Just another free Blogger theme

Thursday, August 14, 2025

 (26)  MARBOT ITU TERNYATA CEO 


Penulis: Lea

Bertemu Adinda





Pranata tidak mudah untuk dijinakkan. Saya tahu Tapi setidaknya orang-orangku sudah berhasil mengetahuinya. Meski hampir tertangkap dengan kewaspadaan dan perhatiannya. Aku memang bukan ahli kelicikan seperti dia.


Dan tidak ditemukan Adinda. Tidak ada tanda-tanda Adinda diculik oleh mereka. Lagipula, sejak awal sebenarnya aku memang meragukan jika Pranata sampai melakukan itu.


Jika sampai ia lakukan, justru dirinya lah yang terancam. Padahal aku tahu tujuannya, membuat Adinda membenciku.


Kalau bukan dengan Pranata, lalu dimana Adinda?


Aku mengusap muka. Semakin resah. Mustahil merasa baik-baik saja sementara istriku entah ada dimana.


"Adinda, kamu dimana, Adinda?" Aku bergumam sendiri.


Terus memberi perintah kepada masyarakat untuk mencari Adinda. Jadi bayangkan, betapa sulitnya meminta orang-orang saya mencari hanya dari fitur.


Sebab itu, beberapa kali aku terlonjak saat mendapat kabar dari salah satu ajudan, menemukan 'seperti Adinda. Sebagaimana ciri-ciri yang kusebutkan. Ada di stasiun.


Aku langsung melesat ke sana. Menemui seorang gadis berjilbab panjang dengan tampilan sederhana yang kabarnya baru ditinggalkan oleh suaminya, sedang ditahan oleh para ajudanku.


Salah orang.


Dan aku kecewa. Semakin cemas saja.


Kekhawatiran yang menjulang dan rasa rindu yang menggebu. Bagaimana mungkin bisa dikendalikan perasaan ini?


Sialnya, foto Adinda pun aku tidak punya. Di resepsi pernikahan sederhana kami saat itu, aku belum menyalin hasil potretan dari kamera handphone Abi Yahya. Sebab aku juga berpura-pura tidak memiliki handphone, sama seperti Adinda.


Aku mengambil kebijakan meliburkan perusahaan dua hari menjelang Hari Raya Idul Fitri. Keputusan sepihak dan mendadak. Padahal biasanya, cuti lebaran baru akan berlaku di hari H dan tiga hari setelahnya. Sebab Handi pun sedang kuragukan sekarang.


"Kenapa?" Papi sempat bertanya. Soal kebijakan yang kuberikan secara mendadak itu, bagi seluruh karyawan.


Aku mengatur nafas dan ekspresi khawatir yang menguasai hati. Demi menjawab senormal mungkin

Pertanyaan Papi.



"Oh, nggak apa-apa, Pi. Hanya memberikan waktu libur lebih panjang setahun sekali untuk semua karyawan kita," jawabku datar. Meyakinkan.


Papi menatapku.


"Sudah dipertimbangkan dengan matang?" tanyanya sambil menyeruput kopi.


Sejak kepemimpinan perusahaan diserahkan padaku, Papi memang hanya memantau dari rumah. Sembari rutin menerima laporan dariku.


"Tentu. Supaya karyawan semakin loyal dengan perusahaan kita. Dengan 'rasa pengertian' yang kita berikan dan waktu berlibur yang lebih panjang," jawabku lagi. Mencoba masuk akal.


Dan Papi mengangguk percaya.


Syukurlah.


"Bukan karena kamu ingin pergi lagi kan?" Tapi tiba- tiba Papi menembak.


Maksud Papi?


Ya, sedikit banyak Papi pasti menyimpan curiga, pada sikapku beberapa hari terakhir, setelah pergi dari penyamaran selama hampir satu bulan. Serapat apapun semua sikap coba kuredam, saat berhadapan dengan Papi dan Mami.


Aku belum menceritakan soal penyamaran menjadi marbot masjid yang kulakukan. Hal paling tidak masuk akal yang mungkin akan membuat Papi Mami justru jantungan. Sebab tujuan awalku memang hanya untuk mengatasi kejenuhan. Dan jika kusampaikan sejak awal, sudah pasti mereka tak akan setuju.


Aku juga menyimpan rapat soal Adinda, sampai hari ini. Sebab aku takut, khawatir luar biasa, jika orangtuaku tahu aku sudah menikahi seorang wanita sepertinya, lalu Papi dan Mami tak terima, maksudku, belum siap menerima, maka mereka justru akan menjauhkanku dari Adinda.


Bukan tidak mungkin bahkan akan menyembunyikan Adinda dariku, selamanya. Padahal sekarang pun Adinda masih belum bisa kutemukan. Sangat kucemaskan.


"Aku hanya masih ingin refreshing." Aku mengangkat bahu. Dengan ekspresi yang kudatarkan. Padahal dadaku tengah berdegub kencang.


Aku kembali, ke kota asal Adinda. Mencarinya. Tentu

Saja Aku mencarinya.



Kemana kamu, Adinda?


Lalu detik mendebarkan itu datang. Adinda ditemukan. Di suatu tempat yang teralpa kuingat.


Aku melangkahkan kaki ke tempat itu. Dengan jiwa yang gentar dan hati yang meronta-ronta. Begitu ingin memeluknya sekarang.


Di tanah kuburan.


Di makam almarhum Pak Adi, ayahnya. Adinda ada di sana. Memeluk kepala nisan dengan raut wajah paling menyedihkan.


Langkahku terhenti di jarak cukup jauh. Meredakan gejolak di dada ini. Rasa bahagia menemukannya dan kecemasan kembali menghampirinya.


Ternyata dia di sini. Mungkin sejak malam itu. Di malam kepergianku. Menurut laporan para ajudan, ia sempat pulang pagi tadi, ke rumah mungil itu, lalu kembali ke makam ini lagi.


Setelah ayahnya pergi, ia tak lagi memiliki siapapun kerabat. Lalu aku berikrar menjaganya. Dan terpaksa malam itu meninggalkannya.


Kakiku bergetar. Melangkah mendekat.


Aku masih mengenakan kemeja, dasi, dan jas kantor. Sungguh tak terpikir bahkan tak sempat berganti pakaian. Melompat dan terburu-buru menemuinya di sini setelah mendapat kabar dari orang-orang yang kuminta memantau tempat tinggalnya.


Tanpa tiga tompel besar Kang Padi. Juga dalam tataan rambut normalku, tidak culun seperti yang selama ini ia kenal. Aku menjadi Alfado Edibagaskara sepenuhnya. Diriku yang sebenarnya. Memang tak ada lagi yang bisa kusembunyikan darinya. Dia sudah mengetahui segalanya.


Sekian langkah di hadapannya. Aku berhenti. Merasakan panas menyergap dada dan ujung mata demi melihat kantung mata menghitamnya. Terlihat begitu menyedihkan. Adinda.


Seperti tersayat hati ini menyaksikannya.


"Adinda..." Dengan suara serak. Kuberanikan memanggilnya.


la mendongak. Menatapku dengan pandangan terluka. Lalu menunduk dalam. Mengemasi air mata. Berdiri. Membenarkan tas lusuh melintang di depan dada yang koyak-koyak di beberapa bagian. Tas satu- satunya miliknya, yang selalu ia bawa.


Aku berdetak menunggu.


Lalu dia berbalik dan pergi ke arah yang berlawanan.


Pergi?


"Adinda...." Aku mengejarnya.


Aku tahu, iní pasti terjadi. Mustahil ia tak menganggapku hanya mempermainkannya. Setelah semua yang ia lihat dan dengar. Semua fakta yang begitu tak terbantah. Fitnah atasku. Serta penyamaranku, ketidakjujuranku. Ketakutannya, traumanya. Aku sungguh sudah menyakitinya.


Dia mempercepat langkah. Hendak berlari dan segera kutahan lengannya. Memaksanya berhenti.


Kuburan sedang begitu sunyi. Tidak ada siapapun kecuali kami.


Dia berusaha menyingkirkan tanganku yang menahan. Dengan air mata yang berjatuhan. Masih menunduk. Sedikitpun tak mau mengangkat wajah. Tak mau melihat padaku.


Sakit sekali melihatnya seperti itu.


Ya, sakit sekali melihatmu seperti ini, Adinda.


"Adinda, dengarkan aku. Aku bisa jelaskan. Ini salah faham.


Aku menariknya untuk berdiri menghadapku.


la masih menunduk. Dan kulihat tetes-tetes bening dari matanya berjatuhan ke tanah. Dia masih bungkam. Menutup rapat bibir polos itu.


"Adinda. Lihat aku. Aku mohon percaya padaku. Aku tidak seperti yang orang-orang bilang. Aku memang menyamar, menjadi marbot masjid, menjadi Kang Padi. Ya, aku mengakui. Tapi aku punya alasan. Dan alasannya bukan atas dasar niat jahat. Tidak, Adinda. Aku hanya...."


Kalimatku menggantung. Saat tiba-tiba ia mengangkat kepala. Kembali menatapku dengan pandangan kecewa dan terluka. Pada mata yang berkaca-kaca. Seakan aku benar-benar menyakitinya.


Menatap mata sendunya. Wajah polosnya. Semua yang ada pada dirinya dan kurindukan begitu besar.


Terdiam beberapa saat. Sampai kudengar la bergumam pelan.


"Kamu siapa?" Bahkan seperti bisikan.


Aku? Dia bertanya tentang aku? Ah iya. Mungkinkah dia tidak mengenalku? Dengan penampilan berbeda ini? Bukan pria kutu buku yang sederhana. Ya mungkin.


Tapi kenapa dia pergi jika dia tidak mengenalku?


Dia menatapku. Dalam pandangan mata sendu yang begitu sulit kuartikan maknanya.


"Aku... suamimu, Adinda. Aku...."


Dia menggeleng.


"Bukan. Maaf, Tuan. Anda salah orang." Melepaskan cekalan tanganku. Lalu kembali melangkah cepat.


Aku kembali cepat menyambarnya.


Adinda."



Aku tahu ia hanya berpura-pura tidak mengenal. Setidaknya dia pasti mengenali suaraku.


"Tidak salah, Adinda. Kamu istriku-"


"Istri mainan?" Tiba-tiba ia memotong. Dengan suara parau. Kali ini kulihat kilatan marah yang terpancar, di matanya. Kecewa yang sangat besar.


Aku menggeleng. Sungguh akhirnya dia mendugaku seperti itu.


"Adinda. Dengarkan aku dulu-"


"Dengarkan saya, Tuan. Anda bisa memiliki apa saja, tapi tidak dengan perasaan seseorang." Pernyataan ambigu itu yang ia ucapkan. Memotong ucapanku.


Cepat ia membuka tas lusuhnya. Mengambil sesuatu dari sana. Ternyata gamis, baju, dan jilbab baru yang hari itu kubelíkan untuknya.


Didorongnya pakaian itu ke depan dadaku. Memaksaku mengambilnya kembali.


"Harga diri saya tidak semurah pakaian mahal ini. Meskipun saya tidak pernah memiliki pakaian baru. Anda tahu," ucapnya sambil terisak. Menekan. Lalu la berbalik cepat. Berlari pergi.


Harga Diri ?


Ya, saya menyentuhnya malam itu setelah membelikannya gaun ini. Jadi itu intinya? Saya memberi hormat padanya dengan gaun ini?


Seolah ada sesuatu yang sakit di hati yang satu ini. Untuk kesalahpahaman yang begitu besar. Sudut pandangnya yang semakin tak terkendali, padaku. Atas orang-orang kaya yang membuatnya trauma. Dan sekarang dia menganggapku sama.


Aku mengejarnya lagi. Melepaskan pakaiannya ia kembali terjatuh ke tanah.


"Bukan begitu, Adinda. Jangan pernah katakan itu! Aku tidak pernah memandangmu serendah itu! Aku mencintaimu, Adinda." Nafasku memburu. Dalam hangat di mata yang menjalari cairan bening di pipi akhirnya. Tapi ia tak mau melihatku. Malah sibuk menghapus air matanya sendiri. Menatap kaki, sandal jepit lusuh yang ia kenakan dan kini berhadapan dengan sepatu mengkilat pantofel yang belum sempat kuganti dari kantor tadi.


Seakan aku tengah memarahinya. Atau bahkan sedang menghinanya.


"Percaya padaku, Adinda. Aku bukan lelaki sebejat itu. Aku benar-benar mencintaimu, Adinda. Ikut denganku, Adinda. Ikut denganku." Aku mengguncang kedua lengannya agar ia mengerti dan mau melihatku.


Ingin memeluk. Tapi ia berontak dan semakin terisak. Lalu berhasil meloloskan diri lagi. Sebab aku tak pernah begitu kuat mencekal lengannya. Aku sungguh takut jika cekalan tanganku sampai menyakitinya.


Dia tidak percaya. Sungguh dia tidak percaya padaku.


Berlari. Dan aku tak mungkin membiarkannya pergi lagi.


Satu jentikkan jariku memberi aba-aba. Dan sepuluh ajudanku segera menghadang langkahnya. Berdiri melingkar. Memaksanya menghentikan langkah.


Aku terpaksa sekali melakukan ini. Aku harus membawanya. Meski dengan cara memaksa. Aku tak mungkin meninggalkannya lagi sendirian. Akan begitu sulit menemuinya jika ia pulang dan warga melindunginya. Dia bisa pergi kemanapun membawa kesalahfahaman di hatinya, atasku. Tak akan kubiarkan itu.


Aku tak akan pernah siap kehilangannya.


la menghentikan langkah di hadapan para ajudan berpakaian hitam yang berdiri rapat, menghalangi Jalannya.


Tak berdaya.



Lalu aku melangkah menghampirinya. Memeluk. Dan memaksanya ikut.


Kali ini, aku terpaksa harus menunjukkan kekuasaan.


Kuangkat tubuhnya masuk ke dalam mobilku. Membawanya kembali, denganku.


Maafkan aku, Adinda. Terpaksa aku memaksa, menjemputmu, dengan cara seperti ini.



Bersambung ....27

 (25) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea

Hancur Perlahan









Pak Pranata. Orang kepercayaan Papi yang kupecat secara tidak hormat tiga tahun lalu. Sebab melakukan penggusuran pada Masjid At Taqwa dengan mengatasnamakanku, lalu membuat berkas dukungan proyek palsu atas nama warga.


Jadi... jadi dia yang menghasut semua orang...? Apa maksudnya semua ini? Dia menyimpan dendam denganku? Padahal aku sudah berbaik hati dulu, hanya memecatnya, tidak menuntutnya meski sangat bisa kulakukan.


Tanganku mengepal marah.


"Bagaimana rasanya dipaksa berhenti di saat Anda sedang sangat berambisi menginginkan sesuatu, Tuan?" Tanyanya sinis. "Seperti itulah sakitku dulu!" Suaranya menekan. Kali ini benar-benar terdengar penuh dendam.


"Anda bisa mengelabui semua orang dengan penampilan ini tapi tidak denganku. Aku tahu karena aku selalu mengawasi Anda. Aku selalu tahu apapun tentang Anda. Dan aku bisa kapanpun menghancurkan hidup Anda. Bahkan lebih buruk dari ini!" Kalimat ancaman itu ia lemparkan dengan seringai mematikan.


Aku mendekat dan bermaksud menariknya keluar, berhadapan secara jantan. Tapi langkahku tertahan oleh cekalan dua orang pria bertubuh besar yang entah sejak kapan ada di sekitarku. Menahan langkah dan gerakkanku.


"Turun!"


Aku berusaha melepaskan kedua tanganku tapi tidak bisa.


"Kau! Aku bisa menuntutmu dan membuatmu menyesal!" ucapku marah.


Pranata tertawa kembali mendengar ancamanku.


"Apa? Menuntutku? Atas tuduhan apa? Bahkan Anda yang akan kalah sebelum membuktikan apapun. Anda ingin membuka 'aib' malam ini? Oke baiklah. Lakukan. Bagaimana dengan orangtua Anda yang bahkan juga tidak tahu-menahu tentang hal terbodoh yang dilakukan putra mahkotanya satu bulan ini? Menyamar menjadi marbot masjid. Oh, memalukan sekali. Anda ingin membongkarnya dengan cara yang hebat? Good!" seringainya penuh ejekan.


Aku menatapnya dengan sumpah serapah yang masih berusaha kutahan.


"Kenapa, Tuan Alfa? Anda ingin berteriak meminta pertolongan dengan warga? Oh, silakan! Berteriaklah. Dan silakan ucapkan kalimat perpisahan sekarang juga, pada dunia ini" la kembali tertawa lagi


Dia tahu aku sedang berada dalam posisi serba sulit. Aku ingin bertahan di sini tapi tidak bisa. Juga ingin memenjarakannya tapi aku yang justru terancam dari sisi manapun. Aplaagi soal pernikahan ya g masih kusembunyikan ada Papi dan Mami. Dan penyamaran ini yang tak mungkin kusampaikan pada mereka


Pranata, dia benar-benar licik.


"Anda terlalu berhati malaikat, Tuan Alfa. Sangat em... bodoh." Ekspresinya mengejekku benar. Aku tahu ia masih menyimpan sakit hati dan menyangsikan tindakanku dulu, menghalanginya dari menggusur Masjid At Taqwa demi proyek pembangunan mall yang pasti akan mendatangkan keuntungan besar bagi perusahaan. "Aku bahkan tidak menyangka Anda sampai menikah di tempat seperti ini, dengan wanita seperti itu. Oh, selera Anda memang sangat buruk rupanya. Yah, kampungan!"


Kemarahanku kian tersulut. Mendengarnya menjelekkan Adinda.


"Tenang saja, Tuan Alfa. Kupastikan wanita itu akan benar-benar membenci Anda. Dan silakan menunggu akibat terburuk dari merahasiakan pernikahan memalukan ini dengan Tuan Besar Edibagaskara dan Nyonya Helena yang begitu membanggakan Anda dengan gelar kebangsawanan kalian. Sekuat apa mereka kuasa menahan malu atau justru merasa ditipu, oleh satu-satunya anak kebanggaan mereka."


Kurang ajar, ia sekarang mengancamku dengan hal yang paling kutakutkan. Tanganku kembali mengepal. Dalam perasaan yang kian tersadar, akan satu hal terpenting yang terlambat kuakui sekarang.


"Dan silakan menunggu apa yang akan dilakukan Tuan Aldo Amagatta begitu mengetahui ada penyusup yang ups ... bahkan berani-beraninya menyamar sebagai marbot di masjid yang ia bangun dari lahan yang ia perjuangkan. Anda tahu ia seorang yang tak pernah membiarkan musuh hidup dengan tenang, apalagi berani mengusik miliknya." Ia menatapku tajam. Dengan ancaman yang begitu masuk akal.


"Maka nikmatilah kehancuran Anda perlahan-lahan. Anggap saja ini pembalasan setimpal dari apa yang Anda lakukan tiga tahun lalu padaku." Dia menatapku penuh permusuhan.


Lantas menutup kaca mobil dan meninggalkanku yang frustasi sendirian.


Seketika wajah Adinda, Mami, Papi, Abi, dan Umi melintas kembali di benakku. Membuat kepalaku berdenyut kuat dan dadaku terasa sesak.


Aku tidak tahu siapa saja orang yang bisa kupercaya dan harus kuwaspadai sekarang. Yang pasti, Pranata-pria licik yang usianya terpaut dua puluh tahun lebih tua dariku dan pernah bekerja di perusahaan keluarga kami selama bertahun-tahun lalu kupecat secara mendadak itu, masih menyimpan dendam dan mengintaiku untuk melakukan pembalasan. Entah lewat siapa.


Sempat kupikir lewat Handi, asisten kepercayaanku. Bisa jadi mereka bekerjasama dan sengaja menjebakku untuk menjadi marbot di Masjid Almira Tiga. Sebab kurasa, hanya Handi yang mengetahui tentang rahasia penyamaranku itu, bahkan yang kulakukan atas ide dan usulannya. Tapi sikap Handi sebelum dan setelah kejadian semalam tak menunjukkan hal samasekali.


Hari ini, di hari pertama aku kembali ke perusahaan-terpaksa masuk bekerja atas desakan Papi yang mendapat laporan masalah perusahaan dan proyek-proyek yang telah kupending hampir satu bulan. Dan juga untuk melakukan pengecekan mendalam terhadap seluruh aset perusahaan, jika saja Handi yang kuberi kepercayaan untuk menghandle semua selama aku tidak ada melakukan cara curang dan kelicikan, bekerjasama dengan Pranata.


Sebab, hal tersebut sangat mungkin terjadi.


Tapi hingga berkas dan laporan terakhir yang kuperiksa, tidak ada kejanggalan dan kecurangan yang patut dicurigakan pada Handi, samasekali.


"Selamat pagi, Tuan Alfa." Handi muncul di ruanganku setelah aku memanggilnya.


"Pagi." Aku menatapnya tajam tanpa ekspresi. Berusaha menelisik kejujuran atau kecurangan yang ia sembunyikan.


Sebaliknya, ia justru tersenyum manis ke arahku. Dalam raut penuh tanya dan menyimpan rasa penasaran yang nampak kentara.


"Saya kira Anda baru akan kembali dua hari lagi. Setelah genap satu bulan. Bagaimana pengalaman Anda dalam penyamaran itu, Tuan? Semoga ampuh mengobati kejenuhan, Anda pada semua kekayaan ini." Ia membalas tatapanku dengan raut hormat.


Sementara aku menatapnya semakin lekat.


"Oh ya, pekan lalu Tuan Edibagaskara mendesak saya untuk memberikan nomor ponsel baru Anda sebab Ibu Anda mengalami kecelakaan. Tidak apa- apa kan, Tuan?" Sepertinya ia mulai menyadari sikap berbedaku.


Aku berdehem sejenak. Menetralkan perasaan. Sikap Handi benar-benar membingungkan, sepertinya dia memang tidak terlibat dengan Pranata. Tapi darimana pria jahat itu mengetahui soal penyamaranku? Bukankah hanya Handi yang tahu? Atau memang ada pengintainya di perusahaan ini? Yang terus memata-mataiku?


Atau... mungkinkah Handi hanya sedang bersandiwara sekarang?


Entahlah. Yang pasti, aku harusnya semakin berwaspada, pada siapapun.


Aku mempersilakan Handi keluar tanpa mengucapkan apapun lagi. Membenamkan kepala ke atas meja berlapis kaca tebal nan mengkilat di hadapanku, meja kebesaran tertinggi di perusahaan ini.


Semua yang membuatku semakin berjarak dengan seseorang yang paling kupikirkan dan sangat kurindukan sekarang, istriku, yang bahkan masih kurahasiakan, Adinda.


Bagaimana kabarmu hari ini, Adinda? Apa kamu membenciku? Atau masih memberiku kesempatan menjelaskan walau semua orang tak mempercayaiku, seperti yang kamu bilang semalam?


Adinda, aku sangat rindu.


Bayangan kebersamaan dengannya berkelabat di kepalaku. Saat-saat manis yang merajai hati dan isi kepalaku ini.


Aku begitu merindukan wanita bermata syahdu dengan semua kesederhanaan hidupnya itu. Pencuri separuh jiwaku. Istriku.


Kondisi Mami membaik dalam perawatan intensif beberapa hari ini. Tentu saja sebab Mami mendapatkan pelayanan, tindakan, dan obat-obatan terbaik. Uang memang bisa mempermudah segalanya. Termasuk kesehatan dan kepulihan.


Begitu juga yang dialami Pak Adi, almarhum ayah mertuaku. Jika saja ia memiliki cukup uang, atau seandainya saja aku mengenalnya sejak awal, mungkin penderitaannya tak demikian memprihatinkan.


Di malam wafatnya, aku menerima laporan tentang salah satu pemicu keparahan kondisinya, yaitu sebab seringnya ia mengalami ketelatan menjalani jadwal cuci darah. Keterlambatan mengkonsumsi obat-obatan yang sangat terbatas bisa mereka tebus. Adinda begitu mati-matian memperjuangkan uang untuk memenuhi kebutuhan sakit keras ayahnya itu.


Wanita kuatku. Dialah yang mengorbankan segalanya untuk ayahnya dan berusaha sekuat tenaga.


Dia yang membuatku begitu terpesona.


Malam ini aku tidak bisa terlelap. Mustahil bisa memejamkan mata sementara jiwaku tertinggal bersama seseorang yang begitu kupoja dan kukhawatirkan begitu hebatnya. Adinda.


Kepulanganku karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain, seperti yang diperintahkan Aki kemarin. Saya harus pergi. Bahkan selamanya.



Selamanya? Mana mungkin selamanya aku bisa meninggalkan Adinda di sana.


Aku membuka mata, meraih kunci mobil dan berlari menuruni tangga. Menggapai kemudi mobil lalu bergegas menuju tempat itu lagi. Pijakan dimana ia berada.


Aku akan menjemputnya. Menjelaskan segalanya. Mungkin belum terlambat.


Kurasakan hawa panas menyergap mata saat tiba di halaman Masjid Almira Tiga. Tempat yang begitu akrab denganku belakangan ini.


Aku datang tidak sendiri. Seperti yang dikatakan Abi, datang kembali dan sendiri ke tempat ini, sama artinya aku tengah menentang mautku. Orang- orang di tempat ini begitu membenciku dan bisa melakukan tindakan tak tertakar yang membahayakanku.


Sepuluh orang ajudan menemaniku, di mobil yang berbeda. Sekedar untuk berjaga-jaga. Kami tidak akan menyerang, hanya melindungi diri jika ada hal yang mengancam.


Aku tidak melibatkan dan mengatakan apapun pada Handi. Kurasa tidak ada yang bisa kupercaya sekarang. Semua masih begitu gelap. Siapa yang terlibat bersama Pranata dan semua rencana ini.


Sebelum Adinda benar-benar terhasut, aku akan 'menjemputnya'. Hanya perasaannya yang sungguh-sungguh sangat kupikirkan sekarang.


Aku tiba di depan pintu rumah mungilnya. Rumah sederhana yang merajutkan banyak sekali memori indahku bersama Adinda.


Kuketuk pintu tanpa panggilan. Sebab suaraku sungguh tercekat di tenggorokan. Antara rindu yang menggebu dan rasa khawatir yang mencekam. Menebak ekspresi Adinda, saat kembali bertemu, denganku yang sebenarnya, Alfadi Edibagaskara, bukan Kang Padi bertompel yang selama ini ia kenal.


Beberapa kali kuketuk, tidak ada tanda pintu akan dibuka. Bahkan saat kutelisik lewat sela jendela, sungguh gelap di dalam, tidak ada tanda keberadaannya.


Baru saja berniat menuju jendela kamar, langkahku tertahan oleh suara beberapa orang yang melewati jalanan di depan.


Aku segera menyingkir, menyembunyikan diri. Hanya untuk tak memancing keributan dan menimbulkan kegaduhan yang mungkin akan terjadi, jika ada warga yang melihatku di sini. Meski aku membawa para ajudan yang bisa segera mengamankan. Tapi sungguh, bukan kekuasaan sebenarnya yang ingin kutunjukkan.


Aku bersembunyi di sisi rumah yang gelap, menundukkan diri.


Lalu kalimat-kalimat itu terdengar seperti desiran angin malam yang begitu menyakitkan.


"Jadi Kang Padi itu cuma status samaran dari pengusaha jahat yang sudah ngehancurin Masjid At Taqwa dan sekarang lagi berambisi ngehancurin Masjid Almira juga buat ambisinya bangun tempat perbelanjaan modern di sini?" Suara seorang wanita paruh baya terdengar samar dan kian mendekat.


Mereka sedang membicarakanku. Tentang sebuah fitnah tak terbantah, atasku.


"Iya. Duh, kurang ajar memang. Aji mumpung banget lagi nyari perawan di sini. Adinda yang sholeha lagi jadi korbannya. Pantas dinikahi acara siri. Sudah bapaknya dulu dipenjarakan pas lagi sakit-sakitan waktu ngebela Masjid At Taqwa, eh anaknya dinikahi palsu juga."


Dadaku terasa panas. Pernikahan palsu? Seburuk itu penilaian mereka atasku? Bagaimana dengan penilaian Adinda? Apa sama?


Aku resah dan semakin merasa gelisah. Di balik rindu yang kian bercampur dengan ketakutan.


"Iya, kasihan banget si Dinda. Sudah tinggal sebatang kara, dijadiin mainan orang kaya nggak punya hati itu pula. Siapa namanya? Tuan Alfa?" Sebuah suara lagi menyahut. Terdengar jauh lebih jelas karena posisi mereka yang kian dekat melewati rumah ini.


"Iya. Dan tahu nggak, ternyata si Tuan Alfa yang nyamar jadi Kang Padi itu masih sodaraan emang sama Tuan Wendi, orang kaya juga yang nikahin Tita secara siri. Terus ditinggalin gitu aja juga. Dimaki-maki istri pertamanya dikatain pelakor pula. Sudah jatuh ketimpa tangga namanya!"


Tanganku mengepal. Jadi berita itu, soal hubungan kerabatku dengan Wendi pun sudah menyebar di sini. Saudara sepupu yang selalu dikatakan Mami dan Papi sebagai contoh buruk. Bahkan Mami dan Papi melarangku berhubungan atau dekat dengan Wendi. Salah satu kerabat yang sangat mereka benci. Lalu hari ini, di mata semua orang aku justru dicap sama dengannya.


"Cih! Dasar para pria kaya penjahat selangakangan. Tega bener. Cuma jadiin perempuan kayak mainan. Bener-bener cari yang emang polos, sholeha, dan perawan aja. Untung cepat ketahuan. Dinda juga belum sebulan ini dinikahin palsu gitu. Walau pasti udah diapa-apain."


Seperti mendapat tusukan jutaan jarum di pusat jantungku saat mendengar kalimat terakhir disebut. Seakan aku sebejat itu. Seolah memang itu tujuanku, mengambil 'kegadisannya'. Padahal tidak. Samasekali tidak. Aku benar-benar tulus dengannya.


Aku mendengarkan dalam rasa sakit yang makin menyiksa. Terlebih saat membayangkan penilaian dan oerasaan hancur Adinda saat ini, atasku.


Kian tak sabar bertemu dan menjelaskan, meluruskan segalanya dengan Adinda.


"Terus Dindanya nggak ada ya? Rumahnya kosong tuh. Ustadz Yahya juga udah nyari kemana-mana dari tadi pagi. Kayaknya udah nggak ada dari kejadian semalam."


Aku terhentak. Terkesiap. Adinda tidak ada di sini?


"Iya. Kayaknya diculik deh sama orang kaya itu. Mungkin kemarin malam pas warga udah bubar. Semoga nggak dijahatin lagi aja. Mau dilaporin polisi juga nggak ada bukti. Apalagi status Ustadz Yahya kan cuma sahabat almarhum Pak Adi."


Apa? Jadi Adinda hilang?


Aku benar-benar dihantam kesadaran dan kekhawatiran yang mencapai ubun-ubun sekarang. Memikirkan Adinda. Dimana dia? Dimana istriku sekarang?


Bahkan aku kembali dituduh menculiknya, padahal malam ini aku baru datang, untuk menjemputnya.


Adinda tidak ada? Apa Pranata menculiknya?


Aku segera berangkat membubarkan orang-orangku untuk segera mencari Adinda. Juga mencari keberadaan Pranata.


Tak akan kubiarkan sedikitpun ia melakukan sesuatu pada Adinda.


Walau mungkin saat ini, Adinda juga tengah membenciku yang ia kira mempermainkannya.



Bersambung ....26

Sunday, August 10, 2025

 (24) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea

Fitnah






"Aku mencintaimu, Adinda." Kalimat itu kembali kukatakan sebelum mengungkapkan kejujuran. Padanya, aku sungguh sangat cinta.


"Adinda juga," ucapnya dengan teduh sekali, terdengar dari hati dan terasa sekali menembus hatiku ini.


Menghadirkan retakan mendebarkan yang semakin kuat setiap saat. Atas namanya sendiri.


Bukankah tidak ada yang lebih membahagiakan selain dua orang yang saling mencintai dan bisa bersatu seperti ini?


Aku mencintai dia dan aku pun mencintai kehidupan sederhana ini. Apa untuk ini, aku harus bersembunyi dalam penyamaran ini selamanya?


Benarkah aku sanggup bertahan selama itu?


Ini sungguh memalukan.


Aku takut mengakui semua. Tapi logikaku terus menguat. Aku harus mengatakan sekarang, tak bisa lagi kutunda. Apapun yang akan terjadi, aku harus mengungkapkan yang sebenarnya.


Bertanggungjawab atas keputusanku sejak awal mengajukan niatan meminangnya lewat Abi Yahya dengan penyamaran ini. Saat aku datang kepadanya sebagai Kang Padi, bukan sebagai Tuan Alfa. Padahal sungguh, sejak awal aku memiliki pilihan untuk jujur. Tanpa kebohongan. Tapi ketakutanku saat itu, dari melihat penolakannya pada Ustadz Khalid dan pria 'kaya' lainnya, membuat aku bertahan dalam keputusan, berbohong menjadi 'lelaki biasa'.


Malam itu, di malam aku mendadak harus menikahinya pun, sebenarnya aku selalu memiliki pilihan untuk jujur. Bahkan di hadapan ayahnya. Tapi lagi-lagi aku tak melakukannya.


Hingga hari-hari yang terlalu membahagiakan bersamanya membuatku tak ingin mengusik sedikitpun kebersamaan dengannya. Setiap detik yang terasa begitu berharga. Seakan aku tak pernah siap jika hari-hari membahagiakan itu akan sekejap berakhir begitu aku mengakui yang sebenarnya.


Lantas aku mencari pembenaran bahwa aku tengah mempersiapkan sudut pandangnya sampai bisa menerima semua kenyataan yang akan kuungkapkan. Dan itu semua sebenarnya hanya alasan yang kupaksakan demi tak mengusik kenyamanan yang baru kali ini kurasakan. Hidup bersama seorang wanita yang membuatku benar-benar jatuh cinta.


Padahal aku sungguh memiliki banyak waktu untuk mengakui sebelum hari ini.


Dia kembali tersenyum ke arahku. Mengajak masuk. Menyadarkanku dari semua yang berkelabat dalam pikiran, hari-hari indah yang kulalui dengannya.


Aku mengangguk. Benar, bicara di dalam lebih baik.


Kami masuk, dengan masih berpegangan tangan. Selayaknya dua sejoli yang sedang diliput kasmaran. Bahkan di dalam ikatan hubungan yang halal.


Aku memegang erat satu tangannya, menautkan jemari dan menahan tubuh itu dengan menekan lengan ke daun pintu yang baru saja dikuncinya.


Suasana hening, kami berhadapan, hanya berdua, dan saling suka, juga saling cinta, nyaris membuat aku kembali lupa pada hal paling harus kuungkapkan, sekarang juga.


Ya. Aku tersadar akan harusnya menahan diri, saat ini.


Kutahan nafas segera, menarik mundur tubuhku lagi yang sudah mengunci semua gerakannya di daun pintu. Meski dia sudah memejam dan akan pasrah dengan apapun yang suaminya ini inginkan. Atau sebab naluri wanitanya juga mengharapkan. Dua hari tak bertemu membuat rindu ini membuncah hebat di balik dadaku. Dan pada dirinya pun, aku bisa melihat itu. Kami, sebagai pengantin baru. Yang bahkan baru melalui malam pertama dua hari lalu. Kemudian aku pergi tanpa kabar padanya keesokan harinya.


Aku menatap wajah polos dan mata terpejamnya.


"Adinda." Berbisik.


Ini membuka mata. Dan segera bertemu dengan tatapan tetapku.


Aku yang menatapnya penuh harap. Ba' seorang terdakwa yang akan mengakui semua dosa dan bersiap atas keputusan hakim setelahnya.


"Ya?" Ia mengerjap, dengan nada bertanya.


"Ada yang ingin kukatakan." Saya saat ini, dengan putus asa mengumpulkan kepercayaan diri. Tidak ada keraguan lagi.


"Hem? Setelah Kanda makan malam aja? Adinda siapkan dulu ya?" Selanya dengan begitu lembut. Istri sholeha yang kian membuatku jatuh cinta.


Bahkan sejak detik pertama aku tiba, ia menahan diri untuk memberondongku dengan banyak sekali pertanyaan yang tersimpan di balik dadanya, aku tahu. Sebenarnya ia ingin bertanya, aku dari mana? Mengapa tak berpamitan sebelum pergi? Mengapa baru pulang?


Ya, aku tahu, pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya memenuhi dadanya. Tapi ia menahan diri untuk mengusikku segera. Malah mengajak masuk, lalu menawarkan makan malam. Bukankah dia istri impian yang memang begitu kudambakan?


Aku sangat merindukan pasangan hidup seperti dia. Bening Hatinya nan sederhana dalam segala halm  Dia cantik di dalam kealamian sebenarnya. Maka lalu kuat dalam kesholihan sesungguhnya 


Aku menggeleng.


"Atau Kanda mau istirahat dulu?" la kembali menawarkan.


Aku menggeleng lagi. Posisi kami masih sama. Berhadapan. Dia menyandar di daun pintu dan aku mengunci dengan sebelah lengan, tepat di sisi pundaknya.


Masih seperti ini dan aku tak ingin menunda kembali. Untuk makan ataupun beristirahat. Tidak, aku tak akan mengulur waktu lagi.


"Sekarang, Adinda." Aku menarik nafas dalam. Bersiap mengucapkan pengakuan yang pasti akan begitu mengejutkan baginya. "Aku-"


Tok tok tok!


Ketukan pintu yang berada tepat di belakang punggung Adinda sungguh mengejutkan. Dia melompat dan secara refleks memelukku lagi.


Kasus! Kasus! Kasus!


Ketukan di pintu semakin keras. Tidak ada panggilan.


Aku mengernyitkan dahi. Siapa lagi?


Lalu menggeser Adinda ke sisi tubuhku saat ia melepaskan pelukan. Lantas aku membuka pintu dan....


Bangkrut!


Tubuhku termundur ke belakang hingga membentur dinding pliwot kamar. Oleh dorongan kuat seseorang.


Aku terhenyak dan Adinda menjerit tak kalah terkejut.


Abi Yahya. Abi yang mendorongku. Dan menatapku dengan mata memerah menahan buncahan amarah.


Ada apa? Bukankah Abi dan Umi baru saja pergi tadi? Kenapa tiba-tiba kembali? Dan bersikap seperti ini?


“Abi?”


"Jangan panggil aku seperti itu lagi!" Suara Abi Yahya yang biasanya lirih kini terdengar begitu menekan.


Aku semakin kebingungan.


Di belakangnya, Umi nampak menatapku dengan pandangan ragu.


Ada apa ini?


"Umi? Abi? Kenapa?" Aku berusaha untuk menenangkan Abi yang nampak begitu marah dan Umi yang memancarkan wajah cemas. Tak pernah aku melihat Abi Yahya semarah ini.


Abi malah mendekatiku. Memaksaku untuk mengeluarkan dompet bahkan merebutnya sendiri dari kantung celanaku. Lantas mengeluarkan KTP ku yang jelas ada di sana. Aku baru saja melakukan perjalanan antar kota. Tentu kartu identitas itu kubawa serta untuk berjaga jika ada razia. Aku belum sempat menyimpan dompet dan seluruh kartu identitasku seperti biasanya, saat aku menyamar menjadi Kang Padi.


Dan di kartu identitas itu, jelas sekali tertulis namaku beserta wajah asliku.


Abi mengangkat dan menunjukkan KTP itu ke hadapanku.


"KTP hilang? Lalu apa ini? Apa Anda akan beralasan kalau ini hanya dompet dan kartu identitas yang tidak sengaja ditemukan di pinggir jalan?!"


Aku terdiam dalam gentar. Bahkan semakin bergetar saat Abi menyebutku dengan sebutan 'Anda', bukan 'Nak' seperti biasa. Padahal aku sungguh sudah menganggap mereka sebagai orangtuaku sendiri.


Tak tahu harus menjawab apa sekarang.


"Ayah, jangan-" Adinda berusaha melindungiku. Tapi Abi menahannya.


Lalu begitu cepat ia menarikku dan dengan keras mencabut tompel yang menempel di pipi kananku, lalu di pipi kiri, kemudian dagu. Sebelum aku sempat mengelak. Ah, lebih tepatnya aku memang tidak mengelak. Kekuatanku rasanya sungguh melebur saat ini.


Tiga tompel sintetis itu sudah terlepas dari wajahku. Membuat Adinda yang masih berusaha melindungiku segera terdiam, mematung. Menatapku tak percaya. Sangat terkejut.


Secepat itu pula, dengan kasar Abi mengambil sebuah majalah bisnis dari tangan Umi, menunjukkan halaman yang memuat foto dan identitas serta namaku yang tercetak besar di sana. Fotoku dalam balutan tuxedo ternama di ruang kerja nan mewah perusahaan. Nyata tertulis, Alfadi Edibagaskara- CEO Bagaskara Coorporation.


"Aku bisa jelaskan...." Nafasku sungguh kacau. "Adinda... percaya padaku. Aku bisa jelaskan semua ini. Jangan salah faham." Sungguh aku diserang kepanikan tak terkira.


"Apa rencana Anda dengan menyamar dan menyusup seperti ini? Ingin menghancurkan Masjid Almira seperti Anda menghancurkan Masjid At Taqwa?! Jadi sebesar itu ambisi Anda untuk menjadikan lokasi ini sebagai pusat perbelanjaan modern?!" Pertanyaan bernada tuduhan dan kesimpulan itu segera dihujamkan Abi kembali padaku.


Aku benar-benar tak diberi kesempatan untuk bicara.


Sementara Adinda sungguh mematung dengan air mata yang tumpah tanpa suara. Mematung menatapku dalam sorot mata sangat terluka.


Tidak ada yang lebih menyakiti hatiku selain melihatnya disalahpahami seperti ini. Merasa sangat berhati-hati. Sebenarnya aku sudah tidak peduli lagi dengan kemarahan Abi.


"Adinda...." Aku berusaha menggapai.


Tapi Abi justru cepat menepis tanganku. Lalu menampar pipiku dengan keras.


Plak!


"Jangan sentuh dia dengan tangan kotormu itu, Tuan Alfadi Edibagaskara! Setelah dulu Anda memenjarakan almarhum Adi di tengah sakitnya, lalu sekarang mempermainkan putrinya? Untuk membalas dendam?! Begitu? Apa belum puas?!" Abi menatapku dengan pandangan mematikan. "Aku menyesal pernah menganggapmu sebagai anak." Suara Abi bergetar dan terasa sangat menyakitkan. Ia menggeleng berat.


Aku juga merasakan sakit sekali, mendengar kalimat itu.


Lalu tubuhku didorong keluar oleh Abi. Dalam kemarahan yang tak bisa ia tahan. Kekecewaan yang begitu hebat, padaku. Kesalahpahaman paling tak kubayangkan.


"Pergilah! Dan jangan pernah kembali lagi! Semua orang di sini tahu, sia-sia sekalipun menuntut Anda ke pengadilan atas tuduhan yang bisa dengan mudah Anda bantah dengan uang dan kekuasaan. Tapi orang-orang di sini juga tahu, cara membalas kekecewaan dan sakit hati. Menghakimi Anda tanpa ada yang membela, tanpa perduli nyawa, saat ini." Abi menatapku tajam. Dan dalam.


"Abi-"


"Pergi sekarang!" Kali ini aku bisa merasakan, kemarahan Abi adalah layaknya kemarahan seorang Ayah pada anaknya. Marah karena sayang.


Ya, sampai detik ini aku tahu dia masih menganggapku anaknya. Anak angkat. Meski tadi ia membantahnya.


Seiring kudengar ramai suara orang-orang berdatangan, mendekat ke rumah ini.


"Pergi sekarang! Atau mereka akan tiba dan mengeroyok Anda malam ini! Pergi! Dan jangan pernah kembali lagi! Warga tidak akan mungkin mendatangi ke tempat tinggal atau perusahaan Anda. Tapi jika Anda yang berani datang tanpa pengawalan, itu sama artinya mengantar nyawal Pergil Abi mendorongku dengan keras. Hingga aku terjerembab ke sisi rumah yang terhubung dengan jalanan setapak. Lalu melemparkan dompet

serta KTP ku yang tadi diambilnya.


Kemudian sekali lagi menghardik agar aku segera pergi. la sedang melindungiku. Tak ingin warga menyakitiku.


Orang-orang itu datang. Kian dekat. Dengan teriakan-teriakan menyebut namaku. Seperti siap memangsa.


Aku tersadar. Benar kata Abi, bertahan di sini sekarang sama artinya mengantar nyawa. Mereka yang masih menyimpan sakit hati akibat penggusuran Masjid At Taqwa dengan berkas perintah atas namaku. Lalu mengira saat ini pun aku sengaja menyusup, membuat rencana untuk kembali menggusur Masjid Almira.


Mereka salah faham. Tapi dalam kemarahan seperti itu, tak satu pun akan mau mendengar penjelasanku.


Bertahan di sini sama artinya, menentang maut. Lalu bagaimana dengan Mami dan Papi?


Hanya ada satu cara menyelamatkan diri. Pergi. Seperti yang kembali dihardikkan Abi dari teras rumah mungil itu.


"Ayo cepat"


Aku berdiri. Terhuyung. Lalu melangkahkan keki cepat. Pergi, dengan setengah berlari, meninggalkan setengah hatiku di rumah itu, melalui arah berlawanan dari datangnya orang-orang.


Aku sempat mendengar protes Abi yang berbohong kepada orang-orang yang datang.


"Tidak ada. Lelaki jahat itu tidak datang kemari. Ya kan, Ananda Dinda? Sudahlah lupakan saja. Pasti dia memang benar-benar kabur setelah menduga penyamarannya akan terbongkar. Sudah! Bubar!"


Abi sedang melindungiku. Meski dia tak ingin lagi melihatku.


Aku lari, tanpa menoleh ke belakang. Membawa rasa gejolak di hati. Dan rasa takut yang sangat besar terhadap bayangan Adinda ada di dalam diriku saat ini. Air matanya dan ekspresi kagetnya. Sangat menyakitkan.


Pikiranku kacau sekali. Dipenuhi tanya, dari mana mereka mengetahui penyamaranku dan bisa menyimpulkan sejauh itu? Menuduhku berniat jahat, rencana penghancuran Masjid Almira? Siapa yang mengarang semua fitnah ini?


Lalu bagaimana aku menjelaskan semua ini pada Adinda jika dia pun tak lagi percaya?


Adinda.....



Mataku terasa panas. Aku sudah berlari cukup jauh. Nafas berkejaran dan aku terhenti dalam bayang patah hati paling mematikan. Dalam tuduhan yang begitu sulit kupatahkan.


Sebuah mobil melintas dan berhenti cukup dekat denganku. Kaca kemudinya terbuka dan muncul dari sana seraut wajah licik yang menatapku dengan pandangan penuh kepuasan.


"Nikmati semua ini, Tuan Alpha!" Dia tersenyum licik padaku.


Membuatku terkesiap hebat.



Bersambung ....25

 (23) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Leaa

Pembelaan Adinda







Aku melangkah mendekat pada pintu yang tertutup tak rapat di hadapanku. Bermaksud segera masuk. Memastikan apa yang terjadi.


"... mencurigakan sejak awal memang Kang Padi itu." Suara berat seorang lelaki dewasa dari dalam terdengar, membuatku menghentikan langkah.


Sepertinya pengurus Masjid Almira Tiga sedang berkumpul di dalam.


"Iya. Makanya dari awal pun nggak jelas asal-muasalnya dari mana, orang baik atau bukan. Kita nggak tahu. Ngaku-ngaku aja sebatang kara dari desa. Dari desa mana?! Nggak jelas sekali kan?! Bahkan nggak ada pernah menunjukkan KTP nya. Padahal seharusnya KTP nya ditahan sejak awal! Kok bisa sih kita kecolongan?!" Suara keras lelaki dewasa lain menyusul pembicaraan di dalam.


Membuatku benar-benar urung mengetuk pintu.


Mereka sedang membicarakanku.


"Iya, betul. Mestinya jangan menerima marbot sembarangan. Walaupun cuma untuk sementara. Kan ada aturannya. Kalau begini, penyesalan untuk kita semua. Terutama Ananda Dinda. Ditipu sampai dinikahi!"


Kupingku memanas. Pun hatiku benar-benar diliput cemas. Mendengar ketegangan pembicaraan di dalam. Menebak-nabak, apa yang mereka simpulkan atasku.


Kali ini aku mencoba mengintip sedikit. Dari posisiku di depan pintu yang renggang ini, tepat terlihat Abi Yahya dan Umi, orang tua angkatku yang menunduk dengan ekspresi wajah yang tak terbaca dari sini.


Abi.


Umi....


Ada yang bergetar dalam hati ini, melihat mereka malam ini. Aku melihat Ummi

menyapu air mata. Ada apa? Apa mereka sedang disalahkan oleh orang-

orang ini?


Mereka yang benar-benar menganggapku sebagai anak kandung. Kepalaku memanas. Pun tanganku mengepal sekarang.



Lalu, dimana Adinda? Tidak terlihat dari posisiku ini. Adinda, apa dia juga menganggapku sama seperti tuduhan orang-orang ini? Apa dia sedang sesedih Umi? Atau jauh lebih terpukul dari itu?


"Iya. Saya yakin itu juga alasannya nggak mau ngurus pernikahan secara resmi di KUA. Alasan aja dia bilang KTP nya hilang. Pasti karena ada yang disembunyikan. Padahal memang cuma mau aji mumpung sama Ananda Dinda. Sudahlah menikahi gadis perawan daerah sini, mencuri kotak amal, kabur gitu aja lagi! Dasar Kang Padi itu penipu! Kita sudah umumkan ke jamaah tarawih tadi, pokoknya siapa saja yang melihat Kang Padi berkeliaran dimanapun, tangkap! Bawa kemari! Kita adili bersama supaya jera!"


Aku terhenyak hebat. Dengan degub jantung yang kembali menghentak.


Jadi... mereka mengira aku kabur? Meninggalkan Adinda bahkan mencuri kotak amal?


Tunggu dulu... itu semua terdengar seperti suara para pengurus Masjid Almira Tiga. Jadi mereka sudah tahu aku pergi tanpa kabar selama dua hari ini? Dan demikian buruk kesimpulannya? Ya, jelas saja mereka tahu. Aku selalu ada di Masjid Almira selama ini. Jika aku tidak ada, mereka pasti mencari.


Ya, aku memang berbohong, menyamar, tapi aku tidak menipu. Tidak mungkin mencuri kotak amal masjid apalagi memanfaatkan Adinda dengan menikahi lalu meninggalkannya begitu saja.


Masalah ini terasa semakin rumit. Urusanku jika begini bukan hanya memberikan penjelasan yang sebenarnya pada Adinda dan Papi Mami. Tapi juga pada semua orang.


"Benar. Masih untung kalau dia cuma penipu amatiran yang sekedar aji mumpung. Bagaimana kalau profesional? Memang terencana." Kali ini suara bariton seorang lelaki yang kutahu juga bagian dari pengurus masjid.


"Professional bagaimana?"


Aku masih ikut mendengarkan tanpa diketahui. Bertanya-tanya juga dalam hati. Tapi seperti ada yang lebih menggertakkan dari dugaan ini, dibandung hanya dituduh mencuri kotak amal.



"Masih ingat Perusahaan Bagaskara yang menghancurkan Masjid At Taqwa kan? Dengan ambisi mereka untuk membangun mall di lokasi itu. Untung ada Tuan Aldo Amagatta yang menyelamatkan. Terus membangun lagi Masjid Almira Tiga. Saya hanya curiga, jangan-jangan Kang Padi ini penyusup dari Perusahaan Bagaskara, mata-mata. Mereka pasti masih berambisi mendirikan mall di lokasi strategis masjid ini. Bukan nggak mungkin kembali berniatan melakukan hal yang sama dengan Masjid Almira lalu kembali melaksanakan niat awal mereka membangun mall."


Aku benar-benar membeku sekarang. Mendengar kecurigaan itu.


Bagaimana mungkin mereka bisa mencurigai sampai ke sana? Mungkin sebab kasus perubuhan Masjid At Taqwa begitu membekas bagi semua masyarakat di sini. Kasus yang dilakukan oleh Pak Pranata, atas namaku.


Dan bagaimana mungkin semua bisa terjadi setepat ini?


"Oh ya. Bisa jadi. Tunggu dulu, kalau tidak salah Kang Padi ini diperkenalkan oleh Nak Handi putranya Pak Handoko yang donatur rutin Masjid Almira Tiga itu kan? Dan Nak Handi ini bekerja di perusahaan luar kota. Nah, perusahaan apa? Kita harus pastikan. Jangan-jangan... Perusahaan Bagaskara. Karena keluarga Pak Handoko juga penduduk baru kan di sini, pindahan dari Semarang. Baru satu tahunan tinggal di sini. Jadi mereka nggak tahu sejarah masjid ini dan kasus dengan perusahaan itu. Nanti coba langsung kita cek ke Pak Handoko dimana tempat kerja Nak Handi."


Matilah! Aku memijit kening tanpa sadar. Benar-benar kacau jika sampai mereka tahu Handi memang bekerja di perusahaanku. Bagaskara Coorporation. Aku secepatnya harus memberikan instruksi darurat pada Handi. Agar merahasiakan perusaahaan tempatnya bekerja. Membuat orangtuanya juga tutup mulut. Sebab orang-orang ini pasti akan bertanya pada mereka.


"Iya. Coba nanti segera di cek. Benar juga. Apalagi mereka dulu yang memenjarakan Almarhum Pak Adi. Berseteru hebat dengan almarhum yang mati-matian mempertahankan Masjid At Taqwa. Masih ingat kan? Ya, bisa jadi masih ada motif dendam di sini. Orang-orang kaya yang tak berperasaan."


Aku seperti benar-benar terjebak dan tak memiliki jalan keluar lagi sekarang. Satu-satunya yang paling kupikirkan adalah Adinda, istriku.


Dimana dia sekarang? Aku tak melihatnya. Apa dia percaya dengan semua ini? Apa dia akan percaya jika kujelaskan?


Sungguh aku tidak takut pada apapun. Atas nama baik yang hancur ataupun jika aku akan dibenci semua orang. Yang kutakutkan hanya jika Adinda membenciku.


Jangan membenciku Adinda.


Aku tak ingin melihatnya menderita lagi. Akibat kesalahpahaman ini.


"Apa kita perlu lapor polisi?" Terdengar lagi suara seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak tahu siapa.


Aku terkesiap.


"Oh ya, perlu! Harus! Kita laporkan aja biar polisi bisa melacak identitas aslinya Kang Padi ini! Kebetulan kan ada beberapa fotonya yang sempat terambil di kegiatan-kegiatan. Pas acara selamatan pernikahan juga sempat ada yang ambil fotonya. Kalau perlu kita cetak banyak-banyak dan sebarkan kemana-mana!"


Ya Tuhan. Kenapa jadi begini? Aku mundur selangkah dengan gentar. Jika hal itu sampai terjadi, akan semakin kacau keadaannya.


Adinda, bagaimana dengan Adinda? Aku tak mau lagi dia menderita.


Aku sudah berjanji akan menjaganya sampai mati.


"Cukup! Tolong berhenti! Jangan lapor polisi! Jangan menuduh yang bukan- bukan! Kang Padi nggak begitu! Tidak seperti yang kalian tuduhkan!"


Tiba-tiba sebuah suara keras terdengar dari dalam. Memutus semua kericuhan orang-orang yang sejak tadi bicara.


Suara itu... suara Adinda.


Hatiku bergetar.


Saudari?



"Astaghfirullahaladzim.... Maafkan saya, Bapak, Ibu semua. Maafkan Adinda. Tapi Dinda mohon, jangan melapor ke polisi. Kang Padi bukan orang jahat. Nggak seperti yang kalian pikirkan. Bukan penipu. Jangan menuduh Kang Padi begitu." Lagi-lagi suara Adinda.


Aku merasakan sesuatu yang begitu sejuk memeluk tubuhku. Dalam rekah tak tertebak yang membuatku terpaku menyelami suara itu.


"Ananda Dinda, maaf, kita bukannya menuduh. Tapi ini fakta. Kalau tak ada niat buruk, mana mungkin dia kabur tanpa pamit dan tanpa penjelasan begini. Sudah dua hari menghilang begitu saja, bagaimana mungkin kita tidak curiga? Bertepatan dengan hilangnya kotak amal masjid pula." Suara seseorang menyahut di dalam.


"Bukan. Pasti bukan Kang Padi yang mencuri kotak amal itu. Kang Padi nggak melakukan penipuan apapun." Adinda masih membelaku.


Dan aku merasakan hembusan nafas yang menjelma bagai bola-bola erlompatan di sepenuh dada. Adinda.....


"Lalu kenapa harus kabur kalau tidak bersalah?"


"Kang Padi tidak melarikan diri. Pasti Kang Padi punya alasan mengapa dia tiba-tiba pergi. Beri aku waktu. Aku akan mencari Kang Padi dan membawa suamiku untuk menjelaskan semua kesalahpahaman ini." Suara Adinda terdengar menindas dan bergetar dari dalam.


Hatiku basah. Sungguh aku tak tahu harus berkata apa lagi sekarang. Aku terlalu lega. Dan haru luar biasa mendengar pembelaan Adinda.


Bukannya ikut menyalahkan, ia justru membelaku begitu hebatnya.


Adinda, aku salah mengira.


Pembicaraan di dalam diakhiri oleh suara Abi Yahya. Meminta tenang semua orang. Menyepakati dan menghormati pendapat Adinda. Memberi waktu sampai aku kembali.


Setelah itu, orang-orang, para pengurus Masjid Almira Tiga yang ternyata sedang berkumpul untuk membahas tentangku itu keluar dan bubar.


Aku menarik diri. Bersembunyi di sisi kanan rumah kayu sederhana ini, di tempat yang gelap. Hanya mengintip dari jauh. Saya memang belum siap menjelaskan dan menjawab semua tuduhan kesalahpahaman saat ini.


Terakhir, Abi dan Umi yang berpamitan pada Adinda yang mengantar sampai ke pintu. Kudengar mereka mengajak Adinda menginap di rumah Abi dan Umi tapi ia menolak. Beralasan menungguku. Mengkhawatirkan jika aku pulang dan ia tak ada di rumah katanya.


Di pijakan ini, rekah hatiku kian menjadi. Adinda, aku sungguh terharu.


Abi Yahya dan Umi pergi. Tertinggal ia sendiri. Berdiri di teras. Menatap pada bulan. Mungkin dia sedang teringat kata-kataku tentang bulan dan 'kehilangan' di perkenalan awal kami.


Aku masih diam di tempat persembunyian. Menatapi dirinya dalam cinta yang makin menggebu dan kekaguman yang bercampur jadi satu.


Sampai di detik aku tak kuasa lagi menahan buncahan rindu.


Aku melangkah mendekat. Berdiri beberapa langkah di belakangnya.


"Adinda."


Dia berbalik.


"Kanda?!" Matanya berbinar penuh cinta. Memekik dalam melodi rindu yang sama, denganku.


Aku tersenyum. Menghadapinya.


Dia melompat dalam pelukan saat aku membuka tangan sampai aku sedikit terhuyung ke belakang.


"Memakai...."


"Adinda. Maaf...." Suaraku tercekat.


Dia menatapku.



"Tadi aku dengar pembicaraan orang-orang di dalam. Aku tidak--"


Ucapanku terhenti. Sebab ia sudah mengangguk mengerti. Dengan mata berkaca-kaca dan senyum tulus yang kian membuat tenang jiwa. Dari raut dan pandangan sendunya, wanita sholeha.


"Kanda, meski tidak ada yang percaya pada Kanda, hanya Adinda yang akan percaya."


Mataku panas.


Aku segera memeluknya. Erat sekali.


"Aku mencintaimu, Adinda."




Bersambung ..24

 (22) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea

Kembali






"... bisa diselamatkan." Papi memeluk sambil menepuk pundakku.


"Alhamdulillah, Yaa Allah...!" Dadaku yang tadi sempat begitu memanas kini perlahan menghangat.


Lega sekali, mendengar berita keselamatan ini.


Papi melepaskan pelukannya. Menatapku. Lalu mengernyit. Seakan aku baru saja mengatakan suatu hal yang tak wajar.


Apa yang tak wajar?


“Alfa?”


"Ya, Pi?"


Papi diam sebentar. Mengamatiku. Lalu menggeleng.


Aku berusaha mencerna ekspresi Papi. Ada apa?


Mendengarku menyebut nama Allah, apa begitu tak biasa? Jawabannya, iya.


Bersyukur sekali, dokter berhasil melakukan pertolongan cepat pada Mami. Hingga nyawanya bisa diselamatkan. Sungguh, Allah yang memberi kesempatan ini.


Aku memeluk Mami setelah ia sadar. Yang dibalas dengan senyum bahagia Mami. Meski sebagian wajahnya masih dibalut perban dan belum bisa bicara normal.


Tak lama kemudian Mami meringis kesakitan.


Aku panik. Ya, aku selalu panik jika menyangkut keselamatan Mami. Segera aku memanggil dokter kembali.


Hampir dua kali dua puluh empat jam sudah aku di rumah sakit. Menemani Mami. Memastikan kondisinya membaik.


Dan itu artinya, dua kali dua puluh empat jam juga aku belum memberikan kabar apapun pada Adinda.


Cemas tiba-tiba menyergapku. Apa dia baik-baik saja di sana? Apa dia sedang kebingungan mencariku? Atau malah berpikir aku pergi meninggalkannya?


Apalagi sejak kejadian malam itu, esok hari ketika aku kembali bertugas di masjid, aku tak pulang ke rumah samasekali. Mengurung diri di kamar marbot lamaku. Lalu tiba-tiba mendapat telepon dadakan dari Papi, soal kecelakaan Mami yang membuatku segera pergi ke rumah sakit ini. Tanpa sempat mengatakan apapun pada Adinda.


Aku tidak mungkin menghubunginya. Dia bahkan tidak memiliki handphone. Selama ini, dia sungguh bertahan tanpa alat komunikasi canggih itu. Hidup dalam begitu sederhana. Satu hal yang sangat membuatku jatuh hati padanya.


Setelah memastikan kondisi Mami akan aman ke depan, sudah sadar dan memasuki fase pemulihan, aku sekali lagi menguji nyali. Meminta ijin untuk pergi pada Papi dan Mami.


Papi menatapku sangsi. Melepas kacamatanya.


"Apa? Pergi lagi? Kamu nggak lihat Mami sakit begini?" Suara Papi menekan. "Urusan apa yang bahkan lebih penting dari Mami, Alfa?! Refreshing? Apa belum cukup hampir satu bulan ini?!" Pertanyaan Papi jelas mengandung makna tidak suka.


Dan aku semakin sulit memberikan alasan. Papi benar. Sudah nyaris satu


bulan memang aku pergi. Tapi belum genap dan aku pergi ke sini tanpa


memberikan kabar apapun pada Adinda, istriku. Wanita yang kunikahi dan


belum diketahui orangtuaku.


Berhadapan dengan Papi dan Mami sekarang, membuatku benar-benar


sadar. Urutan pengakuanku harus dimulai pada Adinda dulu. Baru pada


Mami dan Papi. Tidak bisa dibalik. Harga dirį keluargaku sangat tinggi


Mami dan Papi tak akan pernah membiarkan aku mengejar perempuan


yang mungkin akan menolakku.


Ya, sangat mungkin Adinda menolakku, jika mengetahui latar belakangku sebenarnya. Jangankan aku yang seorang CEO perusahaan besar, Ustadz Khalid yang hanya manager di sebuah perusahaan menengah saja ia tolak dengan dasar trauma pada orang kaya.


Tapi Mami dan Papi tidak tahu. Harga diri bagi mereka selalu ada dalam urutan utama.


Aku membatuk sebentar. Hanya sebagai upaya meredakan kecemasan yang mulai menjalar pada ekspresi wajah dan memberikan alasan paling bisa diterima oleh Pai dan Mami saat ini.


"Bukan begitu, Pi. Tapi aku pergi mendadak ke sini. Ada beberapa hal yang belum kutuntaskan di sana."


"Di sana? Di sana mana? Papi dan Mami bahkan nggak tahu kamu berlibur kemana sebulan ini? Jadi bukan di luar negeri? Lalu urusan apa lagi, Alfa? Jangan mengada-ada. Kamu bisa minta Handi atau asisten lain untuk mengurus!" Papi masih menatapku dengan kemarahan yang terpancing.


Aku terdiam untuk beberapa saat. Bagaimana ini? Apa aku jujur saja? Tapi bagaimana kalau Mami yang bahkan masih terbaring lemah di masa pemulihan ini mengalami shock demi mendengar pengakuanku, kalau aku sudah menikahi seorang wanita tanpa meminta restu mereka.


Astaghfirullah. Aku benar-benar kalut sekarang.


Papi baru akan membuka suara lagi, dengan raut tegang yang mengisyaratkan benar bahwa ia akan mengucapkan satu hal yang akan mematikan langkahku, ketika tiba-tiba saja tangan Mami yang masih terhubung dengan selang infus menggapai tangan Papi.


Membuat Papi urung bicara. Berbalik melihat pada Mami, dengan pandangan penuh kekhawatiran. Aku tahu, Papi memang sangat mencintai Mami. Dan hal itu bisa menjadi alasan untuk menyangsikan permintaanku saat ini, ijin pergi.


Mami menatap Papi, lalu menatapku.


Kemudian mengangguk.


Aku tahu maknanya. Mami mengijinkanku pergi. Membuat Papi pun tak bisa lagi melarang. Meski keras, Papi sosok lelaki yang nyaris selalu menjaga keserasian pemikiran dengan Mami. Menuruti semua keinginan Mami. Termasuk dalam hal ini.


"Aku akan segera kembali. Aku janji!" Ucapku sambil mencium cepat kening Mami. Lalu berpamitan pada Papi.


Melangkah tergesa. Pulang. Ya, pulang. Ke rumah yang paling membuatku merasa nyaman. Menemui Adinda.


Aku memasang tiga tompel di wajah dengan tergesa. Juga mengubah sisiran rambut dengan belah tengah dan menata tampilan culunku seperti biasa.


Aku sebenarnya ingin datang langsung dalam kejujuranku. Menghampirinya sebagai Alfa, tanpa menyamar lagi. Tapi aku khawatir Adinda tidak percaya dan menganggapku justru sebagai orang jahat yang ingin menyakitinya.


Secepat itu pula aku berlari menyusuri jalanan setapak menuju rumah sederhana itu. Ini sudah cukup malam, pukul sepuluh. Sangat sepi. Apalagi sedang gerimis dan hawa dingin sekali seperti ini.


Aku mempercepat langkah. Rasanya ada yang menggebu di dada ini. Bukan hanya kecemasan akan kenyataan yang harus kusampaikan tapi sesuatu yang lebih mendominasi. Rasa rindu. Ya, rasanya sungguh rindu sekali setelah dua hari tak bertemu. Pada Adinda.


Wajahnya melintas kuat di seluruh pikiranku. Lantas bersemayam hebat di pelupuk mata. Ah, mana mungkin aku bisa melupakannya. Wanita sederhana yang mencuri hati ini. Dengan begitu hebat sekali.


Aku akan memperjuangkannya. Aku berjanji


Tiba. Langkahku terhenti dua meter dari pintu rumah mungil itu. Kulihat beberapa pasang sandal bersusunan di teras. Cukup ramai orang di dalam sepertinya. Bisa kupastikan, dengan ukuran rumah semungil ini, pasti terasa penuh sekali


Tapi kenapa ada banyak orang? Tamu kah? Setahuku, Adinda jarang sekali menerima tamu.


Atau ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Adinda?


Jantungku menghentak kuat. Kecemasan yang menjalar lagi. Apa terjadi sesuatu yang buruk padanya?


Adinda!


Bersambung...23

 (21) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea


Saat Terakhir





Hari beranjak siang dan aku belum juga kuasa melangkahkan kaki untuk pulang. Padahal biasanya aku akan menengoknya dalam beberapa waktu di rumah yang hanya berjarak beberapa jengkal dari masjid ini. Membantunya membuat kue atau sekedar menanyakan keadaan hatinya.


Ya, dia masih membuat kue untuk beberapa pelanggan setia karena memasak adalah hobinya. Asal dia senang. Aku cuma ingin selalu melihat dia bahagia. Hanya tidak lagi berjualan kue dengan usaha keras di pinggir jalan sambil berpanas-panasan seperti dulu.


Kemarin pun aku masih menemaninya membuat kue, walau hanya membuat sedikit saja.


Hanya ingin membersamai.


Aku yang di matanya sangat perhatian dan lelaki terjujur selain ayahnya. Itu yang dia bilang semalam, sambil menatapku dengan malu dan senyum terkembang yang begitu sulit kulupakan. Usai kejadian paling pribadi di hidupnya. Dan hidupku. Di dalam kamar itu. Padahal aku belum jujur bilang yang sebenarnya. Dan malah semakin ragu untuk mengaku setelah dia mengatakan hal itu. Penilaiannya, atasku.


Aku memasuki kamar lamaku. Kamar khusus marbot di masjid ini. Ruangan sederhana yang sudah kutinggalkan sejak menikah dengan Adinda.


Baru saja aku menerima telepon dari Handi. Sebuah pengingat kalau aku harus segera kembali, ke kehidupan nyataku. Sungguh nyaris satu bulan sudah aku di sini.


Waktuku, sudah hampir habis.


Proyek-proyek perusahaan yang terpaksa dipending sampai jadwal kembaliku sudah diatur sejak awal oleh Handi. Dengan alasan cuti khusus yang kurancang dengan demikian rapi.


Aku harus kembali. Banyak sekali yang menungguku. Proyek-proyek


tertunda perusahaan itu, yang jika kuabaikan semua, tak sesuai janji penundaan satu bulan ini, akan sangat mungkin mengacaukan citra perusahaan. Bahkan bisa merusak segalanya.


Kebangkrutan satu perusahaan? Ya, bangkrut artinya melepaskan banyak kemewahan. Bukankah itu yang kuinginkan, lepas dari kekayaan?


Memang itu yang kuharapkan, jauh dari gelimang kekayaan bangsawan sebab aku bosan dengan kehidupan seperti itu. Tapi tidak dengan cara memalukan, bangkrut sebab dicap sebagai pengusaha pengingkar janji. Lantas mengecewakan Papi dan Mami. Juga mengecewakan semua yang menunggu kembaliku di kehidupan nyataku.


Aku ingin lari dari kehidupan mewah itu. Tapi bukan dengan cara menjadi sosok yang tak bisa dipercaya dan tak bisa dipegang janjinya.


Aku tak akan jatuh miskin oleh kekacauan yang bakal terjadi pada perusahaan jika menunda pulang dan pada akhirnya melepaskan proyek- proyek itu.


Dengan kekayaan tujuh turunan keluarga, kami tak akan jatuh miskin hanya sebab ini. Tapi sudah pasti hal itu akan menjadi citra buruk dan lenyapnya kepercayaan tak terlupakan bagi semua pihak yang terlibat. Padahal selama ini, ketepatan janji adalah hal yang dijunjung tinggi oleh keluargaku. Menjadi prinsip atas hal apapun.


Semua akan kecewa dan hilang kepercayaan, padaku. Dan itu, akan menyakiti Papi Mami yang sudah memberiku kesempatan pergi tak mau dihubungi, satu bulan ini.


Setertekan apapun aku dengan keadaan selama ini, aku tak pernah bisa melihat kekecewaan orang tauku. Itu sebab aku selalu menjadi sosok penurut. Apapun yang dikatakan orangtuaku selalu kuikuti. Meski dengan mengorbankan perasaanku sendiri selama ini.


Saat dilarang dekat dengan perempuan apalagi sampai menjalin hubungan, aku menurut. Sejak sekolah sampai aku bekerja. Meski memberontak dalam hati dan di lingkungan pergaulan justru jadi bullyan.


Saat Papi dan Mami memerintahkanku untuk menjaga citra, wibawa, dan nama baik keluarga, tidak pernah terjun dalam dunia musik meski aku menyukainya, aku juga menurut.


Begitupun dengan arahan agar aku menekuni pendidikan dan karir bisnis, melanjutkan estafet kepemimpinan perusahaan, aku menuruti. Meski belakangan merasa sungguh jenuh tak tertahankan. Hingga aku melarikan diri dari semua itu, melakukan penyamarann sebagai marbot masjid di sini Dalam niat awal, hanya untuk satu bulan. Mana kutahu ternyata demikian jauh aku merasa nyaman, di sini, dalam kehidupan sederhana ini.


Tapi untuk kepergianku ini pun, aku meminta ijin lebih dulu pada Mami dan Papi. Mengajukan permintaan pergi dan agar tak dihubungi, dalam satu bulan. Itu permintaan terhebatku seumur hidup.


Aku selalu penurut dengan mereka. Sebab aku tahu sekali, hanya aku harapan Mami dan Papi. Aku menanggung beban anak tunggal dan putra mahkota. Satu-satunya. Ya, beban. Siapa bilang menjadi pewaris tunggal selalu tentang keberuntungan?


Aku selalu menuruti, kecuali dalam hal pilihan gadis-gadis bangsawan yang belakangan ditawarkan untuk menjadi pendamping hidupku. Hanya hal itu yang tak kuturuti. Tapi itu pun sebab Mami dan Papi tidak memaksa. Hanya memperkenalkan satu gadis ke gadis lainnya. Lantas memintaku untuk menjatuhkan pilihan pada salah satunya. Hanya itu. Jadi dalam hal ini, aku pun tidak membantah mereka.


Namun takdir justru membuatku menikahi Adinda sebelum mendapat restu dari dua orang yang paling kuturuti seumur hidupku, Mami dan Papi, yang sungguh tak pernah kubantah perintahnya.


Tapi aku benar-benar mencintai Adinda. Tidak ada dusta dalam perasaan ini. Hanya saja kebohongan ini terasa mematikan sebelum berhadapan dengan kenyataan.


Aku sudah bertekad untuk memberi waktu dan mempersiapkan Adinda agar bisa menerima segalanya. Tentangku dan alasan kebohonganku. Sampai ia bisa merasakan kucintai dan membalas perasaan dengan mencintaiku sepenuhnya juga. Mengulur waktu sampai aku melihat semua itu. Barulah berjuang berdua, membuat pengakuan pada Mami dan Papi.


Bahkan aku terus-terusan 'menahan diri darinya. Hanya agar ia tak merasa sedang kumanfaatkan sementara.


"Kanda, kasihan Tita. Dinikahi lelaki bernama Wendi itu hanya untuk jadi pemuas sesaat aja. Mendapatkan perawan. Tadi Tita bilang, lelaki itu ngaku nggak mau main nakal dengan perempuan murahan karena nggak mau kena penyakit. Jadi malah menikahi siri Tita dan cuma untuk dijadikan mainan aja. Itu jahat sekali kan, Kanda? Orang kaya suka begitu ya? Mempermainkan pernikahan hanya untuk kesenangan. Ada juga gadis lain di sini yang ngalamin hal serupa Tita. Lebih sadis, Kanda. Alasannya karena dendam sama orangtuanya."


Kalimat Adinda beberapa hari lalu terngiang jelas di telingaku.


Orang yang bisa.


Pernikahan serial.


Gadis perawan.


Baru saja dimainkan.


Itukah kesimpulan atas semuanya?


Argh!


Aku meremas batok kepala. Setelah kejadian semalam, aku malah semakin mencintainya. Menyatu dalam satu jiwa seutuhnya.


Tapi... aku belum jujur. Seharusnya aku jujur dulu, mendapat restu kedua orangtuaku, baru melakukannya.


Setidaknya, jikapun tak direstui dan terjadi hal di luar kendali, aku tidak benar-benar menyakitinya. Dengan apa yang kulakukan semalam.


Meski aku tahu, sebenarnya itu bukan suatu dosa. Dia telah sah menjadi istriku secara agama. Halal kuibadahi sejak kuikrar akad menyebut namanya. Bukan zina. Tapi kenyataan tidak sesederhana itu.


Setelah semua ini terjadi, apa kamu masih akan percaya padaku, Adinda?


Bagaimana jika ia merasa hanya kujadikan mainan dan pelampiasan sebagaimana yang dilakukan Wendi pada Tita?


Dan bagaimana jika Papi Mami ternyata tak bisa menerimanya?


Apakah cintaku akan menyakiti dan kembali melukai takdir hidup Adinda? Wanita yang sangat kucintai


Maafkan aku, Adinda.


Handphone yang selama ini kusembunyikan dari Adinda bergetar di saku celana. Siapa yang menghubungi? Hanya Handi yang mengetahui nomor baruku ini dan ia tak akan menelpon sebelum kuijinkan via chat. Untuk mengabarkan jika ada hal yang benar-benar penting.


Aku menghentikan langkah yang baru saja menjajak lorong di depan kamar, kembali masuk dan mengunci pintu. Lantas mengeluarkan handphoneku dan menemukan panggilan dari nomor yang begitu kuhafal.


Telepon dari Papi.


Ada ragu yang menyergap. Kenapa Papi menelpon? Dan bagaimana Papi tahu nomor handphone baruku ini?


Pasti Handi yang memberikan. Dan aku hanya mengijinkannya memberi nomor ini pada Mami Papi jika ada hal yang benar-benar penting dan mendesak saja.


Mami dan Papi pun sangat bisa memegang perkataan. Jika sudah menyepakati dan berjanji tak akan menghubungiku dalam satu bulan ini, memberiku waktu untuk menyendiri seperti inginku, maka bisa kupegang janji mereka. Itu prinsip keluarga kami, memegang janji.


Sekarang, kenapa Papi menelpon?


Ada resah lain yang tiba-tiba menyergap. Diliput tanda tanya yang membuatku menebak-nebak.


Mungkin Papi hanya rindu padaku.


Atau


"Halo, Pi. Apa kabar?"


"Alfa?! Cepat pulang! Sekarang! Mami kecelakaan. Ini darurat. Kamu dimana? Cepat kembali, Alfa!"


Mami?


Kecemasanku benar-benar meledak detik ini.


Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit. Dengan kekhawatiran memenuhi seluruh tubuh ini. Mencari ruangan yang dikabarkan Papi tadi. Ruang operasi Mami.


Mami. Sosok anggunnya melintas nyata di kepalaku. Seperti memanggilku untuk segera datang.


Kurasakan hawa panas menyergap mata. Aku takut sekali terjadi sesuatu yang amat buruk pada Mami.


Mami kecelakaan lalu lintas. Bertabrakan dengan pengendara lain sampai mobil Mami terguling masuk ke jurang. Beruntung Mami sempat keluar. Tapi dalam kondisi... entah.


Bayangan Mami yang selalu menyertaiku, saat apapun. Keposesifannya. Semua aturan ketat yang terasa menjemukan bagiku selama ini. Mengekang. Tapi aku tahu, aku sangat tahu, Mami teramat menyayangiku.


Seperti aku menyayanginya.


Dadaku berdetak kuat sekali. Cemas tak terbendung.


Langkahku berhenti tepat di depan Papi yang baru saja selesai bicara dengan dokter di depan pintu ruang operasi.


Papi berbalik. Lalu langsung memelukku.


Papi yang kuat kini menitikkan air mata.


"Alfa, Mami


Aku tak berani mendengarkan. Jika ini berita buruk dan menyakitkan.



Bersambung...22

Monday, August 4, 2025

 (20) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: *Lebah Ratih*

Sayang Kamu






Mata yang sendu itu, terlihat mengantuk. Tentu saja, ini sudah tengah malam. Apalagi tadi Tita datang cukup lama. Sekarang bukan lagi saat yang tepat untuk memberikan penjelasan terhadap hal serius tentangku.


Aku menggeleng. Dengan hati lebih lega. Ya, setidaknya aku tahu, dia akan memberikan kesempatan untukku memberikan penjelasan. Besok atau lusa, di moment yang lebih tepat untuk membicarakan ini semua.


"Nanti aja. Ngantuk kan?" Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu lagi kutanyakan. Sudah jelas terlihat.


Dia mengerjap lagi. Dengan mata berat.


Aku mengulurkan tangan lalu mengajaknya masuk ke kamar. Hingga dia terlelap tenang.


Satu malam lagi terlalui dengannya. Meski dengan penjelasanku yang tertunda.


Memandangnya yang tertidur di sebuah kamar sederhana. Begini saja, sudah cukup membuatku bahagia.


Esoknya, seperti biasa. Dimulai dengan makan sahur bersama. Cukup terburu-buru sebab sedikit kesiangan akibat tidur kemalaman. Aku juga harus membangunkan orang-orang lewat speaker masjid.


Kuhabiskan makan sahurku dengan cepat lalu beranjak menuju masjid. Melaksanakan tugasku.


Hingga waktu dhuha, aku masih di sana. Menyusun buku-buku di ruang perpustakaan yang masih menjadi satu bagian dengan bangunan masjid.


Aku sedang merapikan buku-buku ketika Adinda masuk dan cekatan membantu. Ya, dia memang acap membantu pekerjaanku. Apalagi setelah pernikahan kami. Tidak ada jarak dan batasan jauh seperti dulu. Tidak apa-apa meskipun kami ada di ruangan yang sama hanya berdua. Semua orang di sini sudah tahu kalau aku sudah menikah dengannya.


Aku dan Adinda biasa mengepel masjid berdua, menyusun sajadah bersama, menata takjil sambil bercanda. Semua waktu yang terasa makin bermakna dan berbunga, di hati ini rasanya.


Setiap hari yang kian berarti. Dan semakin ingin kuberikan kebahagiaan-kebahagiaannya yang selama ini harus tertunda.


Dia sejak dulu, suka sekali belajar. Ingin melanjutkan pendidikan tapi tak pernah memiliki kesempatan. Sibuk mengurus Ayahnya sembari mengumpulkan uang untuk biaya hidup dan biaya rumah sakit.


Sampai sekarang, buku-buku pelajaran SD dan SMP nya (yang tidak sampai lulus itu) masih ia simpan dengan rapi di rumah. Lalu masih ia sempatkan mengulang-ulang pelajaran lamanya itu. Latihan soal. Dan sebagainya.


Tahu nggak sih, nyesek lihatnya.


Sebesar itu keinginannya untuk sekolah tapi harus terputus di tengah jalan. Bikin aku nggak tega. Padahal banyak kan anak-anak lebih beruntung yang malah malas-malasan sekolah dan belajar.


Aku berjanji dalam hati. Nanti akan kutemani ia mengejar paket kelulusan, SMP dan SMA. Lalu mendaftarkannya kuliah jika ia menginginkan. Aku ingin memenuhi mimpi- mimpinya yang sempat tersandra oleh waktu.


Masih juga kerap kulihat ia menatap sangat lama pada anak-anak sekolah yang berlalu di hadapannya. Apalagi jika ada sekumpulan mahasiswa-mahasiswi mengenakan almamater kampus mampir ke Masjid Almira Tiga tempat kami berada.


"Kuliah tuh rasanya gimana ya?" Tanyanya suatu kali. Sambil menatap pada beberapa mahasiswi dengan almamater sebuah kampus negeri kota ini yang singgah di masjid.


Aku menoleh, menatapnya yang tak mengalihkan pandangan dari objek-objek yang menakjubkan baginya itu. Dengan pandangan penuh harap. Gadis-gadis yang jauh lebih beruntung darinya. Aku tahu, Adinda juga menginginkan seperti itu, menjadi mahasiswi seperti mereka.


Dia menoleh ke arahku setelah beberapa waktu. Aku yang hanya diam.


"Itu... normal," jawabku sambil membuang muka. Aku tak ingin dia melihat sorot mataku yang terbawa suasana setiap kali aku melihat semua pernyataan tentangnya. Kemalangan nasibnya.


Memberikan jawaban sekenanya yang bisa melegakan hati.


"Biasa aja?" Tanyanya. Menatapku.


"Iya, biasa aja. Kuliah yah kayak sekolah. Cuma lebih bebas. Masuk kampus, belajar, tugas, praktikum, terus skripsi. Gitu-gitu doang," ucapku.


Dia mengernyit. Mendengarkanku dengan seksama. Ya, dia selalu mendengarkanku dengan seksama. Saat bicara apapun. Lawan bicara yang menyenangkan.


"Berapa lama?" Tanyanya lagi.



"Tergantung. Tiap orang akan beda. Karena kuliah itu bukan cuma soal siapa yang pintar tapi siapa yang rajin. Rajin ngerjain tugas, rajin masuk kelas, rajin konsultasi pas skripsi atau tesis."


Dia memandangku dengan sorot mata yang terasa lain.


"Kok Kanda tahu banget? Kanda... pernah kuliah?"


Oh my God. Aku tiba-tiba tersadar.


Salah. Jawabanku terlalu lengkap. Bagaimana mungkin aku menjawab 'iya'? Ya, aku bahkan sudah lulus S2 dan sedang proses persiapan melanjutkan S3.


Yang dia tahu, aku datang dari desa. Seorang diri dengan nasib malang sepertinya.


Aku berusaha secepatnya mengendalikan keadaan. Dia tidak boleh tahu kalau aku pernah menjadi anak kuliahan juga.


"Itu... ada majikan aku dulu yang cerita." Ucapku sambil mengalihkan pandangan. Di satu sisi aku merutuki lagi kebohongan yang kembali kulakukan. Padahal lagi puasa. Kenapa aku jadi berbohong lagi?


Ya, gimana lagi?


Benarlah pepatah bijak mengatakan, jangan pernah berbohong. Sebab satu kebohongan yang diciptakan hanya akan melahirkan kebohongan-kebohongan selanjutnya.


Dia mengangguk.


"Oh, majikan Kanda waktu jadi supir itu ya?"


Dan aku ikut mengangguk juga. Sambil meremas tanganku sendiri di balik meja. Meredakan perasaan bersalah yang mendera.


"Buku ini bagus loh, Kanda. Sudah baca?" Ia menunjukkan sebuah novel islami ke arahku saat membantu menyusun buku-buku di perpustakaan.


Aku melihat pada buku yang ia tunjukkan.


"Oh ya?" Sebenarnya, aku bukan penggemar fiksi. Tapi demi menyenangkan hatinya, buku itu kusambut juga.


Dia mengangguk.


Aku membaca judul novel yang ia tunjukkan. Tajwid Cinta, Hadwan-Kafiya karya penulis yang juga masih asing di telingaku... Lebah Ratih.



"Dii sudah baca ini. Isinya banyak pesan-pesan kehidupan. Banyak dapat testimoni dari penulis-penulis senior. Sampai nangis Dii bacanya. Baper banget isinya tapi malah jadi penyemangat waktu Dii pernah mempertanyakan soal takdir." Dia menunjuk satu quotes di sampul depan novel itu.


Aku membacanya. "Kita tak selalu bisa memilih takdir. Tapi kita selalu memiliki pilihan untuk menghadapinya."


Kalimat itu, terasa langsung di hatiku. Tidak bisakah kita selalu memilih takdir? Ya, seperti takdirku yang terlahir dari keluarga bangsawan yang membuatku merasa jenuh dan bosan. Seperti nasib Adinda yang lahir dari ibu yang tidak menyangkanya dan nasib merawat ayahnya dengan mengorbankan masa depannya sendiri.


Tapi kita selalu memiliki pilihan untuk menghadapinya. Aku terdiam lama membaca kalimat itu.


Lalu menoleh lagi pada Adinda.


"Pernah Dii hampir putus asa. Waktu Dii lagi sedih sekali. Terus pas baca novel ini jadi kuat lagi. Pesannya nyampe banget. Nguatin. Kita tak selalu bisa memilih takdir kita. Tapi kita selalu memiliki pilihan untuk menghadapinya. Semua yang kita pikirkan dalam menghadapi takdir kita, ya jadi pilihan hidup kita sendiri. Waktu takdir ternyata nggak sesuai sama keinginan kita. Kita selalu punya pilihan untuk ngadepin takdir itu seperti apa. Dan Dii memilih untuk bersabar. Nggak menyesali keadaan. Jadi lihat peluang-peluang. Dii belajar buat kue-kue terus dijual. Ternyata itu membahagiakan. Terus bisa jadi jalan rejeki juga." Dia tersenyum manis.


Sementara aku mendengarkan, dengan hati yang rasanya teriris. Tersindir sekali. Betapa aku selama ini, banyak sekali mengeluhkan takdirku. Sampai lari dari semua itu.


"Kanda suka baca novel nggak? Baca ini yah," ucapnya lagi. Menunjukkan novel tadi.


Aku mengangguk. Membaca novel untuk kali pertama. Novel Tajwid Cinta. Dan ternyata memang seperti yang disampaikan Adinda. Aku menemukan pemahaman yang jauh berbeda usai menuntaskannya. Novel itu, tentang kisah seorang pemuda dengan garis takdir tak sesuai harapannya.


Setelah itu, aku jadi lebih mensyukuri hidupku.


Adinda yang menunjukkan ini semua. Dia, bidadari dunia dan akhiratku, yang sedang kuambil hatinya. Agar di saat tepat saat ia meyakini aku sepenuhnya, ia akan bisa menerima kejujuran yang akan kusampaikan seluruhnya.


Aku tidak sedang menunda-nunda untuk jujur. Hanya saja sedang mencari waktu yang benar- benar tepat. Sebagai pebisnis aku sangat memahami prihal ini. Banyak hal bisa jadi gagal sebab tak tepat moment dan waktunya. Begitu pula dalam hal kejujuranku pada Adinda.


Bulan Ramadhan hampir habis sudah. Artinya, waktuku di sini hampir habis jua. Dan dia semakin memaknaiku sebagai bagian dari dirinya. Sungguh sudah tiba saatnya untuk kukatakan segalanya.


Setelah menahan diri tak menyentuhnya agar nanti ia tak mengira aku hanya memanfaatkannya-seperti yang dilakukan Wendi pada Tita-- dan menjadi pelindung terbaik baginya, aku yakin untuk jujur malam ini. Dia juga tak pernah meminta 'nafkah batinnya'. Sepertinya wanita memang lebih pemalu untuk membahas prihal itu lebih dulu.


Lagipula sepertinya ia berpikir lurus saja, sebabnya, karena kami masih tahap saling mengenal dan mengerti. Dia nampak bahagia hanya dengan sekedar kugenggam tangannya. Cukup membuatnya tersenyum lega.


Ya, malam ini akan kusampaikan semua. Kuawali dengan menyempurnakan kebahagiaan, baginya.


Aku tahu, ia tak memiliki wacana untuk membeli baju baru meski lebaran sebentar lagi. Mungkin sejak dulu ia tak pernah memiliki baju baru bahkan.


Maka di malam yang tenang, sepulang dari sholat tarawih, kuajak ia menuju salah satu toko baju yang sudah kukontak sebelumnya.


"Kanda, kita ngapain ke sini?" Dia menghentikan langkah di depan pintu masuk toko. Nampak jelas ia tak terbiasa menginjak tempat-tempat cukup mewah seperti ini.


"Beli baju baru," jawabku.


"Beli baju? Tapi...." Dia menatapku dengan sorot mata sungkan.


"Kenapa?"


Lalu ia mendekat, berbisik.


"Kanda, belinya di pasar aja yuk. Di sini pasti mahal."


Aku mengulum senyum mendengar bisikannya


"Nggak apa-apa. Di sini aja. Sekali-sekali ya. Aku lagi ada rejeki. Habis dapat gaji mingguan juga." Aku beralasan.


Dia masih menatapku sangsi.


"Adinda. Kadang kita menolak pemberian seseorang karena perasaan yang salah. Takut merepotkan. Takut dianggap nggak tahu diri. Dan takut lain-lainnya. Padahal banyak orang justru bahagia saat pemberiannya diterima dengan senang hati. Aku cuma pengen ngasih sesuatu buat kamu, masa nggak boleh?"


"Tap-"


"Ini pelajaran dari Kakanda untuk Adinda. Didikan dari suami untuk istri Kanda ini." Aku tersenyum sambil mengusap pucuk kepalanya. Membuatnya merona lalu mengangguk setuju. Tidak membantah lagi. Sepertinya ini akan ampuh jika ingin membuatnya setuju. 'Didikan suami untuk istri'. Dia langsung setuju jika kukatakan itu.


Pemilik toko yang sudah kutemui dan kuberikan pembayaran besar di muka, menyambut kami dengan ramah sekali. Segera mengarahkan pada Adinda untuk memilih baju-baju di ruangan luas ini.



Adinda nampak sangat sungkan mengikuti. Menatap takjub ke sekeliling. Tangannya terasa dingin dalam genggamanku. Balik menggenggam erat. Dia sungguh belum terbiasa. Jangankan untuk memilih pakaian, berada di ruangan mewah yang sebenarnya dalam standarku tidak terlalu mewah ini saja sudah cukup membuatnya bahagia serta grogi sekali nampaknya.


Aku mengangguk. Kembali memberikan 'didikan seorang suami pada istri'. Agar ia tidak menolak lagi, memilih pakaian mana saja yang dia inginkan.


Aku menatapnya dengan pandangan teduh. Sambil memusut punggung tangannya sampai ia merasa lebih santai.


Pemilik toko mencocok-cocokkan berbagai pakaian padanya. Lalu mempersilakannya untuk mencoba di ruang ganti.


Baru masuk ruang ganti, keluar lagi.


"Yang ini aja, Kanda," ucapnya sambil menunjukkan sepasang pakaian muslim padaku. Pakaian muslim warna putih bersih dengan motif elegant sederhana. Ya, seperti itu memang seleranya. Ditambah sebuah jilbab panjang berbahan halus. Cantik.


"Sudah dicoba?" Aku mengernyit.


Dia menggeleng.


"Nggak, Kanda. Nanti di rumah aja. Dii malu ganti baju di sini. Gimana kalau ada yang ngintip?" Katanya dengan berbisik. Menunjuk pada ruang ganti yang hanya tertutup gorden tebal. "Ini cukup kok buat Dii. Yang buat Kanda juga nih." Dia meyakinkan. Menempelkan gamis putih berbahan halus itu ke depan tubuhnya.


Pemilik toko sekali lagi menawarkan untuk dia mencoba di ruang ganti dan ia menolak. Aku tahu alasannya. Takut ada yang ngintip. Ia tak akan nyaman berganti baju di toko seperti ini. Istriku yang pemalu.


Hanya sepasang baju. Dia menolak saat kutawarkan baju yang lain.


"Udah, Kanda ini aja cukup." Dan aku tidak lagi memaksa.


Pemilik toko menawarkan pakaian rumahan untuknya. Sebuah dress dengan corak bunga- bunga. Panjangnya hanya selutut dan tanpa lengan, seperti bahan kain daster, hanya nampak lebih elegant.


"Walau di luar rumah berjilbab, kalau di rumah enggak kan? Nah ini enak banget bahannya buat santai sehari-hari di rumah. Nggak panas dan ringkas," jelas pemilik toko. Tersenyum ramah.



Kali ini aku yang mengangguk. Dress rumahan yang sepertinya akan sangat cocok dipakai oleh Adinda. Aku mengambil dress itu lalu memasukkan dalam paper bag yang sudah dipegang oleh dirinya, tanpa ia sempat menolak lagi.


Kami pulang, dengan senyuman bahagia yang tak henti mewarnani wajahnya. Berulangkali bilang 'terimakasih' padaku. Baju baru pertamanya.


Aku bahagia sekali melihatnya sebahagia itu.


Sesampai di rumah, seperti tidak sabar, ia masuk ke kamar dan mencoba baju baru yang baru saja kami beli tadi. Gamis putih dengan renda cantik dan jilbab berbahan halus yang sangat cocok ia kenakan. Memintaku untuk mencoba setelan koko. Memang pas di tubuhku juga meski tidak dicoba dulu tadi. Ya, dia memang pandai melakukan perhitungan.


Kami sama-sama tersenyum, berdiri di ruang tamu.


"Cocok nggak?" Tanyanya masih dengan wajah berbinar.


Aku menagngguk. Menatapnya.


"Cocok banget." Aku membenarkan posisi jilbabnya. Merapikan bagian jilbab yang terjulur ke depan tubuhnya. Membuatku hampir lupa kalau aku masih harus 'menahan diri'.


Aku cepat menarik tangan dan berpaling.


Dia nampak manis sekali dengan gamis dan jilbab baru itu. Suasana hatinya sedang baik dan ia sudah begitu percaya denganku, setelah kebersamaan kami beberapa waktu terkahir.


Sudah kubilang, ia hanya butuh waktu dan aku yakin dia akan bisa menerima pengakuanku. Malam ini, setelah tuntas kebahagiaannya ini.


Aku membiarkannya larut dalam bahagia. Berkaca, pada kaca panjang yang memang ada di ruang tengah, bukan di kamar, makanya dia keluar. Lalu ia mengamati setiap bagian baju barunya. Sementara aku juga tak berhenti mengamatinya.


Lalu ia masuk lagi ke kamar. Kupikir untuk berganti baju. Sebab ia sudah selesai mencoba baju baru. Lama juga nyobanya ternyata.


Yah, sekarang waktunya aku bicara. Dari hati ke hati. Tentang takdirku, penyamaranku, dan semua takdir pertemuanku dengannya. Waktunya aku membuka sudut pandangnya bahwa tidak semua orang kaya hanya memanfaatkan orang miskin sepertinya. Tidak semua orang kaya jahat dan semana-mena. Waktunya aku menyampaikan segalanya.


Aku melangkah menuju kamar, membuka gorden pintu. Lalu terpaku saat ia berbalik ke arahku.


Ia sedang mencoba dress rumahan santai yang tadi juga kami beli di toko. Dengan rambut ombaknya yang tergerai cantik di sebelah bahu. Dress selutut yang sangat pas sekali di tubuhnya.


Bukan pakaian longgar yang selama ini selalu ia kenakan. Lekuk tubuhnya nampak nyata dalam balutan dress berbahan tipis itu. Pun corak indahnya membuat sempurna dia yang nampak begitu bahagia malam ini.


Tersenyum tak henti sejak tadi. Membuat rona wajahnya puluhan kali lebih cantik dari biasanya.


"Kanda, bagus ya bajunya? Dii suka. Bahannya juga dingin. Enak banget dipakainya." Ia berdiri tegak, lalu berputar di hadapanku. Menunjukkan baju barunya. Begitu bahagia.


Aku terdiam. Dalam debar yang menggedor- gedor pertahanan.


"Tolong pasangin kancing belakangnya, Kanda," ucapnya lagi. Sambil menyibak rambut dan menunjukkan bagian punggungnya. Memintaku untuk memasangkan kancing yang belum rapat seluruhnya.


Aku mengangguk. Tapi tidak melaksanakan pintanya.


Membalikkan tubuhnya hingga menghadap ke arahku. Menemukan diriku sendiri dalam bola mata legamnya yang bersih sekali. Aku sangat mencintainya... Adinda.


Mengangkat tanganku lalu menyentuh pipinya.


"Aku sayang kamu, Adinda," ucapku sambil menatapnya lekat.


Dia membalas tatapanku. Tersenyum manis sekali. Jauh lebih manis dari senyumnya selama ini. Di matanya, kutemukan cinta yang ia tunjukkan untukku juga.


Untuk pertama kalinya, dia merespons sentuhan di pipiku. Pemusatan lembut.


"Dii juga sayang sekali sama Kanda. Makasih ya untuk semuanya. Makasih udah gantiin Ayah jagain Dii," ucapnya dengan sorot mata memuja yang membuatku melayang sampai jauh ke angkasa rasanya.


Lalu aku lupa tujuanku menemuinya adalah untuk mengakui semuanya. Aku lupa kalau identitasku yang sebenarnya belum kusampaikan padanya.


Aku lupa untuk 'menahan diri' malam ini, detik ini. Padahal aku belum jujur samasekali.



Bersambung...21