(21) MARBOT ITU TERNYATA CEO
Penulis: Lea
Saat Terakhir
Hari beranjak siang dan aku belum juga kuasa melangkahkan kaki untuk pulang. Padahal biasanya aku akan menengoknya dalam beberapa waktu di rumah yang hanya berjarak beberapa jengkal dari masjid ini. Membantunya membuat kue atau sekedar menanyakan keadaan hatinya.
Ya, dia masih membuat kue untuk beberapa pelanggan setia karena memasak adalah hobinya. Asal dia senang. Aku cuma ingin selalu melihat dia bahagia. Hanya tidak lagi berjualan kue dengan usaha keras di pinggir jalan sambil berpanas-panasan seperti dulu.
Kemarin pun aku masih menemaninya membuat kue, walau hanya membuat sedikit saja.
Hanya ingin membersamai.
Aku yang di matanya sangat perhatian dan lelaki terjujur selain ayahnya. Itu yang dia bilang semalam, sambil menatapku dengan malu dan senyum terkembang yang begitu sulit kulupakan. Usai kejadian paling pribadi di hidupnya. Dan hidupku. Di dalam kamar itu. Padahal aku belum jujur bilang yang sebenarnya. Dan malah semakin ragu untuk mengaku setelah dia mengatakan hal itu. Penilaiannya, atasku.
Aku memasuki kamar lamaku. Kamar khusus marbot di masjid ini. Ruangan sederhana yang sudah kutinggalkan sejak menikah dengan Adinda.
Baru saja aku menerima telepon dari Handi. Sebuah pengingat kalau aku harus segera kembali, ke kehidupan nyataku. Sungguh nyaris satu bulan sudah aku di sini.
Waktuku, sudah hampir habis.
Proyek-proyek perusahaan yang terpaksa dipending sampai jadwal kembaliku sudah diatur sejak awal oleh Handi. Dengan alasan cuti khusus yang kurancang dengan demikian rapi.
Aku harus kembali. Banyak sekali yang menungguku. Proyek-proyek
tertunda perusahaan itu, yang jika kuabaikan semua, tak sesuai janji penundaan satu bulan ini, akan sangat mungkin mengacaukan citra perusahaan. Bahkan bisa merusak segalanya.
Kebangkrutan satu perusahaan? Ya, bangkrut artinya melepaskan banyak kemewahan. Bukankah itu yang kuinginkan, lepas dari kekayaan?
Memang itu yang kuharapkan, jauh dari gelimang kekayaan bangsawan sebab aku bosan dengan kehidupan seperti itu. Tapi tidak dengan cara memalukan, bangkrut sebab dicap sebagai pengusaha pengingkar janji. Lantas mengecewakan Papi dan Mami. Juga mengecewakan semua yang menunggu kembaliku di kehidupan nyataku.
Aku ingin lari dari kehidupan mewah itu. Tapi bukan dengan cara menjadi sosok yang tak bisa dipercaya dan tak bisa dipegang janjinya.
Aku tak akan jatuh miskin oleh kekacauan yang bakal terjadi pada perusahaan jika menunda pulang dan pada akhirnya melepaskan proyek- proyek itu.
Dengan kekayaan tujuh turunan keluarga, kami tak akan jatuh miskin hanya sebab ini. Tapi sudah pasti hal itu akan menjadi citra buruk dan lenyapnya kepercayaan tak terlupakan bagi semua pihak yang terlibat. Padahal selama ini, ketepatan janji adalah hal yang dijunjung tinggi oleh keluargaku. Menjadi prinsip atas hal apapun.
Semua akan kecewa dan hilang kepercayaan, padaku. Dan itu, akan menyakiti Papi Mami yang sudah memberiku kesempatan pergi tak mau dihubungi, satu bulan ini.
Setertekan apapun aku dengan keadaan selama ini, aku tak pernah bisa melihat kekecewaan orang tauku. Itu sebab aku selalu menjadi sosok penurut. Apapun yang dikatakan orangtuaku selalu kuikuti. Meski dengan mengorbankan perasaanku sendiri selama ini.
Saat dilarang dekat dengan perempuan apalagi sampai menjalin hubungan, aku menurut. Sejak sekolah sampai aku bekerja. Meski memberontak dalam hati dan di lingkungan pergaulan justru jadi bullyan.
Saat Papi dan Mami memerintahkanku untuk menjaga citra, wibawa, dan nama baik keluarga, tidak pernah terjun dalam dunia musik meski aku menyukainya, aku juga menurut.
Begitupun dengan arahan agar aku menekuni pendidikan dan karir bisnis, melanjutkan estafet kepemimpinan perusahaan, aku menuruti. Meski belakangan merasa sungguh jenuh tak tertahankan. Hingga aku melarikan diri dari semua itu, melakukan penyamarann sebagai marbot masjid di sini Dalam niat awal, hanya untuk satu bulan. Mana kutahu ternyata demikian jauh aku merasa nyaman, di sini, dalam kehidupan sederhana ini.
Tapi untuk kepergianku ini pun, aku meminta ijin lebih dulu pada Mami dan Papi. Mengajukan permintaan pergi dan agar tak dihubungi, dalam satu bulan. Itu permintaan terhebatku seumur hidup.
Aku selalu penurut dengan mereka. Sebab aku tahu sekali, hanya aku harapan Mami dan Papi. Aku menanggung beban anak tunggal dan putra mahkota. Satu-satunya. Ya, beban. Siapa bilang menjadi pewaris tunggal selalu tentang keberuntungan?
Aku selalu menuruti, kecuali dalam hal pilihan gadis-gadis bangsawan yang belakangan ditawarkan untuk menjadi pendamping hidupku. Hanya hal itu yang tak kuturuti. Tapi itu pun sebab Mami dan Papi tidak memaksa. Hanya memperkenalkan satu gadis ke gadis lainnya. Lantas memintaku untuk menjatuhkan pilihan pada salah satunya. Hanya itu. Jadi dalam hal ini, aku pun tidak membantah mereka.
Namun takdir justru membuatku menikahi Adinda sebelum mendapat restu dari dua orang yang paling kuturuti seumur hidupku, Mami dan Papi, yang sungguh tak pernah kubantah perintahnya.
Tapi aku benar-benar mencintai Adinda. Tidak ada dusta dalam perasaan ini. Hanya saja kebohongan ini terasa mematikan sebelum berhadapan dengan kenyataan.
Aku sudah bertekad untuk memberi waktu dan mempersiapkan Adinda agar bisa menerima segalanya. Tentangku dan alasan kebohonganku. Sampai ia bisa merasakan kucintai dan membalas perasaan dengan mencintaiku sepenuhnya juga. Mengulur waktu sampai aku melihat semua itu. Barulah berjuang berdua, membuat pengakuan pada Mami dan Papi.
Bahkan aku terus-terusan 'menahan diri darinya. Hanya agar ia tak merasa sedang kumanfaatkan sementara.
"Kanda, kasihan Tita. Dinikahi lelaki bernama Wendi itu hanya untuk jadi pemuas sesaat aja. Mendapatkan perawan. Tadi Tita bilang, lelaki itu ngaku nggak mau main nakal dengan perempuan murahan karena nggak mau kena penyakit. Jadi malah menikahi siri Tita dan cuma untuk dijadikan mainan aja. Itu jahat sekali kan, Kanda? Orang kaya suka begitu ya? Mempermainkan pernikahan hanya untuk kesenangan. Ada juga gadis lain di sini yang ngalamin hal serupa Tita. Lebih sadis, Kanda. Alasannya karena dendam sama orangtuanya."
Kalimat Adinda beberapa hari lalu terngiang jelas di telingaku.
Orang yang bisa.
Pernikahan serial.
Gadis perawan.
Baru saja dimainkan.
Itukah kesimpulan atas semuanya?
Argh!
Aku meremas batok kepala. Setelah kejadian semalam, aku malah semakin mencintainya. Menyatu dalam satu jiwa seutuhnya.
Tapi... aku belum jujur. Seharusnya aku jujur dulu, mendapat restu kedua orangtuaku, baru melakukannya.
Setidaknya, jikapun tak direstui dan terjadi hal di luar kendali, aku tidak benar-benar menyakitinya. Dengan apa yang kulakukan semalam.
Meski aku tahu, sebenarnya itu bukan suatu dosa. Dia telah sah menjadi istriku secara agama. Halal kuibadahi sejak kuikrar akad menyebut namanya. Bukan zina. Tapi kenyataan tidak sesederhana itu.
Setelah semua ini terjadi, apa kamu masih akan percaya padaku, Adinda?
Bagaimana jika ia merasa hanya kujadikan mainan dan pelampiasan sebagaimana yang dilakukan Wendi pada Tita?
Dan bagaimana jika Papi Mami ternyata tak bisa menerimanya?
Apakah cintaku akan menyakiti dan kembali melukai takdir hidup Adinda? Wanita yang sangat kucintai
Maafkan aku, Adinda.
Handphone yang selama ini kusembunyikan dari Adinda bergetar di saku celana. Siapa yang menghubungi? Hanya Handi yang mengetahui nomor baruku ini dan ia tak akan menelpon sebelum kuijinkan via chat. Untuk mengabarkan jika ada hal yang benar-benar penting.
Aku menghentikan langkah yang baru saja menjajak lorong di depan kamar, kembali masuk dan mengunci pintu. Lantas mengeluarkan handphoneku dan menemukan panggilan dari nomor yang begitu kuhafal.
Telepon dari Papi.
Ada ragu yang menyergap. Kenapa Papi menelpon? Dan bagaimana Papi tahu nomor handphone baruku ini?
Pasti Handi yang memberikan. Dan aku hanya mengijinkannya memberi nomor ini pada Mami Papi jika ada hal yang benar-benar penting dan mendesak saja.
Mami dan Papi pun sangat bisa memegang perkataan. Jika sudah menyepakati dan berjanji tak akan menghubungiku dalam satu bulan ini, memberiku waktu untuk menyendiri seperti inginku, maka bisa kupegang janji mereka. Itu prinsip keluarga kami, memegang janji.
Sekarang, kenapa Papi menelpon?
Ada resah lain yang tiba-tiba menyergap. Diliput tanda tanya yang membuatku menebak-nebak.
Mungkin Papi hanya rindu padaku.
Atau
"Halo, Pi. Apa kabar?"
"Alfa?! Cepat pulang! Sekarang! Mami kecelakaan. Ini darurat. Kamu dimana? Cepat kembali, Alfa!"
Mami?
Kecemasanku benar-benar meledak detik ini.
Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit. Dengan kekhawatiran memenuhi seluruh tubuh ini. Mencari ruangan yang dikabarkan Papi tadi. Ruang operasi Mami.
Mami. Sosok anggunnya melintas nyata di kepalaku. Seperti memanggilku untuk segera datang.
Kurasakan hawa panas menyergap mata. Aku takut sekali terjadi sesuatu yang amat buruk pada Mami.
Mami kecelakaan lalu lintas. Bertabrakan dengan pengendara lain sampai mobil Mami terguling masuk ke jurang. Beruntung Mami sempat keluar. Tapi dalam kondisi... entah.
Bayangan Mami yang selalu menyertaiku, saat apapun. Keposesifannya. Semua aturan ketat yang terasa menjemukan bagiku selama ini. Mengekang. Tapi aku tahu, aku sangat tahu, Mami teramat menyayangiku.
Seperti aku menyayanginya.
Dadaku berdetak kuat sekali. Cemas tak terbendung.
Langkahku berhenti tepat di depan Papi yang baru saja selesai bicara dengan dokter di depan pintu ruang operasi.
Papi berbalik. Lalu langsung memelukku.
Papi yang kuat kini menitikkan air mata.
"Alfa, Mami
Aku tak berani mendengarkan. Jika ini berita buruk dan menyakitkan.
Bersambung...22
0 comments:
Post a Comment