Just another free Blogger theme

Thursday, August 14, 2025

 (26)  MARBOT ITU TERNYATA CEO 


Penulis: Lea

Bertemu Adinda





Pranata tidak mudah untuk dijinakkan. Saya tahu Tapi setidaknya orang-orangku sudah berhasil mengetahuinya. Meski hampir tertangkap dengan kewaspadaan dan perhatiannya. Aku memang bukan ahli kelicikan seperti dia.


Dan tidak ditemukan Adinda. Tidak ada tanda-tanda Adinda diculik oleh mereka. Lagipula, sejak awal sebenarnya aku memang meragukan jika Pranata sampai melakukan itu.


Jika sampai ia lakukan, justru dirinya lah yang terancam. Padahal aku tahu tujuannya, membuat Adinda membenciku.


Kalau bukan dengan Pranata, lalu dimana Adinda?


Aku mengusap muka. Semakin resah. Mustahil merasa baik-baik saja sementara istriku entah ada dimana.


"Adinda, kamu dimana, Adinda?" Aku bergumam sendiri.


Terus memberi perintah kepada masyarakat untuk mencari Adinda. Jadi bayangkan, betapa sulitnya meminta orang-orang saya mencari hanya dari fitur.


Sebab itu, beberapa kali aku terlonjak saat mendapat kabar dari salah satu ajudan, menemukan 'seperti Adinda. Sebagaimana ciri-ciri yang kusebutkan. Ada di stasiun.


Aku langsung melesat ke sana. Menemui seorang gadis berjilbab panjang dengan tampilan sederhana yang kabarnya baru ditinggalkan oleh suaminya, sedang ditahan oleh para ajudanku.


Salah orang.


Dan aku kecewa. Semakin cemas saja.


Kekhawatiran yang menjulang dan rasa rindu yang menggebu. Bagaimana mungkin bisa dikendalikan perasaan ini?


Sialnya, foto Adinda pun aku tidak punya. Di resepsi pernikahan sederhana kami saat itu, aku belum menyalin hasil potretan dari kamera handphone Abi Yahya. Sebab aku juga berpura-pura tidak memiliki handphone, sama seperti Adinda.


Aku mengambil kebijakan meliburkan perusahaan dua hari menjelang Hari Raya Idul Fitri. Keputusan sepihak dan mendadak. Padahal biasanya, cuti lebaran baru akan berlaku di hari H dan tiga hari setelahnya. Sebab Handi pun sedang kuragukan sekarang.


"Kenapa?" Papi sempat bertanya. Soal kebijakan yang kuberikan secara mendadak itu, bagi seluruh karyawan.


Aku mengatur nafas dan ekspresi khawatir yang menguasai hati. Demi menjawab senormal mungkin

Pertanyaan Papi.



"Oh, nggak apa-apa, Pi. Hanya memberikan waktu libur lebih panjang setahun sekali untuk semua karyawan kita," jawabku datar. Meyakinkan.


Papi menatapku.


"Sudah dipertimbangkan dengan matang?" tanyanya sambil menyeruput kopi.


Sejak kepemimpinan perusahaan diserahkan padaku, Papi memang hanya memantau dari rumah. Sembari rutin menerima laporan dariku.


"Tentu. Supaya karyawan semakin loyal dengan perusahaan kita. Dengan 'rasa pengertian' yang kita berikan dan waktu berlibur yang lebih panjang," jawabku lagi. Mencoba masuk akal.


Dan Papi mengangguk percaya.


Syukurlah.


"Bukan karena kamu ingin pergi lagi kan?" Tapi tiba- tiba Papi menembak.


Maksud Papi?


Ya, sedikit banyak Papi pasti menyimpan curiga, pada sikapku beberapa hari terakhir, setelah pergi dari penyamaran selama hampir satu bulan. Serapat apapun semua sikap coba kuredam, saat berhadapan dengan Papi dan Mami.


Aku belum menceritakan soal penyamaran menjadi marbot masjid yang kulakukan. Hal paling tidak masuk akal yang mungkin akan membuat Papi Mami justru jantungan. Sebab tujuan awalku memang hanya untuk mengatasi kejenuhan. Dan jika kusampaikan sejak awal, sudah pasti mereka tak akan setuju.


Aku juga menyimpan rapat soal Adinda, sampai hari ini. Sebab aku takut, khawatir luar biasa, jika orangtuaku tahu aku sudah menikahi seorang wanita sepertinya, lalu Papi dan Mami tak terima, maksudku, belum siap menerima, maka mereka justru akan menjauhkanku dari Adinda.


Bukan tidak mungkin bahkan akan menyembunyikan Adinda dariku, selamanya. Padahal sekarang pun Adinda masih belum bisa kutemukan. Sangat kucemaskan.


"Aku hanya masih ingin refreshing." Aku mengangkat bahu. Dengan ekspresi yang kudatarkan. Padahal dadaku tengah berdegub kencang.


Aku kembali, ke kota asal Adinda. Mencarinya. Tentu

Saja Aku mencarinya.



Kemana kamu, Adinda?


Lalu detik mendebarkan itu datang. Adinda ditemukan. Di suatu tempat yang teralpa kuingat.


Aku melangkahkan kaki ke tempat itu. Dengan jiwa yang gentar dan hati yang meronta-ronta. Begitu ingin memeluknya sekarang.


Di tanah kuburan.


Di makam almarhum Pak Adi, ayahnya. Adinda ada di sana. Memeluk kepala nisan dengan raut wajah paling menyedihkan.


Langkahku terhenti di jarak cukup jauh. Meredakan gejolak di dada ini. Rasa bahagia menemukannya dan kecemasan kembali menghampirinya.


Ternyata dia di sini. Mungkin sejak malam itu. Di malam kepergianku. Menurut laporan para ajudan, ia sempat pulang pagi tadi, ke rumah mungil itu, lalu kembali ke makam ini lagi.


Setelah ayahnya pergi, ia tak lagi memiliki siapapun kerabat. Lalu aku berikrar menjaganya. Dan terpaksa malam itu meninggalkannya.


Kakiku bergetar. Melangkah mendekat.


Aku masih mengenakan kemeja, dasi, dan jas kantor. Sungguh tak terpikir bahkan tak sempat berganti pakaian. Melompat dan terburu-buru menemuinya di sini setelah mendapat kabar dari orang-orang yang kuminta memantau tempat tinggalnya.


Tanpa tiga tompel besar Kang Padi. Juga dalam tataan rambut normalku, tidak culun seperti yang selama ini ia kenal. Aku menjadi Alfado Edibagaskara sepenuhnya. Diriku yang sebenarnya. Memang tak ada lagi yang bisa kusembunyikan darinya. Dia sudah mengetahui segalanya.


Sekian langkah di hadapannya. Aku berhenti. Merasakan panas menyergap dada dan ujung mata demi melihat kantung mata menghitamnya. Terlihat begitu menyedihkan. Adinda.


Seperti tersayat hati ini menyaksikannya.


"Adinda..." Dengan suara serak. Kuberanikan memanggilnya.


la mendongak. Menatapku dengan pandangan terluka. Lalu menunduk dalam. Mengemasi air mata. Berdiri. Membenarkan tas lusuh melintang di depan dada yang koyak-koyak di beberapa bagian. Tas satu- satunya miliknya, yang selalu ia bawa.


Aku berdetak menunggu.


Lalu dia berbalik dan pergi ke arah yang berlawanan.


Pergi?


"Adinda...." Aku mengejarnya.


Aku tahu, iní pasti terjadi. Mustahil ia tak menganggapku hanya mempermainkannya. Setelah semua yang ia lihat dan dengar. Semua fakta yang begitu tak terbantah. Fitnah atasku. Serta penyamaranku, ketidakjujuranku. Ketakutannya, traumanya. Aku sungguh sudah menyakitinya.


Dia mempercepat langkah. Hendak berlari dan segera kutahan lengannya. Memaksanya berhenti.


Kuburan sedang begitu sunyi. Tidak ada siapapun kecuali kami.


Dia berusaha menyingkirkan tanganku yang menahan. Dengan air mata yang berjatuhan. Masih menunduk. Sedikitpun tak mau mengangkat wajah. Tak mau melihat padaku.


Sakit sekali melihatnya seperti itu.


Ya, sakit sekali melihatmu seperti ini, Adinda.


"Adinda, dengarkan aku. Aku bisa jelaskan. Ini salah faham.


Aku menariknya untuk berdiri menghadapku.


la masih menunduk. Dan kulihat tetes-tetes bening dari matanya berjatuhan ke tanah. Dia masih bungkam. Menutup rapat bibir polos itu.


"Adinda. Lihat aku. Aku mohon percaya padaku. Aku tidak seperti yang orang-orang bilang. Aku memang menyamar, menjadi marbot masjid, menjadi Kang Padi. Ya, aku mengakui. Tapi aku punya alasan. Dan alasannya bukan atas dasar niat jahat. Tidak, Adinda. Aku hanya...."


Kalimatku menggantung. Saat tiba-tiba ia mengangkat kepala. Kembali menatapku dengan pandangan kecewa dan terluka. Pada mata yang berkaca-kaca. Seakan aku benar-benar menyakitinya.


Menatap mata sendunya. Wajah polosnya. Semua yang ada pada dirinya dan kurindukan begitu besar.


Terdiam beberapa saat. Sampai kudengar la bergumam pelan.


"Kamu siapa?" Bahkan seperti bisikan.


Aku? Dia bertanya tentang aku? Ah iya. Mungkinkah dia tidak mengenalku? Dengan penampilan berbeda ini? Bukan pria kutu buku yang sederhana. Ya mungkin.


Tapi kenapa dia pergi jika dia tidak mengenalku?


Dia menatapku. Dalam pandangan mata sendu yang begitu sulit kuartikan maknanya.


"Aku... suamimu, Adinda. Aku...."


Dia menggeleng.


"Bukan. Maaf, Tuan. Anda salah orang." Melepaskan cekalan tanganku. Lalu kembali melangkah cepat.


Aku kembali cepat menyambarnya.


Adinda."



Aku tahu ia hanya berpura-pura tidak mengenal. Setidaknya dia pasti mengenali suaraku.


"Tidak salah, Adinda. Kamu istriku-"


"Istri mainan?" Tiba-tiba ia memotong. Dengan suara parau. Kali ini kulihat kilatan marah yang terpancar, di matanya. Kecewa yang sangat besar.


Aku menggeleng. Sungguh akhirnya dia mendugaku seperti itu.


"Adinda. Dengarkan aku dulu-"


"Dengarkan saya, Tuan. Anda bisa memiliki apa saja, tapi tidak dengan perasaan seseorang." Pernyataan ambigu itu yang ia ucapkan. Memotong ucapanku.


Cepat ia membuka tas lusuhnya. Mengambil sesuatu dari sana. Ternyata gamis, baju, dan jilbab baru yang hari itu kubelíkan untuknya.


Didorongnya pakaian itu ke depan dadaku. Memaksaku mengambilnya kembali.


"Harga diri saya tidak semurah pakaian mahal ini. Meskipun saya tidak pernah memiliki pakaian baru. Anda tahu," ucapnya sambil terisak. Menekan. Lalu la berbalik cepat. Berlari pergi.


Harga Diri ?


Ya, saya menyentuhnya malam itu setelah membelikannya gaun ini. Jadi itu intinya? Saya memberi hormat padanya dengan gaun ini?


Seolah ada sesuatu yang sakit di hati yang satu ini. Untuk kesalahpahaman yang begitu besar. Sudut pandangnya yang semakin tak terkendali, padaku. Atas orang-orang kaya yang membuatnya trauma. Dan sekarang dia menganggapku sama.


Aku mengejarnya lagi. Melepaskan pakaiannya ia kembali terjatuh ke tanah.


"Bukan begitu, Adinda. Jangan pernah katakan itu! Aku tidak pernah memandangmu serendah itu! Aku mencintaimu, Adinda." Nafasku memburu. Dalam hangat di mata yang menjalari cairan bening di pipi akhirnya. Tapi ia tak mau melihatku. Malah sibuk menghapus air matanya sendiri. Menatap kaki, sandal jepit lusuh yang ia kenakan dan kini berhadapan dengan sepatu mengkilat pantofel yang belum sempat kuganti dari kantor tadi.


Seakan aku tengah memarahinya. Atau bahkan sedang menghinanya.


"Percaya padaku, Adinda. Aku bukan lelaki sebejat itu. Aku benar-benar mencintaimu, Adinda. Ikut denganku, Adinda. Ikut denganku." Aku mengguncang kedua lengannya agar ia mengerti dan mau melihatku.


Ingin memeluk. Tapi ia berontak dan semakin terisak. Lalu berhasil meloloskan diri lagi. Sebab aku tak pernah begitu kuat mencekal lengannya. Aku sungguh takut jika cekalan tanganku sampai menyakitinya.


Dia tidak percaya. Sungguh dia tidak percaya padaku.


Berlari. Dan aku tak mungkin membiarkannya pergi lagi.


Satu jentikkan jariku memberi aba-aba. Dan sepuluh ajudanku segera menghadang langkahnya. Berdiri melingkar. Memaksanya menghentikan langkah.


Aku terpaksa sekali melakukan ini. Aku harus membawanya. Meski dengan cara memaksa. Aku tak mungkin meninggalkannya lagi sendirian. Akan begitu sulit menemuinya jika ia pulang dan warga melindunginya. Dia bisa pergi kemanapun membawa kesalahfahaman di hatinya, atasku. Tak akan kubiarkan itu.


Aku tak akan pernah siap kehilangannya.


la menghentikan langkah di hadapan para ajudan berpakaian hitam yang berdiri rapat, menghalangi Jalannya.


Tak berdaya.



Lalu aku melangkah menghampirinya. Memeluk. Dan memaksanya ikut.


Kali ini, aku terpaksa harus menunjukkan kekuasaan.


Kuangkat tubuhnya masuk ke dalam mobilku. Membawanya kembali, denganku.


Maafkan aku, Adinda. Terpaksa aku memaksa, menjemputmu, dengan cara seperti ini.



Bersambung ....27


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Post a Comment