut namanya.


"Dari?"


"Kamu bahagia?"


Dia diam. Lalu mengangguk dengan raut malu.


"Kenapa menangis?" Dalam senyumnya, aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca kembali.


Dia menoleh sekilas, lalu menunduk lagi.


"Cuma ingat ayah," jawabnya.


Ya, aku tahu itu.


"Apa Ayah akan menyesal bermenantu aku?"


Dia segera menggeleng.


"Aku kan hanya marbot masjid sederhana. Tompelan pula."


Seperti dugaanku, dia tidak jadi menangis. Membalas genggaman tanganku.


Kang , Jangan Ngomong Gitu. "



Kenapa ?


"Nggak boleh. Ayah nggak pernah menilai siapapun dari status dan fisiknya."


"Kalau kamu?"


"Dii?"


"Ya."


"Sama."


"Apa kamu nggak malu bersuami laki-laki kayak aku?"


Dia menggeleng cepat.


"Enggak. Orang Dii suka." Berucap cepat, lalu terdiam. Menunduk menahan malu.


Aku tersenyum. Suka?


"Sejak kapan?" Aku menoleh ke arah jendela sekarang, sambil menggigit bibir lalu mengulum senyuman. Menahan pipiku yang menghangat.


Aku memancingnya dengan pertanyaan itu dan sepertinya dia tahu. Jadi malah mengangkat bahu. Ya, apa dia juga menyukaiku sejak pandangan pertama sore itu?


Tapi dari gelagatnya aku tahu, ia tak akan mengaku. Jadi kuganti pertanyaan.


"Kenapa?" Tanyaku akhirnya. Sambil menggeser tubuh, dan menarik sebelah tangannya yang lain hingga posisi kami berhadapan. Dan bertatapan.


"Karena... Kang Padi baik," jawabnya. Masih dalam ekspresi malu yang menggemaskan itu.


"Baik? Tahu dari mana?" Aku lekat menatapnya. Meminta jawaban terjujur. Mata sendunya yang nampak bersih, memantulkan wajahku di sana.


"Dari mata Akang." Dia membalas tatapanku, menatap lekat juga, untuk pertama kali.


"Mengapa?"


"Karena mata itu, jendela jiwa kan?"


Aku mengangguk. Aku mengerti, dia juga merasakan yang kurasakan sejak awal. Kami sama-sama jatuh cinta tapi saling diam sampai aku menikahinya. Mengucap janji setia.


"Dan di matamu aku menemukan diriku, Adinda." Aku meneruskan, berbisik. Sambil menyentuh pipinya. Hangat di hati ini rasanya.


Lalu untuk pertama kali, tanganku terbimbing oleh nurani untuk melepaskan hijab yang ia kenakan. Perlahan. Hingga nampak kulihat mahkota rambut hitam bergelombang yang membuatku kembali terdiam.


Menatap lama. Lantas mengecup dahinya sambil merapalkan doa dalam hati. Bukan doa untuk melaksanakan ibadah malam pertama tapi doa agar perasaannya tak berubah apapun yang akan terjadi. Kenyataan apapun yang akan ia tahu, tentangku nanti.


Aku sungguh takut kehilangannya, wanita yang kucinta. Tapi untuk jujur pun aku butuh waktu. Ada kekhawatiran yang menggelisahkan, jika aku jujur sekarang. Lalu ia tak bisa menerima dan mengakhiri semua kebahagiaan ini.


Aku butuh waktu untuk mengakui. Mempersiapkan dirinya agar bisa menerima semua kejujuran yang akan kusampaikan. Pelan-pelan. Aku tahu, lebih dulu aku harus mengobati traumanya pada 'orang kaya' dan membuka sudut pandang dalam pola pikirnya. Tak akan bisa kupaksakan ia mengerti malam ini juga.


Aku membimbingnya untuk berbaring. Lalu berbaring juga di sisinya.


"Tidur, Adinda. Sudah malam. Semoga mimpi indah," ucapku. Menatapnya lalu mengalihkan pandangan. Menelan saliva dan aku harus memejamkan mata segera. Untuk menetralkan semua rasa yang harus kutahan sampai waktunya tiba.


Dia menatapku dalam raut bingung, aku tahu. Lalu mengangguk dan tersenyum demi melihatku yang juga tersenyum tulus padanya.


Aku mengerti, aku sungguh harus menahan diri sampai aku bisa jujur dengan semua ini. Membuktikan ketulusan. Agar ia tak merasa hanya sedang kumanfaatkan. Aku sungguh takut jika akhirnya dia merasa begitu.


Aku mencintainya dan aku menginginkannya. Dalam sahnya ikatan pernikahan untuk segala hal yang halal aku lakukan namun aku memang harus menahan diri. Supaya dia paham nanti, saya tidak main-main dengan penyamaran ini. Sama sekali tidak.


Aku justru ingin hidup selamanya dengan dia. Adinda.


Semoga nanti dia akan mengerti.



Bersambung...

Sunday, May 18, 2025

 (15) 


MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: lea


Sejarah Masjid Almira 3


Setelah itu, aku mengajaknya memandangi bulan. Sambil mengenang, ayahnya.


Setelah meyakinkan kalau dia tidak sendirian, selanjutnya aku ingin ia mengungkapkan segalanya, semua yang dia rasakan. Agar lega hatinya.


Duduk bersisian di taman kecil pada teras rumah sederhana ini. Dalam hening malam dan cahaya bulan keperakan.


Ada kecanggungan yang masih tercipta di beberapa jenak waktu. Dari dia dan dariku. Dalam debar menyenangkan yang justru membuatku kuat bertahan, sampai dia merasa nyaman dan mulai menyampaikan, isi hatinya sekarang. Semua yang memenuhi pikiran.


"Kangen banget sama Ayah." Akhirnya dia mengungkapkan. Memandang bulan, dengan mata yang kembali berkaca-kaca.


"Ayah sendirian yang ngurus Dii dari kecil, dari Dii baru lahir. Dari dulu, nggak pernah ada satu malam pun Dii lewatin tanpa Ayah. Ayah nggak pernah ninggalin Dii." Suaranya parau.


Aku menyimak. Sambil ikut memandang bulan. Lalu beberapa kali menengok ke arah wajahnya.


Dii... itu singkat panggilan namanya dan begitu ia menyebut namanya sendiri, panggilan kesayangan ayahnya dia bilang, dari kata Dinda... Adinda.


Dia menggigit bibir. Seiring jatuh setetes air mata di pipinya. Membasahkan hatiku juga. Aku bisa membayangkan itu, kehilangan seseorang yang paling berarti. Tidak akan pernah mudah.


"Rasanya masih kayak mimpi Ayah sudah pergi selamanya. Dii nggak pernah tidur sendirian. Selalu Ayah temani."


Aku masih menyimak. Walau sebenarnya ingin kukatakan, aku yang akan menemani mulai sekarang. Tapi khawatir dia belum siap mendengar itu. Jadi aku masih diam.


"Dulu Ayah marbot Masjid At Taqwa." Ia masih mengenang.


"Masjid At Taqwa?" Aku mengulang, bertanya. Sedikit bingung, bukankah nama masjid ini Masjid Almira? Apa berganti nama?


Dia mengangguk.


"Ya. Dulu di sini lokasi Masjid At Taqwa. Ayah marbot di sana. Sejak Dii belum lahir. Memang sudah bangunan lama, masjid tua. Tapi Ayah cinta banget sama masjid itu. Seluruh hidup Ayah dicurahkan untuk merawat Masjid At Taqwa. Penuh kenangan. Lalu sempat ada sengeketa tanah sama salah satu pemilik perusahaan yang ngakuin kepemilikan tanah bangunan masjid itu. Singkatnya, dulu tanah itu ternyata hanya pinjaman. Terus sama masyarakat sini dibangun masjid secara gotong-royong karena nggak ada masjid di daerah sini. Ternyata, belasan tahun kemudian, pihak pewaris dari pemilik tanah itu yang diwakilin perusahaan keluarga mereka, nuntut balik tanah ini. Dan terkahir, masjid itu dirubuhkan karena kalah di sidang, gitu kata Ayah."


Aku mengernyit. Baru mendengar cerita ini.


"Tapi waktu itu Ayah sudah bertahun-tahun jatuh sakit. Sudah nggak jadi marbot lagi. Dan Ayah benar-benar sedih waktu tahu masjid itu dirubuhkan. Ayah sampai memohon-mohon sama penanggungjawab perusahaan itu supaya nggak ngerubuhin Masjid At Taqwa. Tapi malah diusir." Adinda menutup matanya yang berair, mengenang.


"Nggak cuma Ayah, masyarakat sini juga mohon hal yang sama, tapi nggak punya kekuatan apapun buat ngelawan. Tiap hari waktu itu, Ayah mandangin gimana masjid yang dia jaga dulu dihancurkan pakai alat-alat berat sampai jadi tanah lapang. Akan dibangun mall besar, rencananya oleh pemilik tanah yang menangin sengketa tanah itu."


Aku mengepalkan tangan. Ada yang menyeruak di dada ini. Aku paling tidak bisa mendengar kesewenangan seperti ini. Bahkan aku pernah memecat seorang direksi perusahaanku yang mengambil keputusan sejahat ini juga.


"Ayah bisa jadi orang yang paling terpukul waktu itu. Tapi kita selalu nggak punya kekuatan untuk melawan orang-orang kaya kan."


Dia kembali menghapus air mata. Ada luka yang jelas terlihat saat dia menyebut kata 'orang kaya'. Abi Yahya benar, Adinda menyimpan trauma besar terhadap orang kaya. Mungkin sebab hal seperti ini yang ia lihat sejak kecil. Bahkan dari ibunya sendiri. Lalu orang kaya yang ia bilang meruntuhkan masjid paling berharga dalam hidup Ayahnya.


"Dii nggak akan ngelupain hari itu. Waktu pertama kali Dii lihat Ayah nangis. Selama hidup Dii, Dii selalu melihat Ayah yang tegar dan kuat. Sehebat apapun ujian hidup Ayah. Tapi hari itu, Dii benar-benar melihat Ayah terluka. Dan itu jadi luka Dii juga." Dia menoleh padaku.


Ya, aku melihat luka itu, di matanya.


Aku masih memandangnya. Mendengarkan. Lalu memahami, ada orang-orang yang benar-benar mempersembahkan dirinya untuk melayani rumah ibadah. Seperti Pak Adi dan Adinda. Mencintai pekerjaan yang kerap dipandang sebelah mata itu, seumur hidup.


"Kata Ayah, salah satu mimpi Ayah adalah selalu tinggal di dekat masjid. Kayak rumah ini. Benar-benar dekat sama masjid. Biar bisa tiap waktu ke rumah ibadah itu. Ketenangan yang nggak ada duanya. Impian besar Ayah. Makanya Ayah dan Dii waktu itu juga nggak bisa bayangin kalau akhirnya lokasi ini malah dibangun mall." Dia menggeleng.


"Untungnya, sesaat sebelum pondasi mall itu didirikan, ada pengusaha lain yang nyelamatin. Ngajuin banding sengketa atau gimana lah, Dii nggak terlalu faham. Pengusaha ini ngebela habis-habisan di banding pengadilan supaya perusahaan jahat tadi mau ngelepasin tanah ini, lalu membeli kembali tanah itu, pakai dana pribadinya. Cuma karena mau ngembaliin masjid yang sudah dirubuhin. Simpatinya tinggi sekali. Kita semua berterimakasih banget sama beliau sampai sekarang. Beliau ngelakuin itu cuma karena tahu betapa cintanya masyarakat di sini sama masjid yang berdiri sebelumnya. Dan lokasi ini paling strategis buat jadi lokasi masjid. Bukannya mall. Nggak ada lagi tanah lapang di sekitar sini. Jadi kalau nggak ada masjid di sini, jauh banget masjid buat semua orang."


Aku semakin tertarik mendengarkan.


"Pengusaha itu akhirnya memenangkan banding. Dan perusahaan sebelumnya mau nggak mau harus ngelepasin tanah itu. Lalu beliau membangun masjid lagi di lokasi yang sama, Masjid Almira Tiga, masjid ini." Adinda menunjuk bangunan masjid di hadapan kami sekarang. Terbit senyum tipis di bibir tipis kemerahannya.


Aku mendongak, menatap kubah masjid. Ikut tersenyum.


Sekaligus meresapi, ternyata ada manusia sebaik orang yang membela dan membangun masjid ini. Sangat salut rasanya.


"Apalagi Ayah. Ayah bahagia sekali dan selalu menaruh hormat sama Tuan Aldo. Kata Ayah, dia panutan manusia sebenarnya. Keras dalam membela orang-orang lemah."


"Tuan Aldo?" Aku mengulangi. Bertanya.


Adinda mengangguk.


"Pengusaha yang membangunkan masjid ini, untuk kita semua. Benar-benar baik. Harta kekayaannya yang nggak sia-sia. Masjid ini dibangun pakai dana pribadinya. Hanya sedikit masyarakat yang menjadi donatur. Tapi secara keseluruhan, beliau sendiri yang biayain, semuanya." Adinda tersenyum lagi saat menyebut sosok itu.


Membuatku penasaran. Aldo? Seperti tidak asing.


Aku juga tersenyum, baru menggerakkan tangan yang kupangku untuk menghapus sisa air mata di pipinya ketika ia menyebutkan nama lengkap sosok itu. Membuatku tersentak.


"Tuan Aldo Amagatta. Kata Ayah, Dii harus menghormatinya karena kemuliaan yang sudah ia lakukan buat bangun masjid ini. Ngembaliin Masjid At Taqwa yang dirubuhkan beberapa waktu sebelumnya. Jadi semua orang bisa ibadah lagi di sini, anak-anak bisa ngaji lagi." Adinda mengangkat muka, melihat padaku. Tersenyum.


Aldo Amagatta?


Ada yang menghantam alam sadarku tiba-tiba. Menghentak kuat. Seperti memutar satu memori kusut di kepalaku. Membuat tanganku bergetar detik ini. Dan aku urung menghapus sisa air mata di pipi serta kedua sudut matanya.


"Kapan kejadian itu?" Aku menatap lekat Adinda, dengan tangan bergetar dan hati yang gentar.


“Hmm? Tiga tahun lalu.” Dia menjawab.


Dan detik ini juga aku merasa seperti dihantam oleh semburan kekacauan yang amat menakutkan.


Tiga tahun yang lalu? Berarti....


Aku menelan saliva dan tak lagi meneruskan bicara atau bertanya. Jantungku berdetak kuat. Terdiam.


Aku memastikan dia sudah tertidur lelap. Baru beranjak pelan membuka handphoneku. Melakukan pengecekan terhadap file-file lama. Tentang rekam kejadian tiga tahun lalu.


"Tuan Alfadi Edibagaskara. Putra mahkota keluarga Edibagaskara. Pemain baru? Dan mendapatkan kekuasaan baru? Atas nama perusahaan ini." Hari itu, seorang pria berwajah tegas menghampiriku di ruang kerjaku. Mengenakan setelan khas seorang pimpinan besar.


Aldo Amagatta. Sosok tesohor yang berkali mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha sukses tanah air. Wajahnya sangat tidak asing. Bahkan aku menjadi pengagumnya sejak kuliah meski belum pernah bertemu secara langsung.


Ya, aku kerap membaca profil dan sepak terjangnya di majalah-majalah bisnis. Sangat menginspirasi. Usianya baru 32 tahun tapi sudah mengantongi segudang prestasi hebat.


Suatu kehormatan ia menghampiriku untuk pertama kali seperti ini. Aku malah sudah lama bermimpi untuk bisa bertemu langsung dengannya.


Tapi mengapa dia menghampiriku dengan raut dan ucap sesinis itu?


Dia memajukan tubuh di hadapan mejaku. Dengan sorot mata tajam menyemburkan kemarahan. Sambil mendorong sebuah map coklat ke muka meja yang kuhadapi.


"Apa sebesar itu ambisi Anda untuk diakui secara cepat? Walau dengan mengorbankan nurani?!" Kalimatnya menghentakku.


Aku masih terdiam. Belum mengerti.


"Aku mewakili masyarakat sekitar lokasi rencana pembangunan mall dari proyek perusahaan Anda.


Mengajukan banding ke pengadilan." Dia menggeleng. Tegas menatapku. "Kuharap Anda masih memiliki hati. Setelah merobohkan masjid yang dibela mereka mati-matian. Setidaknya, Anda bisa menahan diri untuk tidak justru membangun pusat perbelanjaan di sana. Fahami kondisi setempat sebelum mengambil keputusan hebat, anak muda! Tidak semua hal bisa dinilai dengan uang!"


Lalu ia berbalik dan pergi, keluar dari ruanganku.


Meninggalkanku yang terdiam tidak faham. Cepat membuka map coklat yang ditinggalkannya.


Apa ini?


Pengajuan keberatan dari masyarakat setempat lokasi rencana pembangunan proyek mall dari perusahaan ini?


Ya, aku tahu. Proyek ini sedang berjalan. Aku yang menandatangani berkas-berkas persetujuannya. Atas desakan penanggungjawab yang ditugaskan Papi 'membimbingku' sebagai CEO baru di perusahaan ini.


"Anda bisa segera menandatangani ini, Pak Alfa," ucapnya dua bulan sebelumnya. Di hari awal aku menjalankan tugas sebagai pimpinan tertinggi perusahaan ini. Selulus kuliahku dan saat Papi jatuh sakit.


"Apa ini?"


"Berkas persetujuan proyek terbesar kita tahun ini, Pak Alfa. Akan segera kita laksanakan setelah persetujuan Anda. Semua sudah dipertimbangkan dan diselesaikan. Hanya butuh tanda tangan Anda sebagai finalnya."


Aku membaca berkas dengan teliti. Proyek pembangunan mall di lokasi tanah warisan keluargaku, almarhum Eyang Edibagaskara.


"Di sini tertulis, tanah itu dipinjamkan dan digunakan oleh masyarakat sekitarnya. Dibangun masjid? Artinya akan ada penggusuran?" Aku mengernyit keberatan.


"Ya, benar sekali, Pak. Tapi tenang saja. Kita sudah melakukan dialog damai. Lagipula itu sudah masjid tua yang nyaris tidak digunakan lagi oleh masyarakat di sana. Malah mereka mendukung rencana kita karena pasti akan meningkatkan taraf hidup mereka juga."


"Dimana berkas persetujuan dari masyarakat pengguna lahan?" Aku kembali harus memastikan. Agar tidak salah mengambil keputusan. Walau Papi sudah menjelaskan kalau Pak Pranata akan menjadi 'mentorku' selama masa beradaptasi dengan jabatan baruku di perusahaan ini.


"Oh, ini, Pak. Sudah lengkap. Tinggal kita eksekusi." Ia menunjukkan berkas-berkas dibubuhi tanda tangan persetujuan dan dukungan dari masyarakat sekitar lokasi itu. Ternyata memang sudah disiapkan.


Tapi aku tidak tahu, apakah berkas ini asli suara hati masyarakat di sana atau ulah oknum tertentu yang memiliki kepentingan saja? Aku harus tahu secara mendetail.


Aku mengangguk. Menutup pulpen. Urung menandatangani.


"Baik. Saya akan turun ke lokasi dulu," ucapku hendak menutup berkas di hadapan.



"Oh tidak perlu, Pak Alfa." Ia menahanku.


"Kenapa?"


"Semua sudah beres. Lagi pula, masih banyak yang harus Anda kerjakan. Proyek ini bagian tanggungjawab saya, Pak."


Alasan-alasan kuat soal 'beradaptasi' dan deretan tugas lain yang harus kuselesaikan, mencegahku untuk turun ke lokasi proyek itu.


Aku merasa sangsi tapi instruksi Papi justru memaksaku untuk percaya sepenuhnya. Mempercayakan apapun yang dikatakan Pak Pranata.


Ya, aku akhirnya percaya. Memuluskan proyek perusahaan. Hanya membubuhkan tandatangan dan menyerahkan eksekusi pada Pak Pranata sepenuhnya, seperti yang ia katakan. Karena dia menjadi orang kepercayaan Papi selama ini. Dan aku pun masih mempelajari segalanya.


Aku sungguh tidak tahu, semua berkas persetujuan yang ia tunjukkan hanya rekayasa. Ya, semua bisa dimanipulasi demi terlaksananya proyek besar itu.


"Jika proyek ini berjalan mulus, perusahaan kita akan mendapatkan keuntungan sangat besar, Pak." Ia mengangguk puas sambil berlalu setelah kutandatangani berkas itu.


Sesuatu yang belum begitu kufahami. Aku hanya percaya padanya. Meski secara hukum, namaku yang tertera, sebagai penanggungjawab utama.


Aku sungguh tidak tahu, kebusukan dan pembohongan yang dilakukan Pak Pranata. Demi ambisinya atas proyek itu. Mega proyek perusahaan kami.


Aku meremas tangan tuntas membaca semua kenyataan, dari apa yang ditunjukkan sosok tegas yang menghampiriku, Aldo Amagatta. Dua bulan kemudian.


Segera aku menekan tombol panggilan pada seseorang yang paling bertanggungjawab atas proyek ini. Dan membohongiku atas ini semua.


"Tuan Pranata, Anda dipecat mulai hari ini. Secara tidak hormat!"


Aku memandang sosok di hadapanku dengan suara menekan. Menahan buncah kemarahan atas kebohongan yang dia lakukan, atas namaku.


Aku melepaskan tanah sengketa tanpa perlawanan. Setelah itu aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh seseorang yang sebenarnya kukagumi itu, Aldo Amagatta. Terhadap tanah yang mati-matian dibelanya.


Ternyata inilah yang dia lakukan, membangun kembali masjid di lokasi ini. Dan aku yang kini sedang melakukan penyamaran, sebagai marbot di tempat yang sama.


Ya, inilah tanah yang dibicarakan Adinda.


Da secara hukum, aku adalah pelaku yang melakukan penggusuran terhadap Masjid At Taqwa, yang sangat melukai Pak Adi dan Adinda.


Ya, Tuhan, kenapa bisa begini? Bagaimana aku menjelaskan semua ini?


Aku meremas batok kepala. Memandanginya yang terlelap. Cantik. Dan teduh sekali, wajahnya. Aku benar-benar jatuh cinta padanya.


Bagaimana jika semuanya terbongkar? Apa kamu akan percaya padaku, Adinda?


Bersambung ...16

Wednesday, May 14, 2025

 

(14) CERPEN MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea

Perkenalan Pertama

Esoknya, tepat di hari Jumat, proses pemakaman Pak Adi dilaksanakan.


Banyak sekali pelayat yang datang, mendoakan. Nampaknya, walau hanya mantan marbot masjid yang tergolong orang biasa bahkan miskin pula, tapi keberadaan Pak Adi sangat membekas dan teramat berarti di hati orang-orang sekitarnya. Ini sangat mengesankan bagiku.


Tak hanya masyarakat biasa, beberapa pejabat pun tampak hadir. Memberikan penghormatan terakhirku.


Orang-orang yang datang bercerita tentang keutamaan almarhum semasa hidupnya. Segala sesuatu yang membuat hatiku bergetar.


Maka di sini aku mengerti, kemuliaan sesungguhnya seorang manusia, bisa kita lihat di akhir hidupnya, seperti ini.


Aku mengikuti semua proses, bersama Abi Yahya. Bahkan untuk pertama kali aku terlibat memandikan hingga menguburkan jenazah.


Hatiku bergetar hebat. Ini pengalaman pertama dalam semua proses paling menegangkan yang kualami seumur hidup.


Ya, bayangkan, aku, seorang CEO dan putra mahkota keluarga bangsawan Edibagaskara, kini memandikan, menyolatkan, bahkan menandu jenazah, ayah mertuaku.


Aku juga turun ke lubang kuburan, menyambut jenazah, atas arahan Abi Yahya. Masuk ke lubang ini, tempat peristirahatan terakhir. Menyaksikan semuanya, ini seperti de javu dari sebuah kehidupan singkat di kepalaku. Saat aku yang menjadi mayat itu.


Yaa Robb. Apa ini? Teguran kematian? Sungguh tidak pernah aku merasakan ketakutan dan rasa lemah seperti ini.


Mati dan dikuburkan di dalam tanah, sendirian. Dalam himpitan gelap tanpa teman.


Mataku basah. Entah, ini semua seperti membawa titik sadar paling hebat di dua puluh lima tahun kehidupanku. Aku pun pasti akan mati. Dan tidak berdaya seperti mayat ini. Meninggalkan segalanya. Harta, tahta, dan apapun yang selama ini kurasa sebagai 'milikku'.


Abi menepuk pundakku. Sekali lagi, memberikan perintah yang tak bisa kutolak sedikitpun. Memintaku untuk mengumandangkan adzan bagi mayit Pak Adi.


Aku menarik suara dengan nafas yang tercekat di awal. Lalu memulai dengan suara parau. Kemudian beradzan pertama kali. Ya, pertama kali. Aku tidak pernah adzan, bahkan di masjid selama menjadi marbot.


Ini yang pertama.


Aku menghafal semua lafalnya. Mengumandangkan dengan penghayatan terdalamku. Dalam bayangan kematian. Begitu kuresapi.


Sampai penguburan selesai.


Kudengar bisik-bisik itu. Dari orang-orang yang turut mengantarkan ke kuburan.


"Itu Kang Padi yang marbot masjid itu? Bagus ya suaranya, merdu."


"Iya, kan yang bangunin tiap sahur juga. Khas banget."


“Kenapa dia yang mengumandangkan azan?”


"Katanya udah nikah sama anak almarhum Pak Adi tadi malam, sebelum Pak Adi meninggal."


"Oh ya? Yang benar? Sama Dinda?"


"Iya. Mungkin nggak lama lagi bakal diumumin."


Aku mendengar, bisik-bisik halus itu dalam kesadaran yang merayapi perlahan.


Menikahi putri Pak Adi. Ya, aku telah menikahi Adinda. Dia, istriku sekarang.



Aku masih berada di tempat yang sama. Jongkok menemani Adinda yang terus memusut kepala nisan bertuliskan nama Pak Adi. Dengan mata basah.


Hingga orang-orang pergi satu persatu. Dan habis semua, tersisa kami berdua saja.


Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Hanya menemani dia di sini. Seorang wanita yang bahkan belum begitu kukenal. Malah sejak semalam aku dan dia belum bicara apapun, tidak ada tegur sapa. Aku hanya mengamatinya yang mengusap air mata dalam diam.


Waktu berjalan dalam hening. Kuburan ini terletak di area perbukitan.


Sesekali, angin berhembus cukup kencang. Menjatuhkan daun- daun kecoklatan dari pohon di sekitar.


Sepi. Sehelai daun jatuh di atas kepala Adinda.


Aku mengambilnya dari sana. Dia tersadar, menoleh ke arahku. Ya, sejak tadi ia seperti tak menyadari kalau sedang kutemani. Sibuk dengan kesedihannya sendiri. Fokus menatap pada nisan bertulis nama ayahnya.


Aku tahu dia sangat kehilangan. Kata Abi, hanya Pak Adi satu- satunya keluarganya. Ibunya jelas telah membuangnya dan Pak Adi sejak dulu juga tidak lagi memiliki keluarga.


Aku terdiam saat pandangannya menumbuk korneaku. Urung kuturunkan sebelah tanganku yang menyentuh daun kering di pucuk kepalanya.


Untuk pertama kali menatap wajahnya sejelas dan sedekat ini. Aku tak berkedip. Menyaksikan wajah teduhnya yang sedang bersedih sebesar ini. Dalam pandangan mata syahdu yang sejak awal begitu menghipnotisku.


Adinda


Aku berkaca di matanya yang sedang basah. Melihat diriku di dalam dirinya. Rasanya masih tak percaya kalau dia sudah kuhalalkan semalam. Menjadi istriku.


Ada debar yang kian besar saat mengamati sepotong wajah yang sejajar dengan wajahku kini.


Ini aneh sekali. Desiran tak biasa yang mendegubkan jantungku sejak awal melihatnya. Wanita sederhana ini. Aku jatuh cinta sejak awal mula melihatnya, pada pandangan pertama. Dan detik ini benar-benar meresapi rasa yang nyata atas perasaan yang tak bisa kukendalikan.


Adinda, kenapa begitu mempesona? Padahal sangat sederhana.


Sepasang mata syahdunya mengerjap. Dan itu menyadarkanku dari menatapnya begitu lama. Sepertinya, dia juga baru sadar. Melepaskan diri dari tatapan lekatku.


Hangat menjalari hati ini.


Aku menyingkirkan daun dari kepalanya. Lalu menurunkan tangan, mengusap air mata dari kedua pipinya. Rasanya, ah... sulit sekali kugambarkan rasanya. Pertama kali menyentuh wajahnya.


Aku bersedih melihat dia bersedih. Tapi tak bisa kuingkari ada rasa bahagia bisa menemaninya, seperti ini.


Lalu aku meremasi jemariku sendiri sambil beranjak berdiri. Baru kali ini merasa sangat serba salah seperti ini. Sungkan tapi ingin. Ini membingungkan. Tapi juga aku harus membawanya kembali. Sudah terlalu lama di sini.


Hati-hati kuulurkan tangan hingga menggapai jemarinya. Lalu menariknya perlahan. Ia mendongak dan aku sebisa mungkin mengatur ekspresi wajahku yang pasti memerah, grogi sekali memulai seperti ini. Meski ia seperti tak memahami apapun sekarang, kaku dalam pikirannya sendiri.


Sampai dia berdiri dan aku membimbingnya melangkah, pulang.


Pulang. Bukan ke sepetak kamarku di sisi belakang Masjid Almira Tiga. Ya, rupanya rumah Adinda sangat dekat dengan masjid tempatku bertugas, Kata Abi, biasanya Adinda ke masjid berjalan kaki saja, lewat pagar belakang. Dia baru menggunakan sepeda jika perjalanan cukup jauh, ke pasar atau mengantarkan pesanan kue-kue.


Tapi sejak ada aku, mengisi kamar khusus marbot yang posisinya persis di sudut belakang masjid juga, ia memutar jalan cukup jauh jika akan ke masjid. Makanya bersepeda dan masuk lewat gerbang depan.


Dia menghindari bertemu denganku? Ah, ya, kurang lebih begitu. Abi menyampaikan alasan sederhana yang bisa jelas terbaca meski ia tak mengatakannya. Jika ia masuk lewat pagar belakang yang cukup sepi selama ini, akan besar kemungkinan berpapasan denganku, di tempat sepi itu. Sedangkan marbot asli masjid ini, meninggali sebuah rumah sederhana dan lebih besar dari kamar yang kutempati bersama istri dan anaknya. Berada di sisi kanan masjid. Aku tidak meninggali rumah itu, diberikan tempat tinggal kamar itu karena aku di sini hanya untuk menggantikan sementara, selama satu bulan.


Ya, jadi sejak awal dia menghindari bertemu dengan seorang pemuda, aku. Semenjaga itu terhadap kehormatannya sendiri. Kata Abi Yahya, Adinda memang sangat menjaga dirinya dari interaksi dengan kaum pria.


Bagiku itu istimewa. Dan kini akulah pria beruntung yang menemaninya. Bahkan tinggal di rumah yang sama, walau ia sepertinya belum begitu menyadari kehadiranku, masih larut dalam sedihnya sendiri. Aku tak mengganggu, memberinya waktu.


Ya, aku ada di sini sekarang, rumah peninggalan Pak Adi yang selama ini ditinggalinya dengan Adinda. Sebuah rumah kayu yang sangat sederhana. Bahkan terlihat sangat tua.


Minimalis dan lapang. Sedikit sekali perabotan di rumah ini. Bahkan kulihat saat ia membuka lemari, juga begitu lapang. Sepertinya hanya ada beberapa potong pakaian di sana.


Rumah ini walaupun kecil dan terkesan tua, namun terasa lega dan sejuk berada di dalamnya. Ya, lega, sangat lega. Adem merasakan auranya.


Di ruang tamu bahkan tidak ada satupun meja maupun kursi. Hanya ruangan kosong dengan satu pot bunga di pojok sudutnya. Ditambah sebuah kaligrafi indah berbingkai unik

yang dipasang pada salah satu sisi dinding. Ya, memang terlihat unik dan indah. Itu saja.


Lalu satu kamar tidur dan dapur serta kamar mandi. Rapi dan tertata lapang sebab begitu sedikitnya isi rumah ini. Kalau kuperkirakan, ukuran seluruh rumah ini hanya 4 x 4 cm. Kubus.


Aku memandang sekitar. Sambil menghirup kebetahan yang mengalir di ujung saraf kesadaran. Ya, rasanya nyaman sekali ada di sini.


Selama ini aku selalu berada di ruangan-ruangan luas. Kamar mewahku yang bahkan bisa dipakai bermain futsal. Ruangan kerjaku yang bahkan jauh lebih luas dari seluruh rumah ini, kamar-kamar hotel serba luas juga yang seperti tempat asing mengurungku, juga rumah megah bertingkat-tingkat yang selama ini kutinggali.


Berada di rumah kayu minimalis dan sangat sederhana ini, rasanya berbeda sekali.


Aku sepertinya akan betah sekali ada di sini.


Aku menemani Adinda melewati kesedihan dan kehilangan terbesar di hidupnya. Meski aku tahu, masih seperti mimpi ia menerima seorang pria selain ayahnya di rumah ini. Apalagi, selama ini mereka hanya tinggal berdua saja. Tidak pernah ada orang lain.


Kecanggungan yang tercipta. Tidak hanya dirasakannya. Rasa yang jelas kualami juga. Semua ini masih terasa asing bagiku,


tentu saja.


Aku berdiri di pintu kamar. Mengamati dirinya yang sedang memusut bantal dan tempat tidur yang biasa ditiduri ayahnya, mungkin. Masih jelas terlihat kesedihan di mata sendunya itu.


Satu hari, dua hari. Ia masih melamun sendirian. Dan aku hanya mengamati dalam diam. Di hari ketiga, kurasa tiba waktuku untuk menutup kenangan, tentang ayahnya.



Melangkah masuk, aku menghampirinya. Memulai kebersamaan.


"Adinda." Aku menyebut namanya. Tepat setelah duduk di sisinya.


Dia berbalik. Dengan mata basah.


Mengerjap. Masih terlalu asing aku baginya.


Meyakinkan hati, kutarik dua tangannya yang terasa dingin. Bahkan gemetar ketika kulit kami bersentuhan. Aku tahu, ia lebih 'sadar' sekarang, dibanding saat aku menarik tangannya saat di pemakaman. Sangat terasa, desir berbedanya. Tangannya yang gemetar, tidak mematung seperti pertama kali kusentuh tangannya ini.


Dalam genggaman tanganku, bisa kurasakan kecanggungan yang tercipta. Dari sikap malunya, mungkin. Menunduk saat kutatap lekat.


Aku tersenyum. Dia sudah menyadari sepenuhnya, kehadiranku. Waktunya aku bilang, dia tidak sendirian.


Ini seperti mimpi.


“Adinda… bisakah kita bertemu?” tanyaku, sebagai seorang pemuda yang belum pernah bertemu langsung dengannya.


Apakah ini pertanyaan yang tepat untuk memulai?


Entahlah. Yang kutahu, salah satu cara terbaik mengobati kesedihan seseorang adalah dengan mengalihkan fokusnya. seperti itu.


Dia mengangkat wajahnya. Memalukan, aku tahu.


"Kang Padi?" Pelan dia menyebut namaku.


Aku tersenyum lagi. Dia benar-benar sudah menyadari kehadiranku.


Kami belum pernah berkenalan secara langsung. Aku hanya kebetulan benar menyebut namanya hari itu, Adinda, setelah salah menyebut Ananda. Dan dia tahu namaku sebab semua pengurus masjid sering menyebut-nyebut namaku, Kang Padi sebagai marbot yang bertanggungjawab terhadap berbagai keperluan masjid. Ya, hampir semua jamaah akhirnya mengenalku tanpa berkenalan.


Kang Padi.



Kang Padi.



Tersebut selalu namaku saat dibutuhkan. Menanyakan kunci perpustakaan masjid. Menanyakan masalah pada WC masjid. Menanyakan lantai yang kotor. Menanyakan keberadaan microfon. Menanyakan saat lampu masjid telat dihidupkan. Dan seterusnya.


"Kamu kenal aku?"


"Ya?" Dia nampak bingung. Memang itu tujuanku.


"Aku bukan Kang Padi," ucapku lagi.


Dia semakin mengernyit. Aku terus berusaha mengambil alih fokusnya.


"Hah?"


"Aku... Kanda."


Dia membalas tatapanku. Menarik diri, mundur, ingin menarik tangannya. Apa itu, dia takut denganku?


Aku menahan tangannya. Lalu mengajaknya berdiri. Keluar menuju teras yang sepi, menghadap ke Masjid Almira Tiga.


Malam itu cerah. Kubah masjid tampak indah disinari cahaya keperakan. Dan lautan bintang tersebar di langit.


Aku belum melepaskan tangannya. Lalu menunjuk ke langit di atas.


"Itu." Aku menunjuk bulan.


"Bulan?" Dia mengikuti arah yang kutunjuk.


Aku mengangguk.


"Kenapa?" Sambungnya. Nampak tak mengerti, penuh tanya. Rautnya, aku suka melihatnya begitu. Polos sekali. Artinya rencanaku bisa berjalan dengan baik sekarang.


"Bulan itu, jauh tapi ada, cahayanya terasa sampai di sini." Aku memulai, yang ingin kukatakan.


Dia mendengarkan. Melihat padaku. Aku suka dilihatnya.


"Benar?" Aku bertanya sekarang.


Dia diam, lalu ragu menganggukkan kepala.


"Ayahmu juga. Ada, hanya jauh dan tak terjangkau saja sekarang." Aku mulai masuk ke inti pembicaraan.


Dia masih diam.


"Jangan sedih lagi. Ayahmu nggak pergi kemanapun. Hanya berpindah tempat. Tidak hilang." Aku berucap dengan menatapnya lekat. Mengunci arah pandangnya.


"Ayahmu masih ada, akan selalu menjaga. Jangan pernah takut ditinggal sendirian. Cintanya untuk putrinya... dititipkan di sini." Aku menyentuhkan telapak tangannya ke dadaku. Dadaku yang berdegup kencang sekarang. Ya, mana mungkin tidak berdegup kencang sebab aku memang memendam perasaan padanya sejak awal.


Kami berdiri berhadapan. Aku menggenggam tangannya yang menyentuh tepat di permukaan dadaku. Menekan.


"Ijinkan aku menggantikan ayahmu, Adinda," ucapku sambil merunduk. Mendekat tepat di hadapan wajahnya. Hingga bisa kulihat jelas sekali rupa teduhnya yang seketika merona.


Barangkali dia lupa dengan kesedihannya untuk beberapa saat ini, di detik-detik aku mengunci dirinya dalam semua ini.


Aku sedang berusaha membuatnya jatuh cinta.


"Boleh?" aku kembali bertanya. Tersenyum, untuk memancing senyumnya yang hilang beberapa hari ini.


Dia... akhirnya ikut tersenyum. Menunduk malu.


Berhasil.


Lalu mengangguk.



Bersambung ...15

Thursday, May 8, 2025

 (13)  MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea



Akad Mendadak


Bukan tanpa alasan Adinda menerimaku. Tapi sebab melihat kesungguhanku belajar mengaji dan agama. Meski ia tahu, aku baru memulainya.


Kata Abi, memang sosok yang mau terus belajar lebih menenangkan dipilih sebagai pasangan, dibanding yang pintar tapi berhenti belajar lalu merasa cukup dan bersombong dengan ilmu yang sudah ada. Sebab hidup ini sejatinya, adalah proses belajar selamanya. 


Itu salah satu alasannya. Alasan lainnya, tentu saja sebab aku menunjukkan kesungguhan dalam kesederhanaan ini. Atau sebab aku sama seperti ayahnya dulu, seorang marbot masjid. Atau karena dia juga menyukaiku. Em, benarkah?


Entahlah alasan mana yang lebih menguatkan keputusannya. Tapi yang kutahu, dia sudah menerimaku. Dan aku belum jujur sepenuhnya padanya, soal muasal dan kehidupan asliku.


Aku berfikir serius di dalam kamar saat sendirian. Cara dan waktu untuk menyampaikan yang sebenarnya. Pada Adinda, juga pada Mami dan Papi. Kebohongan ternyata tak pernah membuatku merasa tenang.


Aku duduk di tepi kasur tipis pada kamar sederhana ini. Mencopot tompel di wajahku dengan cairan khusus. Ya, tidak bisa asal dibuka dan dipasang sembarangan. Sebab bahan tompel ini memang dirancang untuk terlihat benar-benar seperti sungguhan. Maka memakainya menggunakan cairan khusus, begitu pun saat membukanya. Ribet sih, tapi terlihat sangat nyata. 


Aku baru tahu belakangan, ternyata kulit yang tidak terkena air wudhu, maka tidak sah wudhunya. Jadi aku selalu berwudhu dulu, baru memasang tompel dan menjaga wudhu sampai aku bisa berwudhu lagi, sembunyi-sembunyi. Huh, ternyata tompel-tompel ini menyusahkan. 


Tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak dipakai, bisa-bisa aku dikenali oleh jama'ah yang mungkin pernah melihatku, di majalah-majalah bisnis misalnya. Belum lagi jika ada karyawanku yang shomat di sini. Ya, beberapa memang kutemukan, sholat ddan berbuka puasa di masjid ini. Untung mereka tak mengenaliku. Huh.


Baru satu tompel di pipi kananku yang kulepas, masih ada dua tompel lagi--satu di pipi kiri, dan satu di bawah dagu--ketika pintu kamarku terdengar diketuk keras dari luar. 


Siapa sih? 


Aduh. Buru-buru aku kembali mengoleskan cairan penempel, lalu memasang tompel yang baru saja kulepas ke pipi kanan.


Lalu membuka pintu. Ternyata Abi. Kenapa mencariku malam-malam begini? Ini sudah pukul setengah dua belas malam. Tarawih sudah selesai. Semua jama'ah sudah pulang. Masjid kosong. Aku yang terakhir mengunci pintu.


"Ya, Abi?" Aku melebarkan pintu kamar agar Abi bisa masuk.


"Tolong bantu Abi cari sopir ya!"


Sopir? 


Aku belum mengerti. Tapi dengan cepat mengunci pintu kamar, mengikuti Abi yang sudah berbalik dengan tergesa. 


Setengah berlari Abi menyusuri lorong. Aku mengikuti. Sambil mendengarkannya bicara, memberikan instruksi.


"Ada ambulans, fasilitas masjid ini, Nak. Tapi sopirnya sedang tidak ada di tempat. Kita 

butuh orang untuk membawa ambulans itu. Tidak ada yang bisa mengendarai mobil di sini." Abi memberi penjelasan singkat. 


Oh, akan membawa orang sakit. Ya, aku mengerti. 


Siapa yang sedang sakit dan butuh dibawa ke rumah sakit segera? Sepertinya cukup parah sebab wajah Abi Yahya terlihat sangat panik begini.


Aku masih mengikuti langkah cepat Abi. Sampai tiba di teras masjid dimana sudah ada yang menunggu kami ternyata. Adinda bersama seorang lelaki tua yang nampak menahan kesakitan hebat di dadanya.


Nafas lelaki itu terdengar berat, terengah-engah. Ayahnya, itu ayah Adinda. Pak Adi. 


Gadis itu nampak sembab, walau tetap tegar memangku ayahnya, aku tahu ia sangat khawatir sekali. Begitu nampak dari ekspresi wajahnya.


"Cepat, Nak Fadi. Cari orang yang bisa menyetir mobil. Kita butuh membawa Adi ke rumah sakit segera!" Abi Yahya menyadarkanku.


Ini mendesak. Tidak bisa menunggu.


Aku segera mengambil kunci mobil dari Abi Yahya kemudian melompat menyalakan mesin ambulans. Lalu kembali dan membopong tubuh tua Pak Adi, masuk ke dalam.


"Nak...." Abi Yahya memanggilku. Mempertanyakan siapa yang akan membawa ambulans, aku tahu. 


"Aku yang bawa, Bi!" Ucapku cepat. Lalu segera masuk ke balik kemudi. Abi Yahya segera membaca situasi. Mengikuti masuk bersama Adinda. 


Kulajukan mobil ambulans dengan cepat, tentu saja dalam kendali terbaikku, menuju rumah sakit. 


Tiba dan aku segera turun, membuka pintu belakang lalu bersama Abi Yahya membawa Pak Adi masuk ke dalam untuk segera mendapat tindakan. 


Tubuh tua yang sudah nampak sangat lemah. Dalam nafas yang kian terengah-engah. Dan bisa kulihat bekas muntahan darah, di bibirnya. 


Adinda ikut berlari, mengikuti di belakang kami. Dalam derai air mata yang berjatuhan di pipinya. Aku tahu, dia sangat sedih sekali. 


Aku juga sedih, melihatnya begitu. Semoga ayahnya bisa mendapatkan pertolongan segera.


---


Pak Adi sedang ditindak di dalam sebuah ruangan. Kami bertiga, aku, Abi Yahya, dan Adinda menunggu di luar. 


Berkali-kali aku menoleh pada gadis itu. Dia yang sejak tadi hanya diam. Mengatupkan bibirnya dengan rapat. Aku tahu, dia sedang berusaha terlihat sangat tegar dengan diam seperti itu. Sebab jika bicara, mungkin pecahan tangis dan isakan keras yang akan terdengar. Maka ia memilih untuk mengunci mulutnya rapat-rapat, sejak di masjid tadi. 


Berdiri di depan pintu ruang tindakan sambil meremasi tangan dan sesekali menghapusi air mata yang jatuh dari mata sendunya. Bisa jelas kubaca, besar kekhawatiran yang meliputinya.


Sedih banget lihatnya. Walau justru, dalam ekspresi seperti itu, dia malah terlihat semakin mempesonaku. Aku menyukai gadis berhati lembut seperti itu. Ah, kenapa perasaanku ini, makin tidak bisa dikendalikan. Bahkan dalam kondisi seperti ini.


Aku kembali menunduk. Menunggu. 


Aku berdiri di depan tiang dalam jarak sekitar dua meter dari sana, bersama Abi Yahya. Ditemani hening yang menegangkan kami semua. 


Ini malam Jumat di bulan Ramadhan. Gerimis turun perlahan dari langit. Membasahi ke ujung teras, di batas tiang tempat aku bersandar. 


Aku mundur sedikit, menggeser tubuh agar tidak terkena tempias hujan. 


Abi Yahya melakukan hal yang sama. Sejenak memecah keheningan dan ketegangan, Abi mulai membuka pembicaraan. Padaku dan pada Adinda. Mungkin juga untuk menenangkan gadis itu. 


"Insya Allah semua akan baik-baik saja. Pelayanan rumah sakit ini terkenal cepat dan lengkap," ucap Abi, menatap Adinda yang tidak mau melepaskan pandangan dari pintu ruang tindakan.


Gadis itu berbalik sejenak, sadar sedang diajak bicara oleh Abi. Lalu samar mengangguk. Masih tidak bicara apa-apa.


Sekilas tatapan kami bertemu. Bisa kulihat kaca-kaca di matanya. Kemudian ia cepat menunduk sambil menggigit bibirnya sendiri.


Aku hanya diam. Meski sudah menyatakan niatan untuk menghalalkannya dan ia pun sudah menerima, tapi kata Abi, interaksi tetap harus dijaga sampai tiba saat halal sebenarnya. 


Aku mengerti. Justru terasa semakin kaku dibanding sebelum pernyataan soal niat mempersuntingnya itu. Rasanya ada buncah malu dan debar yang semakin kencang setelah jawaban darinya kuterima. 


Dia sudah tahu kalau aku memiliki rasa, untuknya. Dan kurasa, dia juga sama, makanya dia mau menerima. Jika kuperistri dalam waktu yang harusnya tak lama lagi. Ya, tidak boleh terlalu lama kata Abi. Aku harus memberikan kejelasan waktu, kapan akan meminang dia secara resmi.


Sesungguhnya, aku ingin secepatnya. Karena sulit sekali mengendalikan rasa di dada. Sudah begitu rindu. Bahkan malam ini pun, demi melihatnya sekhawatir dan sesedih itu, jiwa lelakiku rasanya begitu meronta. Ingin mengusap air mata bahkan memeluknya, menenangkannya. Tapi mana boleh kan. Belum halal. Jangankan menyentuh, sengaja bertatapan lama saja belum boleh. Huft.


Secepatnya aku harus mengatakan semua ini pada Mami dan Papi. Apapun resikonya dan bagaimanapun caranya. 


Sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi rasanya, aku beneran jatuh cinta sama dia. Adinda. Terlebih malam ini. 


Aku beralih menatap langit. Terlihat diam padahal sedang meredam gejolak rasa yang berkejaran. Rasa bahagia bisa dekat sama dia, walau masih berjarak beberapa meter kayak sekarang. 


Nggak kelihatan bicara apa-apa, padahal dalam hati aku sedang berdoa. Memohon pada Sang Maha Pencipta agar aku segera dipersatukan dengan Adinda.


"Oh ya, Nak Fadi bisa menyetir mobil ternyata?" Abi Yahya kembali memecah keheningan. Kali ini aku yang diajaknya bicara. 


"Oh ya, Abi." Aku menyahut. Berpaling.


Lalu kulihat Abi mengernyit. 


"Sudah lama bisanya? Bahkan lihai sekali," sambung Abi. "Sudah biasa mengendarai mobil? Belajar dimana?"


Aku baru tersadar, maksud pertanyaan Abi. Dari mana aku bisa menyetir mobil padahal di awal, aku mengaku datang dari desa?


Tentu saja aku bisa. Aku terbiasa menyetir mobilku sendiri, bahkan sejak SMA. 


"Itu...." Aku menggantung jawaban. Bimbang. Aku harus menjawab apa? 


Adinda juga menoleh ke arahku kali ini. Menatap curiga, kurasa.


Dan seketika, menciut keberanianku untuk jujur mengakui yang sebenarnya. 


"Aku pernah menjadi supir, Bi." Jawaban itu meluncur begitu saja.


Aku kembali berbohong. Demi melihat sorot mata Adinda. Menciutkan nyaliku untuk jujur dan mengakui sekarang. Kepura-puraan ini. Aku lemah saat ditatapnya. Takut ditolak olehnya.


---


Ada saat dimana doa akan dikabulkan dengan segera setelah dipanjatkan.


Seperti doaku barusan. Meminta agar dipersatukan dengan Adinda. Dalam ikatan pernikahan.


"Nyawa Adi sudah di ujung batas. Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya. Tapi ia pun sepertinya sudah menunggu 'kepulangan' selamanya." Abi menatapku lekat. 


Kulihat di sisi ranjang, Adinda menciumi tangan dan pipi ayahnya sambil membisikkan kalimat-kalimat tauhid.


"Adi ingin, Adinda menikah sebelum ia menutup mata selamanya. Agar ia bisa pergi dengan tenang setelah memastikan ada seseorang yang menggantikannya, menjaga putrinya." Abi meremas pundakku, menatapku serius. "Kamu bisa menikahi Adinda malam ini, sekarang juga. Abi akan menyiapkan saksi dari perawat atau dokter di sini."


Aku terkesiap. Dalam keterkejutan paling tak kusangka. Menikahi Adinda sekarang juga. 


"Ayo, Nak Fadi. Tidak banyak waktu. Adi sudah menunggu." Abi menyadarkan ekspresi diam dan keterkejutanku.


Ada kuncup yang merekah terlalu hebat dalam rasa gamang yang bertubrukan di sepenuh pikiranku sekarang.


Aku akan menikahi Adinda. Sekarang juga. Semudah ini. Tapi aku belum jujur. Bahkan Mami Papi belum tahu. 


Meski tak ada syarat seorang lelaki didampingi orangtua atau walinya saat akan menikahi seorang wanita. Lagipula, tidak ada yang tahu soal Mami dan Papi, hanya Abi dan Umi, orangtua angkatku di sini. 


Tapi aku harus bagaimana? Bagaimana? 


"Kenapa? Ada yang meragukanmu?" Abi kembali mendesakku.


Apa aku harus bilang?


Tapi aku justru menggeleng. "Tidak, Abi. Aku... akan menikahi Adinda. Sekarang." Kujawab dengan mantap. 


Lalu semuanya terjadi dengan begitu singkat. Saat wali dan saksi begitu cepat siap. Menikahkanku secara agama, dengan Adinda. Dalam pandangan mata lelah Pak Adi yang berada di ujung ajalnya. 


Aku menyambut genggaman tangan di hadapanku. Mendengarkan dengan hati bergetar saat namaku dan nama Adinda disebut, untuk dinikahkan, detik ini juga. 


Dalam denyar dada yang entah bagaimana kugambarkan rasanya. Bahagia, cemas, dan gamang jadi satu. Namun, lantang dan jantan kulafalkan kalimat penerimaan atas pernikahan ini. Dengan mahar sebuah sajadah lipatku yang kubawa. Sesederhana itu.


Berdetak kuat dadaku, saat kusebut namanya menjadi istriku. 


"Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Putri binti Adi dengan maskawin sebuah sajadah dibayar tunai!"


"Sah!"


Maka resmilah dia menjadi pendamping hidupku. Adinda. 


Mata tua Pak Adi mengerjap dan berkaca-kaca. Lalu kalimat tauhid terucap dari bibirnya. Kemudian ia menutup mata untuk terakhir kalinya. 


Bisa kudengar jelas isak yang ditahan wanita itu sejak tadi, pecah detik ini. Memeluk ayahnya yang kutahu baru saja melepaskan nyawa. 


"Ayah...." Suaranya bergetar, kehilangan yang begitu besar. Adinda. Istriku....


Aku menelan saliva. Menatapnya juga dengan mata berkaca-kaca. Antara turut merasakan kesedihannya dan buncah bahagia yang belum pernah kurasa sebelumnya. Dia yang kini halal menjadi belahan jiwaku sesungguhnya. 


Secepat ini Sang Maha Segalanya mengabulkan doaku rupanya. Dalam skenario paling tak terduga dan perkiraan waktu paling tak kusangka.


Di malam hujan pada Bulan Ramadhan, doaku dikabulkan. Aku bukan lagi seorang pria lajang.


Bersambung. . 14

Wednesday, May 7, 2025

 


(12) *MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea



Trauma Adinda


Aku terdiam untuk beberapa saat. Menyelami mata Abi yang menatapku sungguh-sungguh. 


Melihat pantulan wajahku sendiri di mata bersih itu. Terlebih sinar matahari waktu dhuha sedang tepat menerpa mata coklatnya. Bisa kulihat dengan jelas, wajahku, dalam balutan kesederhanaan, penyamaran ini. Dua tompel di pipi dan satu tompel di dagu. Serta tataan rambut yang bukan asliku sama sekali, berbelah tengah dan lurus ke bawah. Kufikir tampilan ini terlihat buruk, ternyata kata mereka semua yang melihatku, ini bukan buruk. Lebih tepatnya, terlihat 'lucu'. Culun sekali. Sebabnya, banyak yang menertawakanku. 


Lucu? Ya, aku menjadi lelucon, marbot yang terlihat lucu alias cupu. Bahkan setelah beberapa waktu di sini, panggilanku tak hanya Kang Padi, beberapa orang lebih senang memanggilku dengan gelar baru, 'Kang Tompel'. Ya, itu. 


Dan entah mengapa, bukannya menjawab pertanyaan Abi yang jelas sekali sudah mengetahui soal kekaguman, rasa suka, atau apalah ini namanya, pada Adinda, atau bertanya pendapat lelaki bijaksana itu tentang harusnya aku datang pada Adinda sebagai siapa? Tuan Alfa atau Kang Padi?


Tidak. Aku justru mempertanyakan hal lain yang mencuat di kepala. Yang semakin meneruskan kebohonganku. Tanpa kusadari benar.


"Apa gadis itu mau denganku, Abi? Aku yang cupu, bertompel dan hanya marbot masjid ini?" Aku memegang kedua pipi yang terpasang tompel sintetis, nampak sempurna aslinya. 


Tapi aku sungguh-sungguh dengan pertanyaan ini. Ya, apa Adinda akan mau dengan lelaki cupu seperti ini? Hanya marbot masjid pula. Sesederhana apapun dia, aku yakin, banyak lelaki lebih berada dan sempurna yang menyukainya. Termasuk, Ustadz Khalid. Ya, rupanya benar, aku mendengar sendiri ia bilang, menginginkan Adinda, menjadi istrinya. Hanya saja, Adinda belum menerimanya. 


Kalau yang seperti Ustadz Khalid saja tak diterimanya, apa aku bisa menaklukkan hatinya?


"Jadi itu alasannya?" Abi tersenyum. Memandang ke pagar depan, lalu beralih menatapku lagi. 


"Abi rasa, gadis sepertinya tidak menilai seseorang dari rupa dan penampilan apalagi pekerjaannya, Nak."


Aku mengernyit. Oh ya? Benarkah ada wanita yang seperti itu? Tidak menilai pria dari harta dan tahta? Lantas dari apa? Ilmu agama? Ah ya, tapi kan aku juga masih baru belajar agama. Mengaji pun baru bisa. Jelas jauh berbeda dengan Ustadz Khalid yang bahkan banyak menghafalkan surah-surah Al Qur'an. 


Abi menggeleng. Terkekeh pelan. Mungkin demi menatap ekspresiku. 


"Abi sangat mengenal Ananda Dinda, Nak. Sejak dia kecil. Bukan kelebihan seseorang yang membuatnya terkesan tapi ketulusan."


Aku mengernyit, maksudnya?


"Tidak ingin bertanya mengapa dia menolak Ustadz Khalid?" Abi tiba-tiba bertanya.


Aku terdiam. Ya, itu yang kufikirkan. Aku tahu, Abi juga sangat mengenal Adinda bahkan seperti orangtuanya sendiri. Orangtuanya bersahabat dengan Abi Yahya. Sepertinya sangat dekat bahkan. Hingga urusan pria yang melamar gadis itu pun, diperantarai AbinYahya juga. Sedangkan ayahnya sendiri justru belum pernah kulihat.


"Kenapa, Abi?" Akhirnya aku bertanya. Penasaran sekali rasanya.


Abi menatapku. Dalam artian yang harus kucerna dengan memposisikan diri dan keadaan. 


"Tidak mudah bagi seorang gadis sederhana yang terbiasa hidup dalam perjuangan hidup dengan ayahnya saja, tanpa keluarga lainnya, kehidupan apa adanya, pendidikan yang tidak bisa diselesaikan, dan semua kemalangan serta ketidakberuntungan, untuk menerima seseorang yang terlihat sangat sempurna. Seperti Ustadz Khalid."


Aku menyimak. Belum mengerti. Tidak sempurna? Apanya yang tidak sempurna? Bagiku gadis itu sangat sempurna. Ya, di mataku.


"Lelaki muda itu mungkin menyukainya. Ya, mungkin tertarik dengan semua yang ada pada Adinda. Tapi tidak akan mudah bagi Dinda beradaptasi dengannya dan dengan keluarga besar lelaki itu."


Aku masih mendengarkan. Mencoba mengerti. Aku tahu, Adinda menceritakan alasan apapun pada Abi Yahya. Sebab Abi adalah orang dewasa yang dipercayanya bahkan memerantarai berbagai urusannya dengan pria yang berniat meminangnya.


"Ustadz Khalid mungkin suka. Tapi bagaimana dengan keluarga besarnya? Lelaki muda itu, putra kebanggaan dari keluarga cukup kaya yang cukup terpandang juga. Bagi Adinda, pasti keluarga besar itu berharap mendapatkan menantu dan besan yang setara. Dari keluarga terhormat juga."


Aku mulai mengerti. Mencerna sambil menelan saliva.


"Tapi, bukankah mereka keluarga yang faham agama? Apa juga menilai dari latar belakang?" Aku memburu. 


"Entahlah. Mereka mungkin tidak. Atau setidaknya akan berusaha menerima. Tapi tidak akan mudah bagi Adinda memahami itu. Abi juga sudah coba menyampaikan. Namun, sepertinya dia menyimpan trauma." 


"Trauma?" Aku mengernyit dengan serius. Penasaranku kini berkali lipat rasanya. Trauma atas apa?


Abi menghela nafas panjang.


"Sejak kecil, gadis itu hanya hidup dengan ayahnya. Tinggal berdua saja. Tanpa keluarga lainnya. Ayahnya datang jauh dari sebuah desa. Merantau ke kota ini."


"Ibunya?" Aku semakin penasaran. Ya, apakah ibunya sudah meninggal dunia?


Abi menggeleng.


"Ibunya meninggalkan mereka. Adinda dan Adi, ayahnya. Ini mungkin sangat drama tapi Abi akan ceritakan." Abi menatapku dalam.


"Adi itu sahabat Abi. Dia seorang marbot masjid sejak remaja. Hanya itu pekerjaannya sejak dia merantau ke kota, hidup sangat sederhana, persis Ananda Fadi sekarang." Abi tersenyum ke arahku, dalam artian yang sulit kuterjemahkan. 


"Lalu datang seorang wanita yang mendekatinya. Ya, mendekati Adi, memberikan perhatian dan pesona wanita hingga Adi yang polos, jatuh cinta sungguhan padanya. Lalu memberanikan diri, dengan tulus dan jantan Adi melamarnya sebab tak ingin terjerat dalam dosa. Lamaran diterima. Adi fikir sebab wanita itu juga mencintainya. Waktu muda, walau hanya marbot masjid, tapi ketampanan Adi memang di atas rata-rata. Lalu mereka menikah, pernikahan yang sederhana tanpa dihadiri keluarga dari pihak wanita, hanya wali hakim sebab wanita itu mengaku tak lagi memiliki keluarga, sama seperti Adi." Abi menerawang. Mengenang. 


Aku memperhatikan. Tak ingin melewatkan sedikitpun cerita ini. Aku, sangat ingin tahu.


"Adi benar-benar mengira wanita itu juga mencintainya, makanya mau ia nikahi bahkan sejak awal, wanita itu yang mendekati Adi. Ternyata, dia salah sangka. Dia, hanya sedang dipermainkan, dijadikan pelampiasan." 


Aku melihat gurat penyesalan di mata Abi.


"Wanita itu, ternyata sudah bersuami."


Apa?


Aku membelalak tak percaya. Jadi?


"Dia hanya orang kaya yang sedang bosan dengan kehidupan kaya rayanya dan suaminya yang jauh lebih tua. Lalu mencari suasana dan pelarian baru. Pemuas hasrat. Hingga bertemu Adi yang menarik hatinya."


"Tapi... sampai menikah lagi?" Aku tak habis mengerti. Ini terdengar tidak masuk akal.


"Ya, bahkan Adi sendiri tidak tahu kalau yang dinikahinya adalah istri orang. Mereka menikah hingga wanita itu mengandung Adinda. Lalu...." Abi terdiam beberapa saat.


"Lalu?" Aku tidak sabar. 


"Lalu semuanya terungkap. Wanita itu mengakui semuanya. Ia hanya menjadikan Adi pelampiasan dan pemuasnya. Karena ia juga menyukai Adi yang tampan dan lebih muda darinya. Sayangnya Adi bukan orang kaya. Hanya sebab rasa penasaran dan hasrat pada seorang lelaki. Dia tahu, Adi bukan lelaki yang mau berzina atau bisa ia bayar demi memuaskannya, maka wanita itu bersandiwara agar dinikahi Adi, demi nafsunya." 


Aku mengernyit dengan mata menyipit, tak habis mengerti. Ya, aku sering mendengar, wanita-wanita rela bersuami lelaki tua kaya raya hanya demi kehidupan menyenangkan dan uang yang menjanjikan, kekayaan. Tapi haus kasih sayang lalu mencari kehangatan dari lelaki-lelaki simpanan. Sungguh, bukan hanya kaum lelaki yang bisa bejat. Jika urusannya soal nafsu, wanita pun bisa jadi sebejat itu.


Tapi hingga hamil? Hanya demi kepuasan sementara?


"Ya, memang mengherankan. Orang kaya yang tak tertebak jalan fikirannya. Mengorbankan perasaan orang lain bahkan berdusta sehebat itu demi pelampiasan sesaat, hanya demi nafsu serta rasa penasarannya."


"Setelah itu?" Aku masih menunggu kelanjutan cerita ini.


"Setelah hamil dari Adi, dia bosan. Mana mungkin wanita seperti itu betah hidup miskin. Lalu ia kembali dengan suaminya."


Aku menggeleng. 


Lantas Adinda?


"Kemudian dia berniat menggugurkan kandungannya."


"Menggugurkan kandungan?" Aku melebarkan mata.


"Ya, sebab sejak awal ia tak berniat hamil. Hanya mencari kepuasan dari seorang lelaki seperti Adi. Bahkan terang-terangan dia bilang, kehamilan itu hanya sebuah kecelakaan. Samasekali tidak ia harapkan."


Aku mengedip dengan kepala panas. Mendengar semua ini.


"Adi benar-benar patah hati. Dan sungguh merasa dipermainkan sekali. Tapi kewarasannya masih bekerja, ia memohon, mengemis dengan sangat agar janin dari benihnya itu tidak digugurkan. Wanita itu tetap menolak." 


Kulihat Abi mengepal tangan. Abi Yahya adalah saksi hidup dari semua kejadian itu, sejak dulu.


"Tapi Tuhan berkehendak lain, Nak. Berbagai cara dilakukan wanita itu untuk menggugurkan kandungannya tapi tidak bisa. Selalu gagal. Janin itu begitu kuat bertahan. Hingga wanita itu menyerah. Sampai melahirkan. Bayi tak berdosa itu, Adinda."


Aku tak bisa berkedip. Merasakan likat di tenggorokan. Aku, sangat meresapi cerita ini. Muasal gadis yang mencuri hatiku itu, Adinda, semalang itu ternyata takdirnya. Dilahirkan oleh ibu tak berperasaan yang bahkan tak menginginkannya.


"Bayi yang sangat tidak diharapkan wanita itu dan keluarga kayanya. Tentu saja bayi itu segera disingkirkan, dibuang pada Adi."


Abi menatapku dalam sekali. 


"Adi lalu merawat Adinda sendirian. Tidak pernah menikah lagi. Dalam semua keterbatasan. Membesarkan gadis cantik yang tumbuh sholihah dan sangat mencintai ayahnya." Mata Abi berkaca-kaca. Begitu meresapi. Kisah sahabat malangnya.


Aku juga, merasakan aura rasa tak biasa. Sejak awal, aku sudah terjebak rasa, pada gadis sholihah yang nampak sederhana dan berkharisma itu, Adinda. Dan kisah hidupnya ini membuatku semakin menyukainya. Keinginan melindungi. Aku seperti ingin menjadi sebab bahagianya. Ya. Sangat ingin.


"Dinda sepertinya sangat trauma dengan orang kaya. Apalagi kisah Adi sudah menjadi rahasia umum di sini. Hampir semua orang tahu dan cerita ini menjadi kepingan kisah yang tak bisa ditutupi dari Adinda. Dulu, ia bahkan menjadi olokan teman-teman seusianya. Karena dibuang oleh ibunya."


Aku bisa merasakan sakit juga, mendengar semua ini. 


"Wajar dia trauma." Abi berdiri. Menepuk pundakku.


"Banyak sudah lelaki yang melamarnya, lewat Abi. Sebab Adi sudah bertahun-tahun sakit keras dan meminta Abi untuk menjembatani urusan siapapun yang melamar Adinda. Tidak ada satupun yang diterima olehnya. Sebab mereka yang melamarnya, nyaris semua berasal dari keluarga berada dan terpandang. Mungkin nasibnya baik soal jodoh tapi sebaliknya justru baginya. Sudut pandang memang tidak bisa dipaksa. Sepertinya, Adinda selalu dibayangi dengan masa lalu pahit dari ibu berasal dari keluarga kaya yang justru membuangnya."


Aku mulai mengerti. 


"Sulit untuknya bisa mengerti kalau tidak semua orang kaya seperti ibunya, hanya ingin mempermainkan orang miskin seperti ayahnya."


Hatiku gemertak mendengar ini. Sehebat itu traumanya?


"Dia bilang, hanya ingin menikah dengan lelaki biasa. Lelaki seperti ayahnya." Abi kembali tersenyum. 


Aku sepertinya, mulai mengerti, arti senyuman itu.


"Tapi sampai sekarang, belum pernah dia bilang menyukai lelaki biasa. Entah kalau ada lelaki biasa yang sungguh-sungguh menyatakan perasaan padanya."


Sekarang, aku benar-benar mengerti. Maksud Abi.


Kadang trauma bisa melatarbelakangi sudut pandang yang bagi orang kebanyakan terasa tak biasa. Ada orang yang memilih hanya memakan nasi saat tersaji rendang daging yang di mata orang lain sangat nikmat, misal, sebab trauma karena suatu kejadian dengan rendang daging. Maka ia hanya memakan nasi tanpa lauk, terasa lebih nikmat dibandingkan harus memakan rendang daging itu. Begitu kira-kira. 


Itu juga yang dialami Adinda. Bahkan dalam prihal kehidupan serta sudut pandangnya tentang calon pasangan hidup. 


Aku tahu, ada dua cara mengatasinya. Yang pertama, mengobati traumanya dengan menanamkan pemahaman, tidak semua orang kaya sama seperti ibunya yang hanya ingin mempermainkan pasangannya. Kedua, memperturutkan traumanya. 


Kembali aku berpapasan dengannya di teras masjid. Saat aku sedang menyapu dan ia baru tiba untuk membereskan tempat sholat wanita. 


Tatapan sekilas yang semakin mendetakkan hatiku. Suka banget sama dia. Aku ingin memandangnya setiap hari, membersamainya sepanjang waktu, selamanya. Di sisa usia bersamanya. 


Sungguh-sungguh suka. Aku melihat masa depanku ada pada dia. Adinda. Ah, nggak pernah aku merasakan mimpi sehebat ini sebelumnya. Cinta.


Aku tahu, harusnya aku jujur sejak awal, atas niat baik dan perasaan ini. Membawa diriku yang sebenarnya, Alfadi Edibagaskara. Seorang CEO dari keluarga sangat berada yang jatuh cinta dengan tulus padanya. Ya, sungguh kejujuran adalah hal yang mestinya kulakukan sejak mula.


Tapi entah. Mungkin sebab aku benar-benar menyukainya, aku tak siap menerima penolakan, apalagi alasannya sebab latar belakang. 


Kali ini aku benar-benar menyesal dilahirkan dari keluarga bangsawan. Jika wanita yang kuinginkan justru akan menolakku sebab alasan demikian. 


Dan lagi, bukankah ini tepat sekali? Aku bertemu dengannya, saat menjadi seorang Kang Padi.


Lantas aku datang padanya, lewat Abi Yahya. Menyatakan keinginan. Menghalalkannya. Aku sebagai Kang Padi sekarang.


Abi tersenyum penuh arti, menatapku. 


"Akan Abi sampaikan."


Selanjutnya aku menunggu. Jawaban darinya. Meski begini, belum tentu ia pasti akan menerima.


Apa yang kulakukan? Kebohongan? Seketika aku merasa gamang. Seperti tiba-tiba sadar. Apa langkahku salah untuk memulai?

Tiga hari aku menunggu. Dalam gelisah yang kutahu pasti alasannya. Sebab ketidakjujuran yang kulakukan.

Kadang, ada titik waktu dimana aku ingin jujur sebagai diriku sebenarnya, tapi seketika perasaan khawatir tak diterima membayang buruk di pelupuk mata. Ditolak karena kaya, itu aneh sekali bukan?


Tidak, bukan aneh. Tapi dia memang seisitimewa itu. Tidak silau dengan harta dunia dan memilih sebab ketulusan lelaki yang akan membersamainya. Apa dia akan melihat sisi ketulusanku juga meski tahu aku orang kaya raya?


Aku tulus sekali, dalam perkara ini.


Tiga hari yang berlalu lama sampai akhirnya Abi menghampiriku dengan pandangan mata penuh makna. 


Adinda menerimaku. Untuk pertama kali menerima seorang lelaki di hidupnya.


Wajahku berseri seketika. Hanya demi mendengar sedikit kalimat 'menerima' itu saja, sudah membuatku lega luar biasa. Jadi sangat bahagia. 


Selanjutnya aku harus memikirkan benar-benar, bagaimana menyampaikan yang sebenarnya. Pada Adinda dan pada orangtuaku. Setidaknya aku sudah tahu, dia memberiku 'kesempatan'. Entah jika aku jujur. Semoga perasaannya tidak berubah.


Aku seperti lupa, tidak akan pernah mudah meyakinkan Mami dan Papi, sebab aku 'putra mahkota'. Dan tak akan mudah meyakinkan Adinda, kalau aku tak pernah berniat mempermainkannya. 


Kenapa aku baru benar-benar sadar? Tertutup bunga-bunga rasa sejak awal berjumpa. Sejak memutuskan untuk menyampaikan soal perasaan padanya. 


Aku tahu, ini butuh waktu dan aku akan memaksimalkan segala cara, untuk meneruskan semua sesuai rencana. 


Aku harus mengatakan yang sebenarnya. Pada Adinda, juga pada Mami dan Papi. Sebelum menghalalkannya.


Ini bulan ramadhan, saat mustajab dikabulkannya doa kata Abi Yahya.


Di sujud sholat aku berdoa, aku menginginkan Adinda untuk menjadi istriku segera. Rinduku pada wanita terlabuh pada seorang gadis sederhana, dia.

Bersambung ..13

Monday, May 5, 2025

 


Perpisahan kelas adalah momen yang emosional dan bersejarah bagi siswa dan guru. Berikut beberapa ide untuk membuat perpisahan kelas menjadi lebih berkesan:




Ide Perpisahan Kelas

1. *Foto bersama*: Mengambil foto bersama dengan teman-teman dan guru.

2. *Pesan perpisahan*: Menulis pesan perpisahan untuk teman-teman dan guru.

3. *Kenangan*: Membuat kenangan dengan melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama.

4. *Acara perpisahan*: Mengadakan acara perpisahan dengan permainan, makanan, dan hiburan.


Tips untuk Membuat Perpisahan Kelas Lebih Berkesan

1. *Buat rencana*: Buat rencana untuk perpisahan kelas agar semuanya berjalan lancar.

2. *Libatkan semua orang*: Libatkan semua orang dalam perpisahan kelas agar semua merasa terlibat.

3. *Jadikan momen yang positif*: Jadikan momen perpisahan kelas sebagai momen yang positif dan menyenangkan.

4. *Simpan kenangan*: Simpan kenangan perpisahan kelas dengan foto, video, atau jurnal.


Perasaan Saat Perpisahan Kelas

1. *Sedih*: Merasa sedih karena harus berpisah dengan teman-teman dan guru.

2. *Bahagia*: Merasa bahagia karena telah menyelesaikan satu tahap pendidikan.

3. *Harapan*: Merasa berharap untuk masa depan yang cerah dan sukses.

4. *Kenangan*: Merasa nostalgia dengan kenangan yang telah dibuat selama di kelas.


Perpisahan kelas adalah momen yang tidak terlupakan. Pastikan untuk membuat momen ini menjadi lebih berkesan dan menyenangkan.

Friday, May 2, 2025

 (11)  *MARBOT ITU TERNYATA CEO*


Penulis: leaaa 


Tuan Alfa atau Kang Padi




Mungkin karena sangat terniat, atau sebab namanya tersemat kuat dalam dadaku yang sempat tersekat, kalimat itu meluncur refleks saja dari mulutku. 


Aku sungguh-sungguh untuk urusan itu. Aku, mengingkan Adinda. Tapi kan, nekat sekali ini kesannya, caraku menyampaikannya.


Ustadz Yahya berpaling ke arahku, menatap lekat. Oh Tuhan, apa yang ia pikirkan atasku sekarang? 


Tak lama, ia tersenyum. Entah apa maknanya. Aku masih menebak-nebak. Apa ia faham maksudku barusan? Atau malah menertawakan?


"Ya. Masya Allah. Benar, sudah lama saya ingin mengangkat seorang anak. Hanya selalu ada kendala. Anak-anak orang." Ia tersenyum. Menatapku dalam.


Aku masih diam, mendengarkan. Dan menebak jalan fikirannya sebagai respon atas ucapku barusan. 


"Berapa usiamu, Kang? Ehm, maaf, Ananda Fadi." Ia meralat panggilan, atasku. Ananda maksudnya, Nak Fadi. Ya, ia memanggilku dengan sebutan itu sekarang.


Aku tergagap sejenak. Faham sikapnya. Cepat membaca situasi.


"Dua puluh lima."


Senyumnya kian lebar.


"Dua puluh lima? Ya, ya. Dua puluh enam tahun saya dan istri berumah tangga. Menunggu-nunggu kabar baik akan diberikan keturunan setiap hari. Belum Allah berikan rezeki itu." Ustadz Yahya meremas sebelah pundakku. Bisa kurasakan itu, harapan dan penantian yang sangat besar, akan hadirnya buah hati.


"Dulu pernah kami mengangkat anak. Masih bayi sekali, diberikan oleh orangtuanya. Kami rawat sepenuh hati, sebagaimana anak sendiri. Tapi saat menginjak usia remaja, ia mempertanyakan orangtua kandungnya. Tepat saat orangtua aslinya datang, menyesali telah memberikan anak itu." Ada embun yang akan menetes di sepasang mata yang kini menatapku ini. 


Aku membalas tatapannya. Dengan perasaan yang menyelam. Aku mengerti, isi hati lelaki baik hati ini.


Ia menggeleng kemudian.


"Lalu anak itu kembali diambil oleh orangtua kandungnya. Dibawa pergi jauh." Ia menyapu mata yang berair di hadapanku. Membuatku merasakan dengan jelas, sesaknya. Luka meski ia tersenyum sedetik kemudian. 


"Ah, maaf. Sudahlah. Memang tak akan bisa anak dan orangtua kandung dipisahkan." Ia semakin lebar tersenyum. Meski embun mata itu tak bisa menutupi kesedihan dan harapan yang masih menggantung sampai detik ini.


Aku tahu rasanya menanti. Melihatnya, seperti melihat Mami dan Papi. Walau mereka jauh lebih beruntung, aku telah lahir sebagai buah hati mereka saat Mami harus menjalani operasi pengangkatan rahim. Makanya Papi dan Mami selalu bilang, aku anak tunggal, putra mahkota kesayangan. Hanya aku penerus keturunan dan kekayaan dari Papi yang juga putra tunggal dari Opa dan Oma.


Meski sudah ada aku, masih kerap dulu kulihat Papi dan Mami teramat senang melihat bayi-bayi perempuan. Mereka ingin memiliki banyak anak. Tapi takdir tak mengijinkan. 


Aku tahu rasanya. Itu sebab aku selalu menurut saja apapun larangan dan kekangan Mami Papi, atasku. Hingga mengalami titik jenuh kehidupan seperti ini.


Ustadz Yahya bahkan lebih malang dari itu. Tak sempat memiliki seorang anakpun sampai usia tuanya sekarang.


"Kalau istri saya langsung hamil setelah menikah, pasti usia anak kami sekarang seusia Ananda Fadi. Ya, tepat sekali, anakku. Terimakasih." Menatapku dalam sekali.


Aku masih mencerna, terimakasih untuk apa?


"Ya. Kamu anakku. Panggil aku Abi mulai sekarang, Nak." Memelukku. 


Aku terdiam kemudian. Lalu membalas pelukannya setelah faham. 


Ia menanggapi serius sekali ucapanku tadi. Abi. Ia ayah angkatku sekarang. 


---


Bagaimana proses takdir berjalan? Misteri. 


Seperti yang kualami sekarang. Aku membatalkan niat pulang karena patah hati yang terjadi sebelumnya, salah sangka pada harapan yang nyaris sirna, terhadap seorang wanita sebab hadirnya Ustadz Khalid yang kusangka sudah begitu akrab dengan Ustadz Yahya, yang ternyata bukan ayahanda dari Adinda. 


Sekarang, aku justru memiliki ayah angkat baru. Seorang ustadz. Yang benar menganggapku sebagai anak. Anak ketemu besar. Ah, tak apa. Aku turut bahagia melihat semburat bahagia di wajahnya dan Umi--istri Ustadz Yahya. Apalagi, akulah penyebab bahagia mereka.


"Umi, anak kita sudah datang." Ustadz Yahya menyambutku di rumahnya. 


Aku terdiam di pintu sebentar. Menerima sambutan dari seorang wanita berjilbab panjang yang segera menyambutku dengan senyum lebar. Aku mencium tangannya.


Anak kita? 


Ya, aku. Anak angkat mereka.


Lalu aku merasa begitu disayang. Diperlakukan layaknya anak yang telah lama hilang. Jadi keingat Mami dan Papi. Sebelum penyamaran ini, aku sudah menyampaikan niatan untuk menyendiri, makanya tidak dicari-cari, refreshing selama satu bulan kataku hari itu sebelum pergi. Selama ini, nyaris tak pernah aku berlibur lama. Jadi mereka mengijinkan. Tentu saja. Walau mereka kira aku berlibur panjang ke luar negeri, mana tahu aku malah ada di sini. Menjadi marbot. Huft.


Setelah aku makin dewasa, Mami Papi memang tidak semengekang dulu. Apalagi jika alasannya untuk refreshing dan menenangkan diri. Mereka lebih percaya, tapi tetap dengan wanti-wanti agar aku menjaga hubungan dan pergaulan, dengan siapapun. 


Ya, refreshing, alias mencari makna hidup dengan penyamaran ini. Mengatasi titik jenuhku. 


Umi dan Abi memperlakukanku dengan baik. Apalagi mereka kira, aku memang hidup sebatang kara--seperti cerita Handi di awal penyamaranku ini. Tak kusangka, kebohongan pertama itu membawa pada kehidupan seperti ini. Menjadi marbot masjid, lalu menjadi anak angkat seorang ustadz. 


Aku menikmati ini. Detik-detik yang melelahkan dengan perjuangan siang dan malam. Kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat dari takdir hidupku sebenarnya. 


Meski menjadi anak angkat dan kerap datang ke rumah Ustadz Yahya, sebagai anak, menyantap menu sahur yang dibuatkan Umi misalnya tapi aku tetap tinggal di kamar khusus marbot pada sisi masjid. Tentu saja, tugas utamaku sejak awal di sana. Bahkan aku yang memegang semua kunci bangunan itu, seluruh ruangan. 


Pembelajaran iqro-ku berjalan lancar. Aku sudah bisa sedikit-sedikit mengeja Al Qur'an. Abi mengajarkanku lebih giat dari sebelumnya. Entah karena perkembanganku yang menyemangatkan atau sebab kini aku adalah anak angkatnya. 


Ya, ini semakin menyenangkan. Saat menyadari bahwa aku seperti memiliki benar-benar keluarga di tempat ini. Dianggap layaknya anak sungguhan. Entah jika aku akhirnya harus kembali ke kehidupanku yang dulu, mungkin aku membutuhkan waktu khusus untuk menjelaskan. Atau bahkan aku akan terus menyamar dan sesekali datang, ke tempat ini nanti. Belum terlalu kufikirkan, sebab aku masih sangat menikmati semua ini. 


Apalagi, dengan statusku sekarang, aku makin banyak memiliki waktu bertemu Adinda. 


Ya, gadis yang membantu bersih-bersih Masjid Almira Tiga, mengurusi kebutuhan di tempat ibadah wanita ternyata memang Adinda. Dia yang dimaksud Ustadz Yahya sejak awal. 


Adinda putri seorang mantan marbot masjid juga. Jadi dia sudah sangat terbiasa mengurusi rumah ibadah seperti ini. Bahkan telihat sangat menikmati. Aku juga, menikmati waktu-waktu bisa ketemu dia. 


Benar kata Abi, gadis itu memang beda. Auranya tenang dan dewasa. Dalam sederhana dan tegar sikapnya. Ya, tegar. Dia hanya hidup berdua dengan ayahnya. Ibunya sudah lama meninggal. Bahkan ayahnya sakit-sakitan. Ia yang menopang sendiri hidupnya juga merawat dan menghidupi ayahnya. Menjadi tukang punggung di usia semuda itu.


Bagiku, itu mengagumkan. Dia berjualan kue dan nasi bungkus yang dibuatnya sendiri. Ya, dia pandai memasak dan olahannya sungguh aku suka. 


Tentu saja aku tahu, aku sudah cukup sering memakan kue yang ia buat dan disumbangkan sebagai takjil berbuka puasa jama'ah masjid ini. Bahkan ternyata, sejak pertama aku tiba, nasi bungkus pertama yang diberikan padaku hari itu adalah olahan Adinda. Dia memberikannya secara gratis setiap hari kepada beberapa marbot masjid di kota ini. Menyisihkan keuntungan dari dia berjualan. Demi membantu kesejahteraan para perawat rumah ibadah, sepertiku. Kontribusi rumah dakwah lewat marbotnya. 


Ya Tuhan, aku baru nyadar, betapa variatif cara tiap orang menjemput pahala kebaikan. Ada yang dengan cara membangun masjid. Ada yang menyediakan sarana prasarana ibadah. Ada yang berkontribusi pemikiran dan waktu sebagai pengurus masjid. Bahkan ada yang dengan cara memberikan nasi bungkus untuk marbot sepertiku, seperti yang dilakukan Adinada.


Padahal menurut Abi, hidup gadis itu juga serba kekurangan, tapi berbaginya malah nggak pernah kurang. Bikin sayang. Eh.


Aku, semakin suka. Ya, mana mungkin aku tidak mengaguminya.


"Kak Dinda ada salam... dari Abangnya Gina...!" Teriak seorang bocah dari halaman masjid. 


Membuatku berhenti dari kegiatan membersihkan sajadah. Langsung panas aja ini hati dengarnya. Salam? Ngapain nitip-nitip salam? Keganjenan banget. 


Aku mengintip dari jendela. Memperhatikan anak yang tadi bilang demikian. Ngafalin wajahnya. Buat nanti kuperingatkan. Kalau perlu abangnya itu sekalian. Berani-beraninya nitip salam ke Adinda.


Hm, posesif gini aku jadinya. Padahal kan, aku juga belum menyatakan perasaan. Perasaan? Ya, apa aku harus 'nembak' Adinda?


---


"Pacaran itu buat apa?"


Aku sedang menguping pembicaraan gadis itu dengan seorang ABG yang masih sangat belia. Murid mengajinya.


"Em, buat senang-senang aja, kak. Jangan aduin Ayah Yahya ya? Nanti dimarahin!" ABG belia itu menyebut nama Abi angkatku. Ya, Abi memang cukup keras urusan melarang pacaran. Apalagi kalau janjian keemuannya di masjid. 


Kali ini, bukan Abi, tapi Adinda yang sedang mendengarkan curhat murid ngaji ABG nya. Kelihatan masih anak-anak sih lebih tepatnya. Mungkin sekitar kelas satu SMP. Anak cewek. Yang kayaknya curhat madakh cowok ke Adinda. 


"Senang-senang? Buat apa senang-senang kalau mendekatkan ke dosa?" Dia tersenyum ke arah remaja belia itu. 


"Dosa? Emang pacaran tuh dosa, kak? Tapi kan tahu batasan," protesnya seketika. 


Dosa? Aku juga mengernyit dari tempat yang tak dilihatnya ini. Ya, apa pacaran itu dosa? Aku baru tahu. Aku selama ini tidak berpacaran karena orangtuaku melarang. Atas alasan kebangsawanan bukan sebab dosa apalagi larangan agama.


Adinda mengangguk. 


"Ya. Dosa mendekati zina. Bahkan bisa mudah terjerumus dalam zina. Dosanya kulit saling bersentuhan yang harusnya haram dipegang. Dosanya memandang sesuatu yang juga nggak halal dipandang. Sisanya pemikiran dengan membayang-bayangkan. Belum ditambah dosa bohong sama orangtua dan seterusnya. Apa itu menyenangkan?" Dia berucap dengan penjelasan ringan yang membuat remaja itu segera terdiam. Meski tak lama kemudian begitu cepat lagi mengajukan pembelaan. 


"Terus kalau suka sama orang gimana dong, kak? Masa dipendam? Kan nggak baik malah kalau perasaan dipendam." 


Pembelaan macam apa ini? Khas remaja labil korban televisi sekali.


Tapi aku juga jadi makin tertarik menyimak, penjelasan dan sudut pandang Ananda. 


Dia tersenyum. 


"Kayak kita yang sekarang lagi puasa. Dari subuh nahan lapar sampai senja dan waktunya buat berbuka. Sepanjang hari ngerasain lapar, haus kan? Gimana sih rasanya harus menahan ketika lagi lapar-laparnya dan haus-hausnya? Memendam keinginan. Nggak enak?" Dia bertanya. 


Remaja itu mengangguk. "Iyalah, kak, apalagi nggak sahur. Hawanya pas panas pula." Ngeluh beneran.


"Tapi demi taat dengan kewajiban puasa, kita tetap menahan kan? Memendam keinginan sementara untuk makan dan minum di siang harinya. Terus baru berbuka di waktu senja. Pas buka, lega nggak?"


"Banget! Apalagi bukanya langsung minum es seger. Makan yang enak-enak." Malah jadi berimajinasi kayaknya remaja belia itu.


Sementara aku makin tertarik menyimak dari sini. 


"Iya, nikmat. Nikmat banget berbuka. Beda kalau kita lagi nggak puasa. Atau pecah puasa di siang harinya. Pas waktu berbuka di senja harinya, makanan dan minuman nggak senikmat terlihat kayak kalau kita tunai puasa. Belum lagi kita jadi nggak ngejalanin kewajiban, dosa." Adinda meluruskan kakinya. Mereka sedang duduk berdua di teras masjid. 


"Menahan diri dari pacaran juga sama kayak gitu. Kita menahan diri dari pacaran sama artinya lagi puasa sampai tiba waktunya berbuka. Waktu jodoh kita datang menghalalkan dalam janji setia dengan orangtua dan wali kita. Berpuasa selama itu. Baru ngerasain semuanya, perasaan suka yang bebas, perasaan sayang yang nggak bikin dosa, dan seterusnya." Ia kembali melanjutkan. 


Hatiku basah. Adem banget dengernya.


"Kalau kita puasa, meskipun nggak berbuka, nggak minum yang ngebatalin puasa, apa dibenarkan kalau kita pegang gelas berisi es teh segar kemana-mana? Sama sepiring nasi dengan lauk yang menggugah selera di tangan kita? Terus kita bawa dan hadapin kemana-mana. Sambil kita bilang, ini cuma pegang-pegang kok. Cuma mandangin aja, nggak akan dimakan. Masih tahu batasan. Hanya jika dimakan dan tertelan maka baru batal puasanya. Apa masuk akal begitu? Apa kita nggak akan tergoda buat nyicipin yang nantinya pasti akan membatalkan puasa? Dan apa orang-orang yang lihat akan percaya sama pengakuan kita yang bilang bisa menahan diri sama tahu batasan nggak akan makan minum itu semua?"


Remaja itu benar-benar terdiam sekarang. 


Sama sepertiku. Yang seperti diajak berpetualang oleh penyampaiannya. 


"Saat puasa kita dilarang menghadapi dan membawa-bawa makanan minuman kayak gitu. Dipandangin apalagi sambil berangan-angan gimana rasanya dan seterusnya. Meskipun nggak dimakan nggak diminum. Cuma dipandang, dipegang, dan dicium-cium aja aromanya. Kenapa? Karena mendekati hal yang membatalkan puasa. Sama kayak perbandingan pacaran dan menikah. Menikah itu adalah saat berbuka puasa. Dan pacaran jadi hidangan yang mendekatkan kita ke zina. Mendekati zina akan besar godaan untuk berzina. Apalagi godaan setan dimana-mana. Sedikit orang mungkin bisa bertahan dari godaan. Tapi kecil sekali. Apalagi sering ketemuan, janjian. Faham ya? Kita sama-sama puasa sambil percaya, ada jodoh masa depan yang sudah disiapin buat kita. Walau kita nggak tahu siapa," ucapnya pada remaja belia itu, masih dengan senyuman. 


"Kalau nggak pacaran terus nanti nikahnya gimana? Tapi kan, kak, pacar aku bilang cinta banget sama aku." Sumpah. Alay banget ngucapnya itu remaja belia. Ckck.


"Laki-laki yang baik nggak akan ngajak perempuan yang dia suka buat sama-sama bikin dosa. Kalau dia serius, dia bakal bersabar sampai waktunya berbuka puasa. Ngajak nikah. Lalu pacaran setelah halal. Semuanya jadi ibadah. Jadi nikah dulu, baru pacaran, itu yang benar. Bukan sebaliknya."


Ah, ada yang terasa hangat di dalam sini. Mendengar kalimat itu keluar darinya. Untung aku belum jadi 'nembak' dia. 


Kukira, akulah manusia paling malang di dunia sebab tak pernah berpacaran akibat larangan orangtua. Ternyata, dia juga. Tapi lebih jelas alasannya, sebab faham dosa dan menjaga dirinya dari zina. Sedangkan aku, sebab kasta dan kehormatan keluarga.


Aku makin suka. Dan terpesona dengan cara menyampaikannya. Gadis seperti ini yang kucari. Selalu bermakna yang dikatakannya. Sederhana, pintar, dan sholehah banget sih dia. Jadi nggak tahan lama-lama, pengen ngehalalin aja. 


Aduh. Sabar, Alfa, masih puasa.


---


Kesungguhanku, mungkin ternampak nyata dari sorot mata. Atau dari sikapku setiap kali bertemu Adinda. 


Aku menjaga jarak dengannya. Benar. Sebab seperti yang kudengar darinya, ia menjaga diri dari zina. Kecuali saat berpapasan tak sengaja dan ini seringkali memang kuatur agar terkesan alami terjadinya. Padahal aku memang ngatur langkah supaya papasan sama dia. Sekedar lalu dan melihat sekilas aja, udah cukup bikin hati ini berbunga-bunga dengan desiran rasa yang makin menjulang ke ubun-ubun kepala. Ternyata, gini rasanya jatuh cinta. Desirannya terasa gaduh sekali di dada. Lalu aku tak bisa menahan senyuman setelah cepat berpaling darinya. Berseri-seri pasti ini muka. 


Atau diam-diam, aku mengintip dia dari kejauhan. Saat dia ngajar, aku membuka sedikit gorden di balik ruangan itu. Sambil pegang sapu, buat jaga-jaga kalau ketahuan. Atau menatapi punggungnya yang menjauh pergi dengan sepeda. Lenyap di ujung pagar masjid.


Tersenyum di sini. Mengamatinya yang tiap hari bikin aku makin suka. 


"Apa kamu sungguh-sungguh, Nak?" 


Aku terkejut. Segera berpaling. Mendapati Abi--Ustadz Yahya meremas pundakku dari belakang yang sedang menatapnya dari kejauhan. 


"Halalkan atau lupakan."


Aku menelan saliva. Lalu membaca situasi segera.


Dia Abi-ku sekarang. Dan kini sedang bertanya soal kesungguhan. 


Aku suka dia tapi bagaimana dengan kehidupanku yang sebenarnya? Apa harus jujur sekarang? Atau bertahan dengan penyamaran sampai waktuku di sini selesai?


Aku adalah Tuan Alfa, sang CEO ternama dari keluarga bangsawan, pewaris tunggal keluarga Edibagaskara.


Tapi di sini, aku adalah Kang Padi, marbot masjid yang hanya memiliki orangtua angkat, Ustadz Yahya dan istrinya. 


Dan aku menyukai seorang gadis shalihah, Adinda. Sebagai siapa aku harus datang padanya? Tuan Alfa atau Kang Padi?


Ada rasa takut yang menyerangku tiba-tiba. Entah sebab apa.


---


Bersambung ..12