Just another free Blogger theme

Sunday, August 10, 2025

 (24) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea

Fitnah






"Aku mencintaimu, Adinda." Kalimat itu kembali kukatakan sebelum mengungkapkan kejujuran. Padanya, aku sungguh sangat cinta.


"Adinda juga," ucapnya dengan teduh sekali, terdengar dari hati dan terasa sekali menembus hatiku ini.


Menghadirkan retakan mendebarkan yang semakin kuat setiap saat. Atas namanya sendiri.


Bukankah tidak ada yang lebih membahagiakan selain dua orang yang saling mencintai dan bisa bersatu seperti ini?


Aku mencintai dia dan aku pun mencintai kehidupan sederhana ini. Apa untuk ini, aku harus bersembunyi dalam penyamaran ini selamanya?


Benarkah aku sanggup bertahan selama itu?


Ini sungguh memalukan.


Aku takut mengakui semua. Tapi logikaku terus menguat. Aku harus mengatakan sekarang, tak bisa lagi kutunda. Apapun yang akan terjadi, aku harus mengungkapkan yang sebenarnya.


Bertanggungjawab atas keputusanku sejak awal mengajukan niatan meminangnya lewat Abi Yahya dengan penyamaran ini. Saat aku datang kepadanya sebagai Kang Padi, bukan sebagai Tuan Alfa. Padahal sungguh, sejak awal aku memiliki pilihan untuk jujur. Tanpa kebohongan. Tapi ketakutanku saat itu, dari melihat penolakannya pada Ustadz Khalid dan pria 'kaya' lainnya, membuat aku bertahan dalam keputusan, berbohong menjadi 'lelaki biasa'.


Malam itu, di malam aku mendadak harus menikahinya pun, sebenarnya aku selalu memiliki pilihan untuk jujur. Bahkan di hadapan ayahnya. Tapi lagi-lagi aku tak melakukannya.


Hingga hari-hari yang terlalu membahagiakan bersamanya membuatku tak ingin mengusik sedikitpun kebersamaan dengannya. Setiap detik yang terasa begitu berharga. Seakan aku tak pernah siap jika hari-hari membahagiakan itu akan sekejap berakhir begitu aku mengakui yang sebenarnya.


Lantas aku mencari pembenaran bahwa aku tengah mempersiapkan sudut pandangnya sampai bisa menerima semua kenyataan yang akan kuungkapkan. Dan itu semua sebenarnya hanya alasan yang kupaksakan demi tak mengusik kenyamanan yang baru kali ini kurasakan. Hidup bersama seorang wanita yang membuatku benar-benar jatuh cinta.


Padahal aku sungguh memiliki banyak waktu untuk mengakui sebelum hari ini.


Dia kembali tersenyum ke arahku. Mengajak masuk. Menyadarkanku dari semua yang berkelabat dalam pikiran, hari-hari indah yang kulalui dengannya.


Aku mengangguk. Benar, bicara di dalam lebih baik.


Kami masuk, dengan masih berpegangan tangan. Selayaknya dua sejoli yang sedang diliput kasmaran. Bahkan di dalam ikatan hubungan yang halal.


Aku memegang erat satu tangannya, menautkan jemari dan menahan tubuh itu dengan menekan lengan ke daun pintu yang baru saja dikuncinya.


Suasana hening, kami berhadapan, hanya berdua, dan saling suka, juga saling cinta, nyaris membuat aku kembali lupa pada hal paling harus kuungkapkan, sekarang juga.


Ya. Aku tersadar akan harusnya menahan diri, saat ini.


Kutahan nafas segera, menarik mundur tubuhku lagi yang sudah mengunci semua gerakannya di daun pintu. Meski dia sudah memejam dan akan pasrah dengan apapun yang suaminya ini inginkan. Atau sebab naluri wanitanya juga mengharapkan. Dua hari tak bertemu membuat rindu ini membuncah hebat di balik dadaku. Dan pada dirinya pun, aku bisa melihat itu. Kami, sebagai pengantin baru. Yang bahkan baru melalui malam pertama dua hari lalu. Kemudian aku pergi tanpa kabar padanya keesokan harinya.


Aku menatap wajah polos dan mata terpejamnya.


"Adinda." Berbisik.


Ini membuka mata. Dan segera bertemu dengan tatapan tetapku.


Aku yang menatapnya penuh harap. Ba' seorang terdakwa yang akan mengakui semua dosa dan bersiap atas keputusan hakim setelahnya.


"Ya?" Ia mengerjap, dengan nada bertanya.


"Ada yang ingin kukatakan." Saya saat ini, dengan putus asa mengumpulkan kepercayaan diri. Tidak ada keraguan lagi.


"Hem? Setelah Kanda makan malam aja? Adinda siapkan dulu ya?" Selanya dengan begitu lembut. Istri sholeha yang kian membuatku jatuh cinta.


Bahkan sejak detik pertama aku tiba, ia menahan diri untuk memberondongku dengan banyak sekali pertanyaan yang tersimpan di balik dadanya, aku tahu. Sebenarnya ia ingin bertanya, aku dari mana? Mengapa tak berpamitan sebelum pergi? Mengapa baru pulang?


Ya, aku tahu, pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya memenuhi dadanya. Tapi ia menahan diri untuk mengusikku segera. Malah mengajak masuk, lalu menawarkan makan malam. Bukankah dia istri impian yang memang begitu kudambakan?


Aku sangat merindukan pasangan hidup seperti dia. Bening Hatinya nan sederhana dalam segala halm  Dia cantik di dalam kealamian sebenarnya. Maka lalu kuat dalam kesholihan sesungguhnya 


Aku menggeleng.


"Atau Kanda mau istirahat dulu?" la kembali menawarkan.


Aku menggeleng lagi. Posisi kami masih sama. Berhadapan. Dia menyandar di daun pintu dan aku mengunci dengan sebelah lengan, tepat di sisi pundaknya.


Masih seperti ini dan aku tak ingin menunda kembali. Untuk makan ataupun beristirahat. Tidak, aku tak akan mengulur waktu lagi.


"Sekarang, Adinda." Aku menarik nafas dalam. Bersiap mengucapkan pengakuan yang pasti akan begitu mengejutkan baginya. "Aku-"


Tok tok tok!


Ketukan pintu yang berada tepat di belakang punggung Adinda sungguh mengejutkan. Dia melompat dan secara refleks memelukku lagi.


Kasus! Kasus! Kasus!


Ketukan di pintu semakin keras. Tidak ada panggilan.


Aku mengernyitkan dahi. Siapa lagi?


Lalu menggeser Adinda ke sisi tubuhku saat ia melepaskan pelukan. Lantas aku membuka pintu dan....


Bangkrut!


Tubuhku termundur ke belakang hingga membentur dinding pliwot kamar. Oleh dorongan kuat seseorang.


Aku terhenyak dan Adinda menjerit tak kalah terkejut.


Abi Yahya. Abi yang mendorongku. Dan menatapku dengan mata memerah menahan buncahan amarah.


Ada apa? Bukankah Abi dan Umi baru saja pergi tadi? Kenapa tiba-tiba kembali? Dan bersikap seperti ini?


“Abi?”


"Jangan panggil aku seperti itu lagi!" Suara Abi Yahya yang biasanya lirih kini terdengar begitu menekan.


Aku semakin kebingungan.


Di belakangnya, Umi nampak menatapku dengan pandangan ragu.


Ada apa ini?


"Umi? Abi? Kenapa?" Aku berusaha untuk menenangkan Abi yang nampak begitu marah dan Umi yang memancarkan wajah cemas. Tak pernah aku melihat Abi Yahya semarah ini.


Abi malah mendekatiku. Memaksaku untuk mengeluarkan dompet bahkan merebutnya sendiri dari kantung celanaku. Lantas mengeluarkan KTP ku yang jelas ada di sana. Aku baru saja melakukan perjalanan antar kota. Tentu kartu identitas itu kubawa serta untuk berjaga jika ada razia. Aku belum sempat menyimpan dompet dan seluruh kartu identitasku seperti biasanya, saat aku menyamar menjadi Kang Padi.


Dan di kartu identitas itu, jelas sekali tertulis namaku beserta wajah asliku.


Abi mengangkat dan menunjukkan KTP itu ke hadapanku.


"KTP hilang? Lalu apa ini? Apa Anda akan beralasan kalau ini hanya dompet dan kartu identitas yang tidak sengaja ditemukan di pinggir jalan?!"


Aku terdiam dalam gentar. Bahkan semakin bergetar saat Abi menyebutku dengan sebutan 'Anda', bukan 'Nak' seperti biasa. Padahal aku sungguh sudah menganggap mereka sebagai orangtuaku sendiri.


Tak tahu harus menjawab apa sekarang.


"Ayah, jangan-" Adinda berusaha melindungiku. Tapi Abi menahannya.


Lalu begitu cepat ia menarikku dan dengan keras mencabut tompel yang menempel di pipi kananku, lalu di pipi kiri, kemudian dagu. Sebelum aku sempat mengelak. Ah, lebih tepatnya aku memang tidak mengelak. Kekuatanku rasanya sungguh melebur saat ini.


Tiga tompel sintetis itu sudah terlepas dari wajahku. Membuat Adinda yang masih berusaha melindungiku segera terdiam, mematung. Menatapku tak percaya. Sangat terkejut.


Secepat itu pula, dengan kasar Abi mengambil sebuah majalah bisnis dari tangan Umi, menunjukkan halaman yang memuat foto dan identitas serta namaku yang tercetak besar di sana. Fotoku dalam balutan tuxedo ternama di ruang kerja nan mewah perusahaan. Nyata tertulis, Alfadi Edibagaskara- CEO Bagaskara Coorporation.


"Aku bisa jelaskan...." Nafasku sungguh kacau. "Adinda... percaya padaku. Aku bisa jelaskan semua ini. Jangan salah faham." Sungguh aku diserang kepanikan tak terkira.


"Apa rencana Anda dengan menyamar dan menyusup seperti ini? Ingin menghancurkan Masjid Almira seperti Anda menghancurkan Masjid At Taqwa?! Jadi sebesar itu ambisi Anda untuk menjadikan lokasi ini sebagai pusat perbelanjaan modern?!" Pertanyaan bernada tuduhan dan kesimpulan itu segera dihujamkan Abi kembali padaku.


Aku benar-benar tak diberi kesempatan untuk bicara.


Sementara Adinda sungguh mematung dengan air mata yang tumpah tanpa suara. Mematung menatapku dalam sorot mata sangat terluka.


Tidak ada yang lebih menyakiti hatiku selain melihatnya disalahpahami seperti ini. Merasa sangat berhati-hati. Sebenarnya aku sudah tidak peduli lagi dengan kemarahan Abi.


"Adinda...." Aku berusaha menggapai.


Tapi Abi justru cepat menepis tanganku. Lalu menampar pipiku dengan keras.


Plak!


"Jangan sentuh dia dengan tangan kotormu itu, Tuan Alfadi Edibagaskara! Setelah dulu Anda memenjarakan almarhum Adi di tengah sakitnya, lalu sekarang mempermainkan putrinya? Untuk membalas dendam?! Begitu? Apa belum puas?!" Abi menatapku dengan pandangan mematikan. "Aku menyesal pernah menganggapmu sebagai anak." Suara Abi bergetar dan terasa sangat menyakitkan. Ia menggeleng berat.


Aku juga merasakan sakit sekali, mendengar kalimat itu.


Lalu tubuhku didorong keluar oleh Abi. Dalam kemarahan yang tak bisa ia tahan. Kekecewaan yang begitu hebat, padaku. Kesalahpahaman paling tak kubayangkan.


"Pergilah! Dan jangan pernah kembali lagi! Semua orang di sini tahu, sia-sia sekalipun menuntut Anda ke pengadilan atas tuduhan yang bisa dengan mudah Anda bantah dengan uang dan kekuasaan. Tapi orang-orang di sini juga tahu, cara membalas kekecewaan dan sakit hati. Menghakimi Anda tanpa ada yang membela, tanpa perduli nyawa, saat ini." Abi menatapku tajam. Dan dalam.


"Abi-"


"Pergi sekarang!" Kali ini aku bisa merasakan, kemarahan Abi adalah layaknya kemarahan seorang Ayah pada anaknya. Marah karena sayang.


Ya, sampai detik ini aku tahu dia masih menganggapku anaknya. Anak angkat. Meski tadi ia membantahnya.


Seiring kudengar ramai suara orang-orang berdatangan, mendekat ke rumah ini.


"Pergi sekarang! Atau mereka akan tiba dan mengeroyok Anda malam ini! Pergi! Dan jangan pernah kembali lagi! Warga tidak akan mungkin mendatangi ke tempat tinggal atau perusahaan Anda. Tapi jika Anda yang berani datang tanpa pengawalan, itu sama artinya mengantar nyawal Pergil Abi mendorongku dengan keras. Hingga aku terjerembab ke sisi rumah yang terhubung dengan jalanan setapak. Lalu melemparkan dompet

serta KTP ku yang tadi diambilnya.


Kemudian sekali lagi menghardik agar aku segera pergi. la sedang melindungiku. Tak ingin warga menyakitiku.


Orang-orang itu datang. Kian dekat. Dengan teriakan-teriakan menyebut namaku. Seperti siap memangsa.


Aku tersadar. Benar kata Abi, bertahan di sini sekarang sama artinya mengantar nyawa. Mereka yang masih menyimpan sakit hati akibat penggusuran Masjid At Taqwa dengan berkas perintah atas namaku. Lalu mengira saat ini pun aku sengaja menyusup, membuat rencana untuk kembali menggusur Masjid Almira.


Mereka salah faham. Tapi dalam kemarahan seperti itu, tak satu pun akan mau mendengar penjelasanku.


Bertahan di sini sama artinya, menentang maut. Lalu bagaimana dengan Mami dan Papi?


Hanya ada satu cara menyelamatkan diri. Pergi. Seperti yang kembali dihardikkan Abi dari teras rumah mungil itu.


"Ayo cepat"


Aku berdiri. Terhuyung. Lalu melangkahkan keki cepat. Pergi, dengan setengah berlari, meninggalkan setengah hatiku di rumah itu, melalui arah berlawanan dari datangnya orang-orang.


Aku sempat mendengar protes Abi yang berbohong kepada orang-orang yang datang.


"Tidak ada. Lelaki jahat itu tidak datang kemari. Ya kan, Ananda Dinda? Sudahlah lupakan saja. Pasti dia memang benar-benar kabur setelah menduga penyamarannya akan terbongkar. Sudah! Bubar!"


Abi sedang melindungiku. Meski dia tak ingin lagi melihatku.


Aku lari, tanpa menoleh ke belakang. Membawa rasa gejolak di hati. Dan rasa takut yang sangat besar terhadap bayangan Adinda ada di dalam diriku saat ini. Air matanya dan ekspresi kagetnya. Sangat menyakitkan.


Pikiranku kacau sekali. Dipenuhi tanya, dari mana mereka mengetahui penyamaranku dan bisa menyimpulkan sejauh itu? Menuduhku berniat jahat, rencana penghancuran Masjid Almira? Siapa yang mengarang semua fitnah ini?


Lalu bagaimana aku menjelaskan semua ini pada Adinda jika dia pun tak lagi percaya?


Adinda.....



Mataku terasa panas. Aku sudah berlari cukup jauh. Nafas berkejaran dan aku terhenti dalam bayang patah hati paling mematikan. Dalam tuduhan yang begitu sulit kupatahkan.


Sebuah mobil melintas dan berhenti cukup dekat denganku. Kaca kemudinya terbuka dan muncul dari sana seraut wajah licik yang menatapku dengan pandangan penuh kepuasan.


"Nikmati semua ini, Tuan Alpha!" Dia tersenyum licik padaku.


Membuatku terkesiap hebat.



Bersambung ....25

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Post a Comment