Just another free Blogger theme

Sunday, August 10, 2025

 (22) MARBOT ITU TERNYATA CEO


Penulis: Lea

Kembali






"... bisa diselamatkan." Papi memeluk sambil menepuk pundakku.


"Alhamdulillah, Yaa Allah...!" Dadaku yang tadi sempat begitu memanas kini perlahan menghangat.


Lega sekali, mendengar berita keselamatan ini.


Papi melepaskan pelukannya. Menatapku. Lalu mengernyit. Seakan aku baru saja mengatakan suatu hal yang tak wajar.


Apa yang tak wajar?


“Alfa?”


"Ya, Pi?"


Papi diam sebentar. Mengamatiku. Lalu menggeleng.


Aku berusaha mencerna ekspresi Papi. Ada apa?


Mendengarku menyebut nama Allah, apa begitu tak biasa? Jawabannya, iya.


Bersyukur sekali, dokter berhasil melakukan pertolongan cepat pada Mami. Hingga nyawanya bisa diselamatkan. Sungguh, Allah yang memberi kesempatan ini.


Aku memeluk Mami setelah ia sadar. Yang dibalas dengan senyum bahagia Mami. Meski sebagian wajahnya masih dibalut perban dan belum bisa bicara normal.


Tak lama kemudian Mami meringis kesakitan.


Aku panik. Ya, aku selalu panik jika menyangkut keselamatan Mami. Segera aku memanggil dokter kembali.


Hampir dua kali dua puluh empat jam sudah aku di rumah sakit. Menemani Mami. Memastikan kondisinya membaik.


Dan itu artinya, dua kali dua puluh empat jam juga aku belum memberikan kabar apapun pada Adinda.


Cemas tiba-tiba menyergapku. Apa dia baik-baik saja di sana? Apa dia sedang kebingungan mencariku? Atau malah berpikir aku pergi meninggalkannya?


Apalagi sejak kejadian malam itu, esok hari ketika aku kembali bertugas di masjid, aku tak pulang ke rumah samasekali. Mengurung diri di kamar marbot lamaku. Lalu tiba-tiba mendapat telepon dadakan dari Papi, soal kecelakaan Mami yang membuatku segera pergi ke rumah sakit ini. Tanpa sempat mengatakan apapun pada Adinda.


Aku tidak mungkin menghubunginya. Dia bahkan tidak memiliki handphone. Selama ini, dia sungguh bertahan tanpa alat komunikasi canggih itu. Hidup dalam begitu sederhana. Satu hal yang sangat membuatku jatuh hati padanya.


Setelah memastikan kondisi Mami akan aman ke depan, sudah sadar dan memasuki fase pemulihan, aku sekali lagi menguji nyali. Meminta ijin untuk pergi pada Papi dan Mami.


Papi menatapku sangsi. Melepas kacamatanya.


"Apa? Pergi lagi? Kamu nggak lihat Mami sakit begini?" Suara Papi menekan. "Urusan apa yang bahkan lebih penting dari Mami, Alfa?! Refreshing? Apa belum cukup hampir satu bulan ini?!" Pertanyaan Papi jelas mengandung makna tidak suka.


Dan aku semakin sulit memberikan alasan. Papi benar. Sudah nyaris satu


bulan memang aku pergi. Tapi belum genap dan aku pergi ke sini tanpa


memberikan kabar apapun pada Adinda, istriku. Wanita yang kunikahi dan


belum diketahui orangtuaku.


Berhadapan dengan Papi dan Mami sekarang, membuatku benar-benar


sadar. Urutan pengakuanku harus dimulai pada Adinda dulu. Baru pada


Mami dan Papi. Tidak bisa dibalik. Harga dirį keluargaku sangat tinggi


Mami dan Papi tak akan pernah membiarkan aku mengejar perempuan


yang mungkin akan menolakku.


Ya, sangat mungkin Adinda menolakku, jika mengetahui latar belakangku sebenarnya. Jangankan aku yang seorang CEO perusahaan besar, Ustadz Khalid yang hanya manager di sebuah perusahaan menengah saja ia tolak dengan dasar trauma pada orang kaya.


Tapi Mami dan Papi tidak tahu. Harga diri bagi mereka selalu ada dalam urutan utama.


Aku membatuk sebentar. Hanya sebagai upaya meredakan kecemasan yang mulai menjalar pada ekspresi wajah dan memberikan alasan paling bisa diterima oleh Pai dan Mami saat ini.


"Bukan begitu, Pi. Tapi aku pergi mendadak ke sini. Ada beberapa hal yang belum kutuntaskan di sana."


"Di sana? Di sana mana? Papi dan Mami bahkan nggak tahu kamu berlibur kemana sebulan ini? Jadi bukan di luar negeri? Lalu urusan apa lagi, Alfa? Jangan mengada-ada. Kamu bisa minta Handi atau asisten lain untuk mengurus!" Papi masih menatapku dengan kemarahan yang terpancing.


Aku terdiam untuk beberapa saat. Bagaimana ini? Apa aku jujur saja? Tapi bagaimana kalau Mami yang bahkan masih terbaring lemah di masa pemulihan ini mengalami shock demi mendengar pengakuanku, kalau aku sudah menikahi seorang wanita tanpa meminta restu mereka.


Astaghfirullah. Aku benar-benar kalut sekarang.


Papi baru akan membuka suara lagi, dengan raut tegang yang mengisyaratkan benar bahwa ia akan mengucapkan satu hal yang akan mematikan langkahku, ketika tiba-tiba saja tangan Mami yang masih terhubung dengan selang infus menggapai tangan Papi.


Membuat Papi urung bicara. Berbalik melihat pada Mami, dengan pandangan penuh kekhawatiran. Aku tahu, Papi memang sangat mencintai Mami. Dan hal itu bisa menjadi alasan untuk menyangsikan permintaanku saat ini, ijin pergi.


Mami menatap Papi, lalu menatapku.


Kemudian mengangguk.


Aku tahu maknanya. Mami mengijinkanku pergi. Membuat Papi pun tak bisa lagi melarang. Meski keras, Papi sosok lelaki yang nyaris selalu menjaga keserasian pemikiran dengan Mami. Menuruti semua keinginan Mami. Termasuk dalam hal ini.


"Aku akan segera kembali. Aku janji!" Ucapku sambil mencium cepat kening Mami. Lalu berpamitan pada Papi.


Melangkah tergesa. Pulang. Ya, pulang. Ke rumah yang paling membuatku merasa nyaman. Menemui Adinda.


Aku memasang tiga tompel di wajah dengan tergesa. Juga mengubah sisiran rambut dengan belah tengah dan menata tampilan culunku seperti biasa.


Aku sebenarnya ingin datang langsung dalam kejujuranku. Menghampirinya sebagai Alfa, tanpa menyamar lagi. Tapi aku khawatir Adinda tidak percaya dan menganggapku justru sebagai orang jahat yang ingin menyakitinya.


Secepat itu pula aku berlari menyusuri jalanan setapak menuju rumah sederhana itu. Ini sudah cukup malam, pukul sepuluh. Sangat sepi. Apalagi sedang gerimis dan hawa dingin sekali seperti ini.


Aku mempercepat langkah. Rasanya ada yang menggebu di dada ini. Bukan hanya kecemasan akan kenyataan yang harus kusampaikan tapi sesuatu yang lebih mendominasi. Rasa rindu. Ya, rasanya sungguh rindu sekali setelah dua hari tak bertemu. Pada Adinda.


Wajahnya melintas kuat di seluruh pikiranku. Lantas bersemayam hebat di pelupuk mata. Ah, mana mungkin aku bisa melupakannya. Wanita sederhana yang mencuri hati ini. Dengan begitu hebat sekali.


Aku akan memperjuangkannya. Aku berjanji


Tiba. Langkahku terhenti dua meter dari pintu rumah mungil itu. Kulihat beberapa pasang sandal bersusunan di teras. Cukup ramai orang di dalam sepertinya. Bisa kupastikan, dengan ukuran rumah semungil ini, pasti terasa penuh sekali


Tapi kenapa ada banyak orang? Tamu kah? Setahuku, Adinda jarang sekali menerima tamu.


Atau ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Adinda?


Jantungku menghentak kuat. Kecemasan yang menjalar lagi. Apa terjadi sesuatu yang buruk padanya?


Adinda!


Bersambung...23

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Post a Comment