Just another free Blogger theme

Thursday, August 14, 2025

 (25) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea

Hancur Perlahan









Pak Pranata. Orang kepercayaan Papi yang kupecat secara tidak hormat tiga tahun lalu. Sebab melakukan penggusuran pada Masjid At Taqwa dengan mengatasnamakanku, lalu membuat berkas dukungan proyek palsu atas nama warga.


Jadi... jadi dia yang menghasut semua orang...? Apa maksudnya semua ini? Dia menyimpan dendam denganku? Padahal aku sudah berbaik hati dulu, hanya memecatnya, tidak menuntutnya meski sangat bisa kulakukan.


Tanganku mengepal marah.


"Bagaimana rasanya dipaksa berhenti di saat Anda sedang sangat berambisi menginginkan sesuatu, Tuan?" Tanyanya sinis. "Seperti itulah sakitku dulu!" Suaranya menekan. Kali ini benar-benar terdengar penuh dendam.


"Anda bisa mengelabui semua orang dengan penampilan ini tapi tidak denganku. Aku tahu karena aku selalu mengawasi Anda. Aku selalu tahu apapun tentang Anda. Dan aku bisa kapanpun menghancurkan hidup Anda. Bahkan lebih buruk dari ini!" Kalimat ancaman itu ia lemparkan dengan seringai mematikan.


Aku mendekat dan bermaksud menariknya keluar, berhadapan secara jantan. Tapi langkahku tertahan oleh cekalan dua orang pria bertubuh besar yang entah sejak kapan ada di sekitarku. Menahan langkah dan gerakkanku.


"Turun!"


Aku berusaha melepaskan kedua tanganku tapi tidak bisa.


"Kau! Aku bisa menuntutmu dan membuatmu menyesal!" ucapku marah.


Pranata tertawa kembali mendengar ancamanku.


"Apa? Menuntutku? Atas tuduhan apa? Bahkan Anda yang akan kalah sebelum membuktikan apapun. Anda ingin membuka 'aib' malam ini? Oke baiklah. Lakukan. Bagaimana dengan orangtua Anda yang bahkan juga tidak tahu-menahu tentang hal terbodoh yang dilakukan putra mahkotanya satu bulan ini? Menyamar menjadi marbot masjid. Oh, memalukan sekali. Anda ingin membongkarnya dengan cara yang hebat? Good!" seringainya penuh ejekan.


Aku menatapnya dengan sumpah serapah yang masih berusaha kutahan.


"Kenapa, Tuan Alfa? Anda ingin berteriak meminta pertolongan dengan warga? Oh, silakan! Berteriaklah. Dan silakan ucapkan kalimat perpisahan sekarang juga, pada dunia ini" la kembali tertawa lagi


Dia tahu aku sedang berada dalam posisi serba sulit. Aku ingin bertahan di sini tapi tidak bisa. Juga ingin memenjarakannya tapi aku yang justru terancam dari sisi manapun. Aplaagi soal pernikahan ya g masih kusembunyikan ada Papi dan Mami. Dan penyamaran ini yang tak mungkin kusampaikan pada mereka


Pranata, dia benar-benar licik.


"Anda terlalu berhati malaikat, Tuan Alfa. Sangat em... bodoh." Ekspresinya mengejekku benar. Aku tahu ia masih menyimpan sakit hati dan menyangsikan tindakanku dulu, menghalanginya dari menggusur Masjid At Taqwa demi proyek pembangunan mall yang pasti akan mendatangkan keuntungan besar bagi perusahaan. "Aku bahkan tidak menyangka Anda sampai menikah di tempat seperti ini, dengan wanita seperti itu. Oh, selera Anda memang sangat buruk rupanya. Yah, kampungan!"


Kemarahanku kian tersulut. Mendengarnya menjelekkan Adinda.


"Tenang saja, Tuan Alfa. Kupastikan wanita itu akan benar-benar membenci Anda. Dan silakan menunggu akibat terburuk dari merahasiakan pernikahan memalukan ini dengan Tuan Besar Edibagaskara dan Nyonya Helena yang begitu membanggakan Anda dengan gelar kebangsawanan kalian. Sekuat apa mereka kuasa menahan malu atau justru merasa ditipu, oleh satu-satunya anak kebanggaan mereka."


Kurang ajar, ia sekarang mengancamku dengan hal yang paling kutakutkan. Tanganku kembali mengepal. Dalam perasaan yang kian tersadar, akan satu hal terpenting yang terlambat kuakui sekarang.


"Dan silakan menunggu apa yang akan dilakukan Tuan Aldo Amagatta begitu mengetahui ada penyusup yang ups ... bahkan berani-beraninya menyamar sebagai marbot di masjid yang ia bangun dari lahan yang ia perjuangkan. Anda tahu ia seorang yang tak pernah membiarkan musuh hidup dengan tenang, apalagi berani mengusik miliknya." Ia menatapku tajam. Dengan ancaman yang begitu masuk akal.


"Maka nikmatilah kehancuran Anda perlahan-lahan. Anggap saja ini pembalasan setimpal dari apa yang Anda lakukan tiga tahun lalu padaku." Dia menatapku penuh permusuhan.


Lantas menutup kaca mobil dan meninggalkanku yang frustasi sendirian.


Seketika wajah Adinda, Mami, Papi, Abi, dan Umi melintas kembali di benakku. Membuat kepalaku berdenyut kuat dan dadaku terasa sesak.


Aku tidak tahu siapa saja orang yang bisa kupercaya dan harus kuwaspadai sekarang. Yang pasti, Pranata-pria licik yang usianya terpaut dua puluh tahun lebih tua dariku dan pernah bekerja di perusahaan keluarga kami selama bertahun-tahun lalu kupecat secara mendadak itu, masih menyimpan dendam dan mengintaiku untuk melakukan pembalasan. Entah lewat siapa.


Sempat kupikir lewat Handi, asisten kepercayaanku. Bisa jadi mereka bekerjasama dan sengaja menjebakku untuk menjadi marbot di Masjid Almira Tiga. Sebab kurasa, hanya Handi yang mengetahui tentang rahasia penyamaranku itu, bahkan yang kulakukan atas ide dan usulannya. Tapi sikap Handi sebelum dan setelah kejadian semalam tak menunjukkan hal samasekali.


Hari ini, di hari pertama aku kembali ke perusahaan-terpaksa masuk bekerja atas desakan Papi yang mendapat laporan masalah perusahaan dan proyek-proyek yang telah kupending hampir satu bulan. Dan juga untuk melakukan pengecekan mendalam terhadap seluruh aset perusahaan, jika saja Handi yang kuberi kepercayaan untuk menghandle semua selama aku tidak ada melakukan cara curang dan kelicikan, bekerjasama dengan Pranata.


Sebab, hal tersebut sangat mungkin terjadi.


Tapi hingga berkas dan laporan terakhir yang kuperiksa, tidak ada kejanggalan dan kecurangan yang patut dicurigakan pada Handi, samasekali.


"Selamat pagi, Tuan Alfa." Handi muncul di ruanganku setelah aku memanggilnya.


"Pagi." Aku menatapnya tajam tanpa ekspresi. Berusaha menelisik kejujuran atau kecurangan yang ia sembunyikan.


Sebaliknya, ia justru tersenyum manis ke arahku. Dalam raut penuh tanya dan menyimpan rasa penasaran yang nampak kentara.


"Saya kira Anda baru akan kembali dua hari lagi. Setelah genap satu bulan. Bagaimana pengalaman Anda dalam penyamaran itu, Tuan? Semoga ampuh mengobati kejenuhan, Anda pada semua kekayaan ini." Ia membalas tatapanku dengan raut hormat.


Sementara aku menatapnya semakin lekat.


"Oh ya, pekan lalu Tuan Edibagaskara mendesak saya untuk memberikan nomor ponsel baru Anda sebab Ibu Anda mengalami kecelakaan. Tidak apa- apa kan, Tuan?" Sepertinya ia mulai menyadari sikap berbedaku.


Aku berdehem sejenak. Menetralkan perasaan. Sikap Handi benar-benar membingungkan, sepertinya dia memang tidak terlibat dengan Pranata. Tapi darimana pria jahat itu mengetahui soal penyamaranku? Bukankah hanya Handi yang tahu? Atau memang ada pengintainya di perusahaan ini? Yang terus memata-mataiku?


Atau... mungkinkah Handi hanya sedang bersandiwara sekarang?


Entahlah. Yang pasti, aku harusnya semakin berwaspada, pada siapapun.


Aku mempersilakan Handi keluar tanpa mengucapkan apapun lagi. Membenamkan kepala ke atas meja berlapis kaca tebal nan mengkilat di hadapanku, meja kebesaran tertinggi di perusahaan ini.


Semua yang membuatku semakin berjarak dengan seseorang yang paling kupikirkan dan sangat kurindukan sekarang, istriku, yang bahkan masih kurahasiakan, Adinda.


Bagaimana kabarmu hari ini, Adinda? Apa kamu membenciku? Atau masih memberiku kesempatan menjelaskan walau semua orang tak mempercayaiku, seperti yang kamu bilang semalam?


Adinda, aku sangat rindu.


Bayangan kebersamaan dengannya berkelabat di kepalaku. Saat-saat manis yang merajai hati dan isi kepalaku ini.


Aku begitu merindukan wanita bermata syahdu dengan semua kesederhanaan hidupnya itu. Pencuri separuh jiwaku. Istriku.


Kondisi Mami membaik dalam perawatan intensif beberapa hari ini. Tentu saja sebab Mami mendapatkan pelayanan, tindakan, dan obat-obatan terbaik. Uang memang bisa mempermudah segalanya. Termasuk kesehatan dan kepulihan.


Begitu juga yang dialami Pak Adi, almarhum ayah mertuaku. Jika saja ia memiliki cukup uang, atau seandainya saja aku mengenalnya sejak awal, mungkin penderitaannya tak demikian memprihatinkan.


Di malam wafatnya, aku menerima laporan tentang salah satu pemicu keparahan kondisinya, yaitu sebab seringnya ia mengalami ketelatan menjalani jadwal cuci darah. Keterlambatan mengkonsumsi obat-obatan yang sangat terbatas bisa mereka tebus. Adinda begitu mati-matian memperjuangkan uang untuk memenuhi kebutuhan sakit keras ayahnya itu.


Wanita kuatku. Dialah yang mengorbankan segalanya untuk ayahnya dan berusaha sekuat tenaga.


Dia yang membuatku begitu terpesona.


Malam ini aku tidak bisa terlelap. Mustahil bisa memejamkan mata sementara jiwaku tertinggal bersama seseorang yang begitu kupoja dan kukhawatirkan begitu hebatnya. Adinda.


Kepulanganku karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain, seperti yang diperintahkan Aki kemarin. Saya harus pergi. Bahkan selamanya.



Selamanya? Mana mungkin selamanya aku bisa meninggalkan Adinda di sana.


Aku membuka mata, meraih kunci mobil dan berlari menuruni tangga. Menggapai kemudi mobil lalu bergegas menuju tempat itu lagi. Pijakan dimana ia berada.


Aku akan menjemputnya. Menjelaskan segalanya. Mungkin belum terlambat.


Kurasakan hawa panas menyergap mata saat tiba di halaman Masjid Almira Tiga. Tempat yang begitu akrab denganku belakangan ini.


Aku datang tidak sendiri. Seperti yang dikatakan Abi, datang kembali dan sendiri ke tempat ini, sama artinya aku tengah menentang mautku. Orang- orang di tempat ini begitu membenciku dan bisa melakukan tindakan tak tertakar yang membahayakanku.


Sepuluh orang ajudan menemaniku, di mobil yang berbeda. Sekedar untuk berjaga-jaga. Kami tidak akan menyerang, hanya melindungi diri jika ada hal yang mengancam.


Aku tidak melibatkan dan mengatakan apapun pada Handi. Kurasa tidak ada yang bisa kupercaya sekarang. Semua masih begitu gelap. Siapa yang terlibat bersama Pranata dan semua rencana ini.


Sebelum Adinda benar-benar terhasut, aku akan 'menjemputnya'. Hanya perasaannya yang sungguh-sungguh sangat kupikirkan sekarang.


Aku tiba di depan pintu rumah mungilnya. Rumah sederhana yang merajutkan banyak sekali memori indahku bersama Adinda.


Kuketuk pintu tanpa panggilan. Sebab suaraku sungguh tercekat di tenggorokan. Antara rindu yang menggebu dan rasa khawatir yang mencekam. Menebak ekspresi Adinda, saat kembali bertemu, denganku yang sebenarnya, Alfadi Edibagaskara, bukan Kang Padi bertompel yang selama ini ia kenal.


Beberapa kali kuketuk, tidak ada tanda pintu akan dibuka. Bahkan saat kutelisik lewat sela jendela, sungguh gelap di dalam, tidak ada tanda keberadaannya.


Baru saja berniat menuju jendela kamar, langkahku tertahan oleh suara beberapa orang yang melewati jalanan di depan.


Aku segera menyingkir, menyembunyikan diri. Hanya untuk tak memancing keributan dan menimbulkan kegaduhan yang mungkin akan terjadi, jika ada warga yang melihatku di sini. Meski aku membawa para ajudan yang bisa segera mengamankan. Tapi sungguh, bukan kekuasaan sebenarnya yang ingin kutunjukkan.


Aku bersembunyi di sisi rumah yang gelap, menundukkan diri.


Lalu kalimat-kalimat itu terdengar seperti desiran angin malam yang begitu menyakitkan.


"Jadi Kang Padi itu cuma status samaran dari pengusaha jahat yang sudah ngehancurin Masjid At Taqwa dan sekarang lagi berambisi ngehancurin Masjid Almira juga buat ambisinya bangun tempat perbelanjaan modern di sini?" Suara seorang wanita paruh baya terdengar samar dan kian mendekat.


Mereka sedang membicarakanku. Tentang sebuah fitnah tak terbantah, atasku.


"Iya. Duh, kurang ajar memang. Aji mumpung banget lagi nyari perawan di sini. Adinda yang sholeha lagi jadi korbannya. Pantas dinikahi acara siri. Sudah bapaknya dulu dipenjarakan pas lagi sakit-sakitan waktu ngebela Masjid At Taqwa, eh anaknya dinikahi palsu juga."


Dadaku terasa panas. Pernikahan palsu? Seburuk itu penilaian mereka atasku? Bagaimana dengan penilaian Adinda? Apa sama?


Aku resah dan semakin merasa gelisah. Di balik rindu yang kian bercampur dengan ketakutan.


"Iya, kasihan banget si Dinda. Sudah tinggal sebatang kara, dijadiin mainan orang kaya nggak punya hati itu pula. Siapa namanya? Tuan Alfa?" Sebuah suara lagi menyahut. Terdengar jauh lebih jelas karena posisi mereka yang kian dekat melewati rumah ini.


"Iya. Dan tahu nggak, ternyata si Tuan Alfa yang nyamar jadi Kang Padi itu masih sodaraan emang sama Tuan Wendi, orang kaya juga yang nikahin Tita secara siri. Terus ditinggalin gitu aja juga. Dimaki-maki istri pertamanya dikatain pelakor pula. Sudah jatuh ketimpa tangga namanya!"


Tanganku mengepal. Jadi berita itu, soal hubungan kerabatku dengan Wendi pun sudah menyebar di sini. Saudara sepupu yang selalu dikatakan Mami dan Papi sebagai contoh buruk. Bahkan Mami dan Papi melarangku berhubungan atau dekat dengan Wendi. Salah satu kerabat yang sangat mereka benci. Lalu hari ini, di mata semua orang aku justru dicap sama dengannya.


"Cih! Dasar para pria kaya penjahat selangakangan. Tega bener. Cuma jadiin perempuan kayak mainan. Bener-bener cari yang emang polos, sholeha, dan perawan aja. Untung cepat ketahuan. Dinda juga belum sebulan ini dinikahin palsu gitu. Walau pasti udah diapa-apain."


Seperti mendapat tusukan jutaan jarum di pusat jantungku saat mendengar kalimat terakhir disebut. Seakan aku sebejat itu. Seolah memang itu tujuanku, mengambil 'kegadisannya'. Padahal tidak. Samasekali tidak. Aku benar-benar tulus dengannya.


Aku mendengarkan dalam rasa sakit yang makin menyiksa. Terlebih saat membayangkan penilaian dan oerasaan hancur Adinda saat ini, atasku.


Kian tak sabar bertemu dan menjelaskan, meluruskan segalanya dengan Adinda.


"Terus Dindanya nggak ada ya? Rumahnya kosong tuh. Ustadz Yahya juga udah nyari kemana-mana dari tadi pagi. Kayaknya udah nggak ada dari kejadian semalam."


Aku terhentak. Terkesiap. Adinda tidak ada di sini?


"Iya. Kayaknya diculik deh sama orang kaya itu. Mungkin kemarin malam pas warga udah bubar. Semoga nggak dijahatin lagi aja. Mau dilaporin polisi juga nggak ada bukti. Apalagi status Ustadz Yahya kan cuma sahabat almarhum Pak Adi."


Apa? Jadi Adinda hilang?


Aku benar-benar dihantam kesadaran dan kekhawatiran yang mencapai ubun-ubun sekarang. Memikirkan Adinda. Dimana dia? Dimana istriku sekarang?


Bahkan aku kembali dituduh menculiknya, padahal malam ini aku baru datang, untuk menjemputnya.


Adinda tidak ada? Apa Pranata menculiknya?


Aku segera berangkat membubarkan orang-orangku untuk segera mencari Adinda. Juga mencari keberadaan Pranata.


Tak akan kubiarkan sedikitpun ia melakukan sesuatu pada Adinda.


Walau mungkin saat ini, Adinda juga tengah membenciku yang ia kira mempermainkannya.



Bersambung ....26


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Post a Comment