(23) MARBOT ITU TERNYATA CEO
Penulis: Leaa
Pembelaan Adinda
Aku melangkah mendekat pada pintu yang tertutup tak rapat di hadapanku. Bermaksud segera masuk. Memastikan apa yang terjadi.
"... mencurigakan sejak awal memang Kang Padi itu." Suara berat seorang lelaki dewasa dari dalam terdengar, membuatku menghentikan langkah.
Sepertinya pengurus Masjid Almira Tiga sedang berkumpul di dalam.
"Iya. Makanya dari awal pun nggak jelas asal-muasalnya dari mana, orang baik atau bukan. Kita nggak tahu. Ngaku-ngaku aja sebatang kara dari desa. Dari desa mana?! Nggak jelas sekali kan?! Bahkan nggak ada pernah menunjukkan KTP nya. Padahal seharusnya KTP nya ditahan sejak awal! Kok bisa sih kita kecolongan?!" Suara keras lelaki dewasa lain menyusul pembicaraan di dalam.
Membuatku benar-benar urung mengetuk pintu.
Mereka sedang membicarakanku.
"Iya, betul. Mestinya jangan menerima marbot sembarangan. Walaupun cuma untuk sementara. Kan ada aturannya. Kalau begini, penyesalan untuk kita semua. Terutama Ananda Dinda. Ditipu sampai dinikahi!"
Kupingku memanas. Pun hatiku benar-benar diliput cemas. Mendengar ketegangan pembicaraan di dalam. Menebak-nabak, apa yang mereka simpulkan atasku.
Kali ini aku mencoba mengintip sedikit. Dari posisiku di depan pintu yang renggang ini, tepat terlihat Abi Yahya dan Umi, orang tua angkatku yang menunduk dengan ekspresi wajah yang tak terbaca dari sini.
Abi.
Umi....
Ada yang bergetar dalam hati ini, melihat mereka malam ini. Aku melihat Ummi
menyapu air mata. Ada apa? Apa mereka sedang disalahkan oleh orang-
orang ini?
Mereka yang benar-benar menganggapku sebagai anak kandung. Kepalaku memanas. Pun tanganku mengepal sekarang.
Lalu, dimana Adinda? Tidak terlihat dari posisiku ini. Adinda, apa dia juga menganggapku sama seperti tuduhan orang-orang ini? Apa dia sedang sesedih Umi? Atau jauh lebih terpukul dari itu?
"Iya. Saya yakin itu juga alasannya nggak mau ngurus pernikahan secara resmi di KUA. Alasan aja dia bilang KTP nya hilang. Pasti karena ada yang disembunyikan. Padahal memang cuma mau aji mumpung sama Ananda Dinda. Sudahlah menikahi gadis perawan daerah sini, mencuri kotak amal, kabur gitu aja lagi! Dasar Kang Padi itu penipu! Kita sudah umumkan ke jamaah tarawih tadi, pokoknya siapa saja yang melihat Kang Padi berkeliaran dimanapun, tangkap! Bawa kemari! Kita adili bersama supaya jera!"
Aku terhenyak hebat. Dengan degub jantung yang kembali menghentak.
Jadi... mereka mengira aku kabur? Meninggalkan Adinda bahkan mencuri kotak amal?
Tunggu dulu... itu semua terdengar seperti suara para pengurus Masjid Almira Tiga. Jadi mereka sudah tahu aku pergi tanpa kabar selama dua hari ini? Dan demikian buruk kesimpulannya? Ya, jelas saja mereka tahu. Aku selalu ada di Masjid Almira selama ini. Jika aku tidak ada, mereka pasti mencari.
Ya, aku memang berbohong, menyamar, tapi aku tidak menipu. Tidak mungkin mencuri kotak amal masjid apalagi memanfaatkan Adinda dengan menikahi lalu meninggalkannya begitu saja.
Masalah ini terasa semakin rumit. Urusanku jika begini bukan hanya memberikan penjelasan yang sebenarnya pada Adinda dan Papi Mami. Tapi juga pada semua orang.
"Benar. Masih untung kalau dia cuma penipu amatiran yang sekedar aji mumpung. Bagaimana kalau profesional? Memang terencana." Kali ini suara bariton seorang lelaki yang kutahu juga bagian dari pengurus masjid.
"Professional bagaimana?"
Aku masih ikut mendengarkan tanpa diketahui. Bertanya-tanya juga dalam hati. Tapi seperti ada yang lebih menggertakkan dari dugaan ini, dibandung hanya dituduh mencuri kotak amal.
"Masih ingat Perusahaan Bagaskara yang menghancurkan Masjid At Taqwa kan? Dengan ambisi mereka untuk membangun mall di lokasi itu. Untung ada Tuan Aldo Amagatta yang menyelamatkan. Terus membangun lagi Masjid Almira Tiga. Saya hanya curiga, jangan-jangan Kang Padi ini penyusup dari Perusahaan Bagaskara, mata-mata. Mereka pasti masih berambisi mendirikan mall di lokasi strategis masjid ini. Bukan nggak mungkin kembali berniatan melakukan hal yang sama dengan Masjid Almira lalu kembali melaksanakan niat awal mereka membangun mall."
Aku benar-benar membeku sekarang. Mendengar kecurigaan itu.
Bagaimana mungkin mereka bisa mencurigai sampai ke sana? Mungkin sebab kasus perubuhan Masjid At Taqwa begitu membekas bagi semua masyarakat di sini. Kasus yang dilakukan oleh Pak Pranata, atas namaku.
Dan bagaimana mungkin semua bisa terjadi setepat ini?
"Oh ya. Bisa jadi. Tunggu dulu, kalau tidak salah Kang Padi ini diperkenalkan oleh Nak Handi putranya Pak Handoko yang donatur rutin Masjid Almira Tiga itu kan? Dan Nak Handi ini bekerja di perusahaan luar kota. Nah, perusahaan apa? Kita harus pastikan. Jangan-jangan... Perusahaan Bagaskara. Karena keluarga Pak Handoko juga penduduk baru kan di sini, pindahan dari Semarang. Baru satu tahunan tinggal di sini. Jadi mereka nggak tahu sejarah masjid ini dan kasus dengan perusahaan itu. Nanti coba langsung kita cek ke Pak Handoko dimana tempat kerja Nak Handi."
Matilah! Aku memijit kening tanpa sadar. Benar-benar kacau jika sampai mereka tahu Handi memang bekerja di perusahaanku. Bagaskara Coorporation. Aku secepatnya harus memberikan instruksi darurat pada Handi. Agar merahasiakan perusaahaan tempatnya bekerja. Membuat orangtuanya juga tutup mulut. Sebab orang-orang ini pasti akan bertanya pada mereka.
"Iya. Coba nanti segera di cek. Benar juga. Apalagi mereka dulu yang memenjarakan Almarhum Pak Adi. Berseteru hebat dengan almarhum yang mati-matian mempertahankan Masjid At Taqwa. Masih ingat kan? Ya, bisa jadi masih ada motif dendam di sini. Orang-orang kaya yang tak berperasaan."
Aku seperti benar-benar terjebak dan tak memiliki jalan keluar lagi sekarang. Satu-satunya yang paling kupikirkan adalah Adinda, istriku.
Dimana dia sekarang? Aku tak melihatnya. Apa dia percaya dengan semua ini? Apa dia akan percaya jika kujelaskan?
Sungguh aku tidak takut pada apapun. Atas nama baik yang hancur ataupun jika aku akan dibenci semua orang. Yang kutakutkan hanya jika Adinda membenciku.
Jangan membenciku Adinda.
Aku tak ingin melihatnya menderita lagi. Akibat kesalahpahaman ini.
"Apa kita perlu lapor polisi?" Terdengar lagi suara seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak tahu siapa.
Aku terkesiap.
"Oh ya, perlu! Harus! Kita laporkan aja biar polisi bisa melacak identitas aslinya Kang Padi ini! Kebetulan kan ada beberapa fotonya yang sempat terambil di kegiatan-kegiatan. Pas acara selamatan pernikahan juga sempat ada yang ambil fotonya. Kalau perlu kita cetak banyak-banyak dan sebarkan kemana-mana!"
Ya Tuhan. Kenapa jadi begini? Aku mundur selangkah dengan gentar. Jika hal itu sampai terjadi, akan semakin kacau keadaannya.
Adinda, bagaimana dengan Adinda? Aku tak mau lagi dia menderita.
Aku sudah berjanji akan menjaganya sampai mati.
"Cukup! Tolong berhenti! Jangan lapor polisi! Jangan menuduh yang bukan- bukan! Kang Padi nggak begitu! Tidak seperti yang kalian tuduhkan!"
Tiba-tiba sebuah suara keras terdengar dari dalam. Memutus semua kericuhan orang-orang yang sejak tadi bicara.
Suara itu... suara Adinda.
Hatiku bergetar.
Saudari?
"Astaghfirullahaladzim.... Maafkan saya, Bapak, Ibu semua. Maafkan Adinda. Tapi Dinda mohon, jangan melapor ke polisi. Kang Padi bukan orang jahat. Nggak seperti yang kalian pikirkan. Bukan penipu. Jangan menuduh Kang Padi begitu." Lagi-lagi suara Adinda.
Aku merasakan sesuatu yang begitu sejuk memeluk tubuhku. Dalam rekah tak tertebak yang membuatku terpaku menyelami suara itu.
"Ananda Dinda, maaf, kita bukannya menuduh. Tapi ini fakta. Kalau tak ada niat buruk, mana mungkin dia kabur tanpa pamit dan tanpa penjelasan begini. Sudah dua hari menghilang begitu saja, bagaimana mungkin kita tidak curiga? Bertepatan dengan hilangnya kotak amal masjid pula." Suara seseorang menyahut di dalam.
"Bukan. Pasti bukan Kang Padi yang mencuri kotak amal itu. Kang Padi nggak melakukan penipuan apapun." Adinda masih membelaku.
Dan aku merasakan hembusan nafas yang menjelma bagai bola-bola erlompatan di sepenuh dada. Adinda.....
"Lalu kenapa harus kabur kalau tidak bersalah?"
"Kang Padi tidak melarikan diri. Pasti Kang Padi punya alasan mengapa dia tiba-tiba pergi. Beri aku waktu. Aku akan mencari Kang Padi dan membawa suamiku untuk menjelaskan semua kesalahpahaman ini." Suara Adinda terdengar menindas dan bergetar dari dalam.
Hatiku basah. Sungguh aku tak tahu harus berkata apa lagi sekarang. Aku terlalu lega. Dan haru luar biasa mendengar pembelaan Adinda.
Bukannya ikut menyalahkan, ia justru membelaku begitu hebatnya.
Adinda, aku salah mengira.
Pembicaraan di dalam diakhiri oleh suara Abi Yahya. Meminta tenang semua orang. Menyepakati dan menghormati pendapat Adinda. Memberi waktu sampai aku kembali.
Setelah itu, orang-orang, para pengurus Masjid Almira Tiga yang ternyata sedang berkumpul untuk membahas tentangku itu keluar dan bubar.
Aku menarik diri. Bersembunyi di sisi kanan rumah kayu sederhana ini, di tempat yang gelap. Hanya mengintip dari jauh. Saya memang belum siap menjelaskan dan menjawab semua tuduhan kesalahpahaman saat ini.
Terakhir, Abi dan Umi yang berpamitan pada Adinda yang mengantar sampai ke pintu. Kudengar mereka mengajak Adinda menginap di rumah Abi dan Umi tapi ia menolak. Beralasan menungguku. Mengkhawatirkan jika aku pulang dan ia tak ada di rumah katanya.
Di pijakan ini, rekah hatiku kian menjadi. Adinda, aku sungguh terharu.
Abi Yahya dan Umi pergi. Tertinggal ia sendiri. Berdiri di teras. Menatap pada bulan. Mungkin dia sedang teringat kata-kataku tentang bulan dan 'kehilangan' di perkenalan awal kami.
Aku masih diam di tempat persembunyian. Menatapi dirinya dalam cinta yang makin menggebu dan kekaguman yang bercampur jadi satu.
Sampai di detik aku tak kuasa lagi menahan buncahan rindu.
Aku melangkah mendekat. Berdiri beberapa langkah di belakangnya.
"Adinda."
Dia berbalik.
"Kanda?!" Matanya berbinar penuh cinta. Memekik dalam melodi rindu yang sama, denganku.
Aku tersenyum. Menghadapinya.
Dia melompat dalam pelukan saat aku membuka tangan sampai aku sedikit terhuyung ke belakang.
"Memakai...."
"Adinda. Maaf...." Suaraku tercekat.
Dia menatapku.
"Tadi aku dengar pembicaraan orang-orang di dalam. Aku tidak--"
Ucapanku terhenti. Sebab ia sudah mengangguk mengerti. Dengan mata berkaca-kaca dan senyum tulus yang kian membuat tenang jiwa. Dari raut dan pandangan sendunya, wanita sholeha.
"Kanda, meski tidak ada yang percaya pada Kanda, hanya Adinda yang akan percaya."
Mataku panas.
Aku segera memeluknya. Erat sekali.
"Aku mencintaimu, Adinda."
Bersambung ..24
0 comments:
Post a Comment